Lasem dalam Potret Hitam Putih

pecinan, lasem
Tidak banyak yang saya tahu tentang Lasem, kecuali masih terjaganya arsitektur rumah-rumah lama di Pecinannya. (Foto: Silvia Galikano)
Tidak banyak yang saya tahu tentang Lasem, kecuali masih terjaganya arsitektur rumah-rumah lama di Pecinannya.



Oleh Silvia Galikano

Informasi itu dari ucapan sutradara Nia Di Nata di sebuah infotainment, delapan tahun lalu, tentang film Ca Bau Kan (2002) yang banyak mengambil lokasi syuting di Lasem. Bermodal informasi secuil itu, saya tuju Lasem. Sehari sebelumnya, saat masih di Rembang, saya dipesan agar turun bus di Babagan. Itulah Pecinan Lasem.

gudang garam, lasem, rembang
Bangunan berdinding gedhek di tengah tambak, banyak dijumpai sepanjang jalan Rembang-Lasem. (Foto: Silvia Galikano)

Minibus dari Rembang meluncur di Jalur Pantura, Jalan Raya Pos (de Groote Postweg) yang dulu dibikin Daendels. Mulus, lancar zonder macet. Jendela bus membingkai pemandangan rumah penduduk berganti-ganti dengan tambak bandeng berikut gubuknya yang berdinding gedhek.

Pada musim panas, tambak bandeng ini kering, berubah jadi tambak garam. Di dalam gubuk-gubuk itulah garam disimpan sesudah dipanen.

Lima belas menit perjalanan Rembang-Lasem. Bus menurunkan saya di simpang Pasar Babagan (masyarakat menyebutnya Mbagan), Lasem. Ini dia Lasem yang delapan tahun hanya ada di bayangan.

Kota yang tak ubahnya potret hitam-putih. Gambaran masa silam yang terus ada, cantik klasik dan terjaga dari coreng-moreng make-up modern.

Baca juga Siapakah Orang China?

Berjalan kaki menyusuri lorong-lorong sempit di Jalan Babagan, di antara tembok tinggi bercat putih, bagai benteng kokoh yang menyembunyikan rumah-rumah cantik di baliknya. Kontras dengan tembok yang kaku, angkuh, dan dingin adalah gerbangnya yang terbuat dari kayu jati berukir dan beratap dengan detail menarik. Ada atap yang ujungnya tumpul, ada juga yang dua ujungnya lancip berbentuk ekor walet.

Gerbang punya dua pasang daun pintu. Sepasang membuka ke luar, setinggi dada, berjeruji, dan berukir. Sepasang lagi membuka ke dalam, tingginya penuh hingga kusen, dan jika pintu ini menutup maka tak memungkinkan orang dari luar melihat apa yang ada di balik tembok.

Di pintu besar dan membuka ke dalam itu aslinya terdapat karakter Tionghoa di masing-masing daun pintunya. Ada yang dilukis ada yang diukir lantas dicat warna emas. Namun sekarang, tulisan-tulisan itu sudah tak terlihat, kecuali mengamati dari jarak sangat dekat, karena umumnya dicat sama dengan warna daun pintu.

Membelok saya ke Jalan Babagan IV. Sampai di rumah bernomor 4, terbaca tulisan di atas pintu gerbang Sigit Witjaksono. Aha, ini rupanya kediaman Sigit Witjaksono (Njo Tjoen Hian), juragan batik Sekar Kencana sekaligus tokoh Lasem. Sayang sekali hari itu, Sigit dan istrinya, Marpat Rochani, sedang memenuhi undangan ke Jakarta. Saya diterima Murti, karyawan Sekar Kencana sekaligus kerabat Marpat.

Murti membawa saya ke halaman belakang tempat diproduksinya batik. Dua orang ibu setengah baya sedang membatik. Kain itu sudah dicelup warna merah dan cokelat, dan masih akan dicelup warna lain lagi, kemudian dibatik lagi, lantas dicelup lagi.

Total waktu membatik yang terdiri dari empat warna bisa makan waktu sebulan, sedangkan batik yang hanya terdiri dari satu warna (selain putih) maka waktu pengerjaannya hanya sepekan.

Perhatian saya tercuri oleh sehelai kain yang sedang dikerjakan, yang memiliki motif karakter Tionghoa. Murti tak tahu apa maknanya.

Baru beberapa hari kemudian saya dapat jawaban dari Sigit Witjaksono, 81 tahun, melalui sambungan telepon. Tulisan itu berisi kata-kata mutiara, antara lain dari Lao Tse dan Kong Hu Cu, di antaranya Di empat penjuru samudera, semua adalah saudara serta Dengan kata-kata mutiara ini bisa mengharumkan dunia.

Baca juga Untuk Tanah Lasem

Baru tahun lalu Sigit membuat terobosan dengan membubuhi karakter Tionghoa di motif batiknya dan ternyata disambut baik pasar. Sigit mulai menekuni industri batik rumahan pada 1942, yang merupakan warisan dari ayahnya, Njo Wat Jiang. Industri batik milik ayahnya dahulu, walau tanpa merek, jauh lebih besar dibandingkan usahanya sekarang.

“Di tahun 1923, batik ayah saya sudah tersebar di semua kota besar di Indonesia sekaligus diekspor ke Malaysia dan Suriname. Usaha saya sekarang paling hanya seperduapuluhnya.”

batik, lasem
Plang nama industri batik Padie Boeloe di Babagan, Lasem. (Foto: Silvia Galikano)

Njo Wat Jiang mengalami masa keemasan batik Lasem ketika kota ini masuk lima besar kota batik di Indonesia bersama Pekalongan, Yogyakarta, Surakarta, dan Banyumas. Barulah waktu Jepang masuk, industri batik Lasem hilang karena bahan untuk membatik hilang di pasaran. Impor susah. Kain tidak ada, lilin tidak ada, pewarna tidak ada.

Industri batik Lasem mulai menggeliat setelah Indonesia merdeka. Semakin baik pada 1970-an, dan terus membaik hingga mencapai puncak pada 1990-an. Ketika itu, ada 140-an pengusaha batik Lasem. Barulah saat krisis moneter, tahun 1998, jumlah pengusaha batik anjlok menjadi hanya 12 orang. Nilai dolar yang meroket empat kali lipat membuat harga bahan juga empat kali lipat lebih mahal.
Kelewat mahal untuk rakyat kecil,” kata Sigit.

Baca juga Lasem dan Harmoni Dua Warna

Ketika kondisi politik stabil, pemerintah daerah mulai menggalakkan batik lagi, dan pameran semakin sering digelar, batik Lasem naik pamor lagi. Sigit menyebutkan, paling tidak, sekarang ada lebih dari 60 pengusaha batik Lasem.

Batik Sekar Kencana dijual seharga Rp175 ribu hingga Rp300 ribu per helai, tergantung banyaknya jenis warna yang digunakan. Semakin berwarna-warni, semakin mahal. Sama sekali bukan harga yang mahal untuk kelas batik tulis, apalagi yang sudah masuk mal di Jakarta.

Begini cara Sigit menekan harga. Bahan kainnya menggunakan produk lokal, karena sekarang produk lokal sudah bagus. Sebelumnya harus impor dari Tiongkok atau Jepang. Lilinnya menggunakan campuran lilin impor dari Prancis dan keluaran Pertamina.

“Kalau hanya pakai lilin Pertamina, catnya patah, sedangkan kalau semuanya lilin impor kan mahal.”
Sigit pernah menggunakan pewarna yang diimpor dari Jerman (kualitas terbaik), Swiss dan Inggris (menengah), serta Jepang (standar). Agar harga batiknya terjangkau, sekarang Sigit hanya menggunakan pewarna dari Jepang.

Bersambung ke Tersenyumlah, Kau Akan Tambah Cantik

***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 25 April 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.