Kotatua Tak Ditinggalkan

Gedung Candra Naya saat kompleksnya masih utuh. (Koleksi Tropenmuseum)
Gedung Candra Naya saat kompleksnya masih utuh. (Koleksi Tropenmuseum)

Selangkah demi selangkah Oud Batavia menemukan lagi kemegahannya. Setiap pekan dibanjiri pengunjung. Tak lagi merana menahan kerut.

Oleh Silvia Galikano

Pada 22 Juni lalu, Jakarta berulang tahun ke-481. Selain setiap hari tetap macet dan setiap tahun tetap banjir, namun ada perubahan menyenangkan, lebih kurang lima tahun terakhir, jika berbicara tentang kotaku Jakarta, yakni meningkatnya apresiasi warga Jakarta terhadap sejarah kotanya.

Kalau sekadar tahu tanggal berapa ulang tahun Jakarta atau apa kesenian khas Betawi, itu sudah jadi hafalan sejak di bangku sekolah. Warga muda Jakarta sekarang punya antusiasme tinggi untuk tahu bagaimana Batavia didirikan, berkembang, dan menguntungkan secara ekonomi sehingga bisa mengongkosi pembangunan fisik Negeri Belanda sana.

Dimulai dari kelompok kecil dua-tiga orang hingga sekarang mampu terhimpun 500 orang, orang-orang muda yang umumnya berusia 20-an dan 30-an tahun keluar masuk museum, berkenalan dengan gedung-gedung bersejarah, atau lebih spesifik pergi ke Kotatua untuk mencicipi makanan yang selama puluhan tahun hanya dijual dan jadi khas kawasan ini.

Mereka relakan sehari di akhir pekan untuk berpeluh-peluh di bawah sengatan matahari, berjalan kaki dari satu gedung tua ke gedung tua lainnya sambil berusaha mendengar pemandu yang suaranya timbul tenggelam dari corong pengeras suara, bersaing dengan riuh lalu lintas, atau keluar masuk gang sempit untuk mencapai penjual nasi ulam yang hanya ada di pagi hari.

Memang tak semua peserta adalah bujang-dara yang energinya masih pol, selalu terselip oma atau opa yang semangatnya tak beda dengan generasi cucu mereka. Rengekan anak kecil ternyata juga terdengar di antara rombongan, minta gendong atau minta es krim pada orangtuanya. Mengenal sejarah memang seharusnya menyenangkan.

Mengapa Kotatua yang hampir selalu dijadikan obyek wisata sejarah Jakarta? Tak lain karena kawasan ini jadi konsentrasi bangunan tua bersejarah yang masih berdiri hingga sekarang. Bangunan bersejarah di kawasan lain sejak lama luput dari perhatian pemerintah dan masyarakat, namun tak luput dari mata investor untuk segera merobohkan, lantas mendirikan pertokoan buruk di atas reruntuhannya.

Sebut saja Pondok Gede (rumah besar) di Jakarta Timur yang didirikan pendeta Johannes Hooyman sekitar tahun 1775. Hingga 1992, rumah itu tetap berdiri di bawah pengawasan PT Perkebunan Nusantara, namun kemudian dirampas keluarga penguasa kala itu dan dirobohkan hanya dalam waktu semalam. Di lokasi tersebut sekarang berdiri Pondok Gede Plaza.

Penulisannya kini memang demikian, Kotatua, sebagai penyebut nama kawasan (untuk tujuan wisata sejarah), dan bukan kota tua. Sedangkan masyarakat lebih familiar dengan sebutan “Kota” saja.

Kawasan Kotatua adalah sepanjang Kali Besar atau dari Menara Syahbandar di bagian utara hingga Jalan Asemka dan Jalan Jembatan Batu. Di sinilah pusat perdagangan dan pemerintahan Kota Batavia sejak abad ke-17.

Kali Besar (Groote Rivier) tak lain adalah Ciliwung yang bentuk asalnya berkelok-kelok. Pada tahun 1632, sungai ini diluruskan dan dilebarkan sebagai cara mengatasi banjir di Batavia. Lebarnya hingga mencapai 50 meter, dua kali lebar Ciliwung.

Kalau diumpamakan Kota Jakarta sekarang, Kali Besar adalah Jalan Sudirman-Thamrin, jalur sibuk perdagangan dengan gedung-gedung megah di kiri kanannya. Kapal-kapal bongkar muatan di Pelabuhan Sunda Kelapa tempat bermuaranya Kali Besar, lantas dibawa melawan arus sungai ke pedalaman.

Ketika transportasi air tak lagi jadi primadona maka beralihnya kawasan perdagangan ke arah selatan dan meninggalkan tepian Kali Besar berikut artefaknya menjadi sebuah keniscayaan. Gedung-gedung kemudian beralih fungsi tak lagi sebagai kantor dagang. Keindahan arsitekturnya hingga kini tetap dapat dinikmati walau tak semua fisik bangunan utuh.

Bangunan di Kotatua yang sudah dikenal baik masyarakat adalah Museum Sejarah Jakarta di Jalan Taman Fatahillah yang berada satu pelataran dengan Museum Wayang dan Museum Keramik. Karena letaknya di Jalan Taman Fatahillah maka Museum Sejarah Jakarta lebih dikenal sebagai Museum Fatahillah.

Sejak Desember 2004, Museum Bank Mandiri diresmikan. Berada di Jalan Pintubesar Utara, bersebelahan dengan Museum Bank Indonesia yang dibuka untuk umum tahun 2006. Keduanya menampilkan informasi dan koleksi berkait kegiatan perbankan Indonesia dari tahun ke tahun.

Selain isinya, fisik museum sepertinya justru jadi perhatian utama pengunjung. Lekuk-lekuk langgam art deco berikut kaca patrinya jadi obyek foto menarik, sama menariknya saat dijadikan latar belakang foto diri.

Di paling utara, yakni di Jalan Pasar Ikan, ada Museum Bahari yang menyimpan artefak kebaharian masyarakat Indonesia. Beberapa meter ke arah barat, berdiri Menara Syahbandar yang di masa VOC berfungsi untuk pengawasan di laut dan sekitarnya. Berdiri persis di samping Kali Besar, bersenjatakan dua meriam yang moncongnya diarahkan ke Kali Besar.

Untuk mencapai puncak menara tersedia delapan bagian tangga yang masing-masingnya terdiri dari tujuh anak tangga kayu. Dari sini mata bisa melepas pandang ke Pelabuhan Sunda Kelapa hingga ke sebagian Teluk Jakarta.

Sebagian dari gedung-gedung sepanjang Jalan Kalibesar Timur dan Kalibesar Barat berada dalam kondisi terawat, fisiknya utuh dan selalu diperbarui catnya secara berkala. Gedung-gedung yang di zaman Belanda adalah bank, lantas jadi bank pemerintah Indonesia saat nasionalisasi aset Belanda, hingga kini tetap tampil gagah.

Sebagian dari deretan gedung itu dibiarkan dalam kondisi memprihatinkan. Semisal Gedung Dasaad Musin Concern yang menurut penjaganya “tinggal tunggu roboh”. Rangkanya masih kokoh, namun dinding gedung sudah terkelupas, mempertontonkan bata telanjang. Sebagian atap dan jendelanya juga sudah bolong.

Tindakan restorasi tidak memungkinkan lagi. Asep Kambali, dari Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia (Historia), “Semen yang ada sekarang tidak bisa kawin dengan bangunan lama. Tak heran kalau gedung ini tidak bisa diperbaiki. Pilihannya adalah dirobohkan, lantas dibangun lagi gedung dengan bentuk yang sama.”

Padahal, Dasaad adalah nama beken di Orde Lama. Bersama, antara lain, Hasyim Ning, Rahman Tamin, dan Pardede tergabung dalam Program Benteng (1950 hingga 1959) bentukan pemerintah yang bertujuan mengembangkan dan memperkuat pengusaha dari kaum pribumi melalui perdagangan impor.

Tak cukup-cukup waktu jika membahas kawasan molek kotaku ini. Kotatua tak segemerlap mal-mal yang tumbuh mengepung Jakarta, namun sinarnya menyorot tajam, terarah, walau temaram.

***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 6 Juli 2008

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.