Kisah Negeri di Ujung Afrika

 

kisah negeri di ujung afrika, tunisia

Tunisia bukan hanya punya peradaban tua, kota-kota cantik, dan makanan enak. Negara mungil ini juga punya segudang perempuan pintar pejuang negeri.

Oleh Silvia Galikano

Jejak sebagai pelabuhan angkatan laut masih ada walau tidak ada lagi kapal besar yang merapat. Perahu kecil saja yang kini sandar. Penanda kejayaan di masa lalu adalah bangunan cantik bergaya mediterania yang berjajar rapat memagari kanal, mengingatkan pernah ada keriuhan di sana.

Hanen Mokhtar menangkap keindahan pelabuhan kuno Tunisia itu dalam lukisan berjudul Old Port of Bizerte yang dipamerkan bersama lukisan karya seniman Tunisia lainnya. Tersebutlah antara lain M’naouar Asma, Thabouti Abdelhamid, Hajjeri Ahmed, Ben Yahya Basma, Zouari Mohamed, Thabti Neji, Hejjeri Ahmed, dan Bouderbala Meriem.

Mereka seniman muda dengan aliran kontemporer, seperti kubisme, surealisme, dan impresionisme. Meski demikian, tradisi lukis lokal tetap dipertahankan, seperti dapat dilihat dari karya-karya kaligrafi Nja Mahdaoui.

Para seniman ini adalah generasi ke-4 (1987-1997) seniman modern Tunisia. Generasi pertama, yakni pada era 1920-an, adalah Ammar Farhat, Yahia Turki, Jelel Ben Abdallah, Abdelaziz Gorgi, dan Ali Bellagha. Mereka sejak awal memilih pendekatan luwes untuk mengedepankan nilai-nilai tradisional. Jejak pendahulu ini yang diteruskan oleh seniman muda.

Pameran lukisan tersebut adalah bagian dari Tunisian Cultural Days in Jakarta yang digelar di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), 10 – 12 Februari 2014. Tujuannya untuk mengikat persahabatan Tunisia dan Indonesia serta memperkenalkan budaya Tunisia yang beragam-ragam dan sudah berusia 3 ribu tahun.

Selain pameran lukisan, acara yang diadakan Kedutaan Besar Tunisa untuk Indonesia itu juga memutar film cerita pendek dan dokumenter, diskusi tentang peran perempuan di Tunisia, serta penyajian makanan khas Tunisia.

“Kami menyadari tidak ada pertunjukan tari dan musik Tunisia dalam acara ini. Tapi itu akan kami perhatikan betul untuk acara-acara kebudayaan berikutnya,” kata Duta Besar Tunisia untuk Indonesia Mourad Belhassen.

Kembali ke Bizerte yang jadi objek lukis Hanen Mokhtar. Kota ini (disebut juga Binzart) berada di Tunisia bagian utara, di mulut kanal yang menghubungkan Danau Bizerte dengan laut Mediterania, terkenal sebagai kota tertua dan paling Eropa di Tunisia. Didirikan pada 1000 SM oleh peradaban Semitik kuno Finiqyah (Phoenicia) dari Tyrus (sekarang Libanon) dan jadi pos terdepannya.

Nama “Binzart” didapat ketika kota ini dikuasai Spanyol (1535-1572). Saat itu, ada kolonel Spanyol bernama Ozard yang punya putri cantik dan jadi buah bibir. Masyarakat menyebut putri kolonel itu “bin Ozard” yang berarti putri Ozard. Dari sana lama kelamaan orang menyebut tempat ini “Binzart”.

Ketika Prancis menguasai Tunisia pada 1881, negara itu membangun pelabuhan angkatan laut besar. Dan ketika kekuasaan Prancis di Tunisia berakhir (1956), Bizerte jadi kota terakhir yang lepas. Bizerte sekarang jadi kota wisata yang menawarkan suasana masa lalu.

Selain Bizerte, Tunisia punya sederet lagi kota tua, seperti Tunis, Monastir, dan Kairouan. Yang disebut terakhir, Kairouan, adalah kota yang yang didirikan bangsa Arab pada 670 M dan merupakan bekas ibukota keemiran Aghlabid (abad ke-9, bagian kekhalifahan Abbasiah).

Selama dua abad Kairouan merupakan salah satu metropolis terbesar di Mediterania dalam hal kekayaan dan pengaruh. Pengaruhnya menyebar hingga ke masyarakat muslim Sisillia dan sejumlah daerah di Afrika Utara. Kairouan menyimpan bukti Abad Keemasan Islam.

Galibnya kota tua di Mediterania, kota cantik Kariouan berisi pasar yang riuh, jalanan sempit, anak-anak menjerit-jerit bermain, gang-gang berdinding putih diselingi pintu biru pucat, gapura, kubah-kubah putih, serta menara dan benteng. Tak jarang siluet perempuan melintas cepat berbungkus kerudung panjang di bawah keteduhan bayang-bayang Masjid Raya, masjid paling cantik di kawasan Afrika Utara dan jadi simbol Kariouan.

Dan di setiap penjuru kawasan turistik, mergoums, karpet dengan motif geometris anekawarna, terjuntai indah dari jendela-jendela lantai atas toko karpet. Sandal dan baju tradisional bersulam sutra tetap dengan keindahan yang tak berkurang selama berabad-abad.

Dunia mengenal kuliner Tunisia yang pedas dan kaya bumbu. Yang klasik adalah couscous, macam-macam tajine, serta daging kambing masak manis.

Couscous adalah hidangan sepinggan yang berisi semolina kukus (berfungsi seperti nasi), daging, dan sayuran. Sedangkan tajine adalah campuran daging, keju, dan telur yang dibungkus berlapis-lapis kulit lumpia, lalu dipanggang.

Tak ketinggalan kuih-muih tradisionalnya sebagai selingan, seperti donat madu, kurma isi almon, dan makroudhs (biskuit goreng berlapis kurma) yang semua supermanis.

Yang belum banyak diketahui adalah gerakan feminis di Tunisia ternyata sudah berumur lebih tua dari negaranya.

Spesialis Kajian Perempuan dari Kedubes Tunisia di Jakarta, Houda Zaibi Belhassen, dalam diskusi Sejarah Hak-hak Perempuan di Tunisia menyampaikan, dua orang pertama yang mendorong kesetaraan perempuan adalah duo reformis abad ke-19, Ahmed bin Dhiaf (1804-1874) dan Kheireddine Pacha (1820-1890). Mereka menyerukan pentingnya perempuan bersekolah dan mendapat pendidikan.

Reformis Tunisia lainnya, Tahar Haddad (1899-1935), kemudian dengan lantang menyangkal Islam sebagai penghambat kemajuan. Yang merendahkan perempuan bukanlah Islam, kata Haddad, melainkan umat Islamnya.

Dalam bukunya, Our Women in the Shari ‘a and Society (1930) Haddad menyerukan perlindungan perempuan muda dari teror kawin paksa dan kawin muda.

Di tengah masyarakat yang masih konservatif, dia mengkritisi ulama yang menurutnya berskandal dan cabul, menjabarkan adanya salah paham dalam menafsirkan Quran, serta bias dalam pengajaran Islam.

“Pendeknya, Haddad adalah akar dari seluruh program bagi perempuan yang kemudian menginspirasi undang-undang Tunisia. Dia  membawa Tunisia pada lahirnya gerakan perempuan yang jadi fase pertama gerakan feminis,” ujar Belhassen.

Sesudah Haddad, baru kemudian muncul feminis perempuan. Bchira ben Mrad, Manoubia Oertani, dan Habiba Menchari pada 1920-an mengecam status yang merendahkan perempuan dan meminta perempuan tidak dibungkus sefsari (kerudung dari kain lebar yang yang menutupi tubuh perempuan). Banyak orang konservatif mengecam dan menganggap ide mereka merendahkan moral muslimah.

Generasi-generasi gerakan perempuan kemudian terus lahir. Tunisia mencapai langkah besar dalam keikutsertaan perempuan di politik. Dalam gelombang revolusi 2011, perempuan berperan dalam protes menuntut diakhirinya rezim korup yang lama bercokol. Pada pemilu parlemen 23 Oktober 2011, perempuan menduduki 49 kursi dari 217 kursi parlemen.

Dan kini bukan berarti gerakan perempuan sudah selesai. Perempuan dan laki-laki Tunisia menghadapi masalah lama yang datang lagi: kelompok konservatif penafsir kaku Islam yang ingin mengganti dasar kehidupan masyarakat Tunisia. Perjuangan belum selesai.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 116, 17-23 Februari 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.