Diplomasi Tanpa Suara Soegija

soegija, garin nugrohoSeorang uskup menyerahkan hidupnya untuk kemaslahatan orang banyak. Kerjasama manis antara Garin, Nirwan, dan Butet.

Oleh: Silvia Galikano

 

Judul: Soegija

Sutradara: Garin Nugroho

Produser Eksekutif: Y.I. Iswarahadi SJ

Skenario: Armanto

Produksi: Puskat Pictures, PT Alam Media, Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta

Pemain: Nirwan Dewanto, Anissa Hertami, Butet Kartaredjasa, Wouter Braaf, Wouter Zweers, Olga Lydia, Andrea Reva, Henky Solaiman, Eko Balung, Margono, Rukman Rosadi, Andreano Fidelis

Durasi: 115 menit

 

Semarang semakin tidak aman. Rakyat kota itu  mengungsi ke Yogyakarta yang jadi ibukota Republik Indonesia Serikat. Uskup Mgr. Albertus Soegijapranata (Nirwan Dewanto) juga memindahkan Vikariatnya untuk sementara dari Semarang ke Yogya. Ikut pindah bersamanya Koster (pembantu uskup) Toegimin (Butet Kartaredjasa) yang bertugas menggotong koper-koper milik uskup.

Sesampai di Pastoran BintaranYogya, belum lagi letih hilang, bertambah penat melihat deretan koper menunggu untuk dibongkar. Soegija yang tetap mengenakan jubah uskupnya, terduduk kelelahan di koridor, sementara Toegimin berdiri di sampingnya menyandar ke dinding.

“Coba Romo punya istri, pasti sudah ada yang ngurus beginian,” Toegimin mengarahkan dagunya ke barisan koper. “Romo kenapa ngga kawin toh? Kata teman saya, orang yang tidak menikah itu belum jadi manusia yang utuh. Tugelane wong.”

“Aku memang manusia separuh. Sepotong ini dipakai untuk mengurus umat. Printilane buat Lantip sama buat ngurus kamu,” Soegija menjawab dengan suara tenang. Tidak ada ekspresi kaget, apalagi tersinggung.

Dialog antara uskup dan pembantunya itu bisa jadi lumayan mengagetkan bagi yang tidak mengenal kehidupan gereja Katholik. Mengagetkan sekaligus lucu. Seorang uskup kok ditanya kosternya sendiri mengapa tidak menikah? Dan yang lebih mengagetkan, jawaban yang diberikan sang uskup bukanlah menyitir dogma Katholik.

Jawaban Romo Kanjeng (sebutan akrab Soegija) itu sederhana. Koster pun bisa paham. Mengurus umat secara langsung memang pekerjaan Romo Kanjeng. Dia jalan ke pelosok-pelosok mengabarkan pada rakyat betapa salah besarnya penjajahan. Dia juga membuka pintu gereja seluas- luasnya untuk dijadikan kamp pengungsian, merawat orang sakit dan kaum sepuh, serta memasang badan ketika pasukan Jepang datang hendak merebut gereja untuk dijadikan markas tentara Jepang.

Romo Kanjeng kerap menulis untuk media asing, seperti majalah Commonwealth di Amerika Serikat, tentang kondisi Indonesia sebenarnya di bawah jajahan Belanda. Diplomasi gerejaninya melalui surat menyurat ke Vatikan menghasilkan pengakuan negara mungil itu atas kemerdekaan Indonesia. Vatikan menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, dan dukungan itu menyebabkan tekanan dunia terhadap Belanda semakin besar. Melalui tulisan-tulisan dia melakukan silent diplomacy.

Kisah uskup pribumi pertama di Indonesia ini tidak lantas jadi film gerejawi, tidak juga sarat kalimat-kalimat heroik. Soegija (baca: Sugiyo) di tangan Garin Nugroho menjadi film yang punya dua lapisan: lapisan pertama segar dan menghibur, dan lapisan kedua punya kedalaman makna. Mau pilih lapisan pertama saja, monggo, karena Soegija punya pendekatan yang popular-romantis. Tapi kalau mau lebih dalam lagi, melalui pengendapan,  akan didapat lapisan kedua.

Prinsip-prinsip kemanusiaan Soegija diejawantahkan melalui tokoh-tokoh di film ini. Melalui Mariyem (dimainkan sangat bagus oleh Anissa Hertami), perawat yang justru mendapat porsi paling banyak; serdadu Jepang (Suzuki) dan Robert serdadu Belanda (Wouter Zweers) yang mati justru ketika menyadari pentingnya kemanusiaan; Hendrick (Wouter Braaf) fotografer Belanda yang jatuh cinta pada Mariyem. Ada pula Banteng (Andreano Fidelis) gerilyawan remaja buta huruf, Ling-ling (Andrea Reva) gadis kecil Tionghoa yang mempertanyakan nasibnya, serta Lantip (Rukman Rosadi) yang mengerahkan anak muda untuk berjuang.

Soegija menjadi film termahal yang pernah Garin garap. Ongkos produksinya tak kurang dari Rp12 miliar. Ada 2775 pemain dan figuran, dan tiap hari 150 pemain dan figuran siap di set. Tokoh-tokoh Belanda dan Jepang adalah hasil casting di negara masing-masing. Waktu syuting selama tujuh bulan. Dan untuk menyempurnakan setting tahun 1940-an – 1950-an, seluruh halaman (rumah, gereja, klenteng) ditutup pasir.

“Layani. Layani. Jangan layani saya,” sekalimat yang diucapkan Soegija adalah napas film ini. Selalu relevan dari masa dulu hingga sekarang. Sama relevannya dengan pesan Soegija kepada Lantip yang bercita-cita jadi politikus, “Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Jika tidak punya, maka politikus hanya jadi benalu negara.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.