Pesan dari Tesso Nilo
Minyak sawit mengisi dapur dan kamar mandi kita, mulai dari minyak goreng, margarin, lotion, hingga sabun. Namun harga yang harus dibayar sangat mahal. Hutan Indonesia nyaris lenyap.
Oleh Silvia Galikano
Masih ingat hebohnya pemberitaan setahun lalu, ketika beredar video Harrison Ford “memarahi” Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan dengan mengatakan, “Tidak lucu,” dengan nada tegas?
Bisa jadi, sang menteri tertawa miris atau tertawa satir, yang jelas bukan menertawakan kelucuan. Tak ada yang lucu dalam kalimat Ford yang menanyakan tentang parahnya kerusakan hutan di Indonesia.
Zulkifli Hasan menjawab, Indonesia baru berdemokrasi, karenanya butuh waktu lama untuk mencapai “titik seimbang”.
Ford menyebut dirinya baru dari Tesso Nilo, Riau, yang langsung memancing tawa Zulkifli Hasan. Suara Ford pun meninggi sewaktu menjelaskan hutan hanya tersisa 18 persen dari 38.000 hektare luas TN Tesso Nilo. Sebagian besar hutan telah rata, siap ditanami sawit ilegal.
“Kami lihat ada jalan baru, jalan ilegal baru. Hutan dibabat. Pohon-pohon tumbang di tanah, dibakar di tempat mereka jatuh. Parah. Sedih melihat itu semua,” kata Ford berapi-api.
Namun sekali lagi, Zulkifli bicara demokrasi, “Kami baru saja mengalami demokrasi. Ini bukan Amerika. Ini berbeda. Kami baru saja mengalami reformasi. Sekarang orang baru bebas.”
Kunjungan Ford ke Indonesia pada September 2013 itu adalah untuk pembuatan serial dokumenter Years of Living Dangerously yang fokus pada pemanasan global. Season pertama, terdiri dari sembilan episode, ditayangkan perdana di jaringan televisi kabel Showtime pada 13 April 2014. Serial ini memenangi Emmy Award 2014 sebagai Outstanding Documentary or Nonfiction Series. Season kedua, terdiri dari delapan episode, direncanakan tayang di National Geographic Channel pada akhir 2016.
Years of Living Dangerously melibatkan banyak selebriti Hollywood. Satu selebriti untuk satu isu. Aktor dan environmentalis Harrison Ford khusus untuk isu deforestasi di Indonesia.
Jeff Horowitz, associate producer Years of Living Dangerously, mengatakan pada mongabay.com, serial itu tidak akan mengabaikan kemajuan yang dibuat Indonesia dalam deforestasi perlahan ini.
“Kami memilih memfilmkan kisah di Indonesia karena tantangan kritis yang Indonesia hadapi dalam menyeimbangkan kebutuhan melindungi hutan tropis dengan kebutuhan mengamankan perkembangan ekonomi ,” kata Horowitz.
Lewat cerita Ford, kita tahu deforestasi adalah salah satu sumber terbesar emisi gas rumah kaca, dan menyumbang 20 persen pemanasan global, sama besar dengan yang disumbangkan transportasi.
Sementara itu, sebagian besar cadangan gambut asli Indonesia, yang jadi tempat tumbuh bagi hutan kuno negeri ini, dirusak untuk memberi ruang bagi perkebunan sawit. Padahal gambut yang terbakar mengeluarkan berton-ton karbon dioksida.
Apa itu gambut? Secara sederhana dijelaskan Ford saat ke Proyek Restorasi dan Konservasi Hutan Lahan Gambut Katingan di Kalimantan Tengah bersama Russell Mittermeier, presiden Conservation International. “Hal luar biasa dan berharga tentang hutan ini berada di bawah kaki kita. Kita tidak berjalan di atas lumpur. Ini lapisan tebal tanaman yang membusuk dan memadat bernama gambut. Banyak hutan Indonesia tumbuh di atas lahan gambut. Dan gambut kaya akan karbon.”
Meskipun ada moratorium deforestasi yang dibuat Presiden RI pada 2011, ditambah seruan Menteri Kehutanan, pembakaran lahan gambut terus terjadi untuk membangun “perkebunan di dalam abu”. Pemilik kebun kemudian memanen sawit dan menjualnya ke perusahaan distribusi global, Wilmar, yang ternyata tahu bahwa minyak sawit yang mereka beli diperoleh secara ilegal.
Ini membuat Ford berang. Maka dia menenemui dan menginterogasi pihak-pihak yang dianggap menutup mata pada perdagangan ilegal sawit. Kecurigaan pertamanya adalah Franky Widjaja. Franky adalah anggota keluarga Widjaja, pemilik Sinar Mas, konglomerat kelapa sawit dengan luasan kebun 450 ribu hektare. Nilai kekayaan bersihnya US$7 miliar atau setara Rp97,2 triliun dari menjual produk ini.
Ford secara tegas menjelaskan pada Franky kehancuran akibat operasinya. “Pernahkah Anda merasa bersalah karena itu?” Ford bertanya. Jawaban Franky membuat kita tercengang. Menurut Franky, justru karena pemerintah membiarkan perusahaanya melakukan semua pelanggaran tersebut.
Itulah yang mendorong Ford menemui orang berikutnya, Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan yang diyakini Ford melakukan korupsi karena membiarkan beroperasinya bisnis yang merusak hutan lewat praktik impunitas.
Tak mendapat jawaban memadai dari menteri, keesokan harinya Ford menemui Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk menanyakan apakah moratorium deforestasi dulu itu dipatuhi. Yudhoyono menjawab, “Beberapa pihak menentang, tapi saya musti lakukan karena banyak yang dapat dihasilkan melalui moratorium ini.”
Years of Living Dangerously unggul dalam hal mengkomunikasikan realitas perubahan iklim. Bukan hanya menyajikan fakta tentang perubahan iklim, tapi juga akibatnya bagi penduduk dari negara yang dikunjungi serta isu-isu menarik terkait.
Dengan tekanan besar media, Years of Living Dangerously menunjukkan betapa penting media. Status sebagai selebriti membuka banyak pintu, termasuk birokrasi, dan ampuh dalam menyedot perhatian. Pendeknya, jika ada yang keberatan mendengar penjelasan ilmuwan, mungkin mereka bersedia mendengar Indiana Jones.
***
Dimuat di Majalah Detik edisi 205, 2-8 November 2015