Pernah Azan Berkumandang Sayup di Musajik Usang
Sumatera Barat masih menyimpan masjid-masjid kuno eksotis. Sebagian terjaga baik, sebagian butuh sentuhan orang-orang yang peduli.
Oleh Silvia Galikano
Jika berkesempatan ke Sumatera Barat, sempatkan juga melihat masjid-masjid tuanya. Masjid dengan atap gunungan meruncing dan kolam di depannya. Masjid dengan kelokalan yang kental sebelum jadi seragam berkubah bawang dari ujung ke ujung negeri.
Baca juga Masjid Tanjungmedan
Salah satunya adalah masjid di Kelurahan Kotomarapak, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, kira-kira setengah jam berkendara dari Kota Bukittinggi ke arah Pekanbaru. Masjid yang berdiri di atas tanah wakaf suku Simabue Kayu itu bernama Masjid Jamik Kotomarapak.
Letaknya di bawah permukaan jalan dengan anak tangga turun terbuat dari tembok. Bentuknya rumah panggung, berdinding kayu, dan beratap jenjang tiga meruncing ke atas. Masyarakat meyakini, tiga jenjang itu lambang tiga tahap pejalanan manusia menuju Tuhan, yakni Islam, Iman, dan Ihsan.
Di bagian depan, menyambung ke masjid, adalah bangunan dari bata yang disebut burando (beranda). Kaki-kakinya “menancap” ke tabek (kolam).
Fungsi tabek di depan masjid adalah sebagai tempat berwudu. Selesai berwudu, baru kemudian jamaah masuk ke masjid dengan menaiki tangga burando.
Baca juga Masjid Jamik Bengkulu
Dinding masjid tidak tegak lurus, melainkan miring sekitar 10 derajat, melebar ke atas. Di dinding ini terpasang 20 jendela, masing-masing dengan dua daun jendela kayu membuka ke dalam.
Dua puluh jendela itu melambangkan 20 sifat Tuhan yang merupakan pintu untuk mengenal dan menempuh jalan-Nya. Sifat-sifat itu di antaranya wujud (ada), qidam (terdahulu), baqa (kekal), mukhalafatuhu lilhawadits (berbeda dengan makhluk-Nya), qudrat (kuasa), iradat (berkehendak), dan hayyan (hidup).
Ada sembilan tiang di dalam masjid, berbahan kayu dengan ukiran corak pucuk rebung di kaki dan di pertemuan ujung tiang dengan langit-langit yang terbuat dari anyaman bambu. Tiang yang di tengah-tengah memiliki ukiran paling banyak, bukan hanya di bawah dan atas, melainkan juga di tengah tiang.
Baca juga Jejak Pak Nas di Masjid Cut Meutia
Jika ditanya ke masyarakat Ampek Angkek kapan masjid ini dibangun, jawabannya kurang lebih serupa, “Sejak neneknya nenek dulu sudah ada.” Orang-orang yang menjalani masa kecil dan remaja hingga era 1970-an di Ampek Angkek, umumnya punya kenangan akan masjid ini.
Seperti diceritakan Nadra Hanum, 71 tahun, yang shalat tarawih di sini sejak masa kecil hingga remaja sebelum kemudian merantau ke Pulau Jawa.
Menurutnya, jamaah masjid ini dahulu adalah masyarakat Kotomarapak Mudiak (Kotomarapak bagian selatan). Sedangkan masyarakat Kotomarapak Ilia (bagian utara) punya masjid sendiri, bernama Surau Ladang. Walau bernama surau, fungsinya seperti masjid, termasuk diselenggarakannya shalat Jumat.
Astuti Koto dan Zahmanetti dalam akun Facebook mereka menuliskan punya kenangan saat kecil berenang dan mandi di tabek depan masjid. Di tabek ini juga anak-anak mencari cipuik (siput) sebelum pergi mengaji ke rumah Pak Datuak Naro/ Datuak Bandaro, guru mengaji kampung yang rumahnya tak jauh dari masjid.
Mulai ditinggalkan
Pembangunan masjid jamik baru Kotomarapak rampung pada awal 1970-an. Masjid itu dibuat dari bata, bertiang beton, dengan lantai (bahkan sampai ke dinding) berlapis keramik, dan berkipas angin di beberapa titik walau udara Kotomarapak sejuk.
Apalagi letak masjid baru ini persis di tepi jalan. Strategis, kata orang sekarang. “Saya menikah pada 1973 sudah di masjid baru,” ujar Hanum.
Baca juga Bentang Bagak Arsitek F. Silaban
Masjid lama ditinggalkan. Masjid dari kayu itu pun punya gelar baru “Musajik Usang (Masjid Lama)”, atau ada juga yang menyebutnya “Surau Lamo” karena hingga beberapa waktu kemudian fungsinya sebagai surau.
Setelah itu, Musajik Usang sama sekali ditinggalkan sebagai tempat ibadah. Anak-anak kampung menggunakannya sebagai tempat bermain sandiwara-sandiwaraan serta tiang-tiangnya jadi tempat yang sempurna untuk bersembunyi saat bermain tunggak (petak umpet).
Lebih dari 40 tahun ditinggalkan, kondisi masjid kini mengenaskan. Lantai kayunya bukan saja berderit-derit ketika diinjak, bahkan rawan jebol jika kita tanpa sadar menginjak bagian yang lapuk. Beberapa bagian lantai sudah berlubang ditinggalkan bilah papannya.
Walau begitu, bangunannya tetap tidak dirobohkan. Sebuah pantangan besar yang dipegang keluarga Simabue Kayu.Walau begitu, bangunannya tetap tidak dirobohkan. Sebuah pantangan besar yang dipegang keluarga Simabue Kayu.
Baca juga Budaya dan Identitas Baru Tubaba
“Tidak boleh dibuka (dibongkar). Nenek-nenek dulu membuat masjid bukan untuk dibuka,” ujar Lima, 80-an tahun, dari keluarga Simabue Kayu, pada Agustus 2016 di Kotomarapak.
Namun untuk memperbaikinya juga dibutuhkan biaya yang sangat besar, yang semestinya jadi perhatian pemerintah kabupaten, atau malah provinsi.
Panel enkripsi
Mengingat sudah lamanya masjid ini ditinggalkan dan sudah panjangnya rantai generasi, nyaris tak didapat keterangan tentang sejarah masjid secara detail. Satu-satunya petunjuk tertulis adalah enkripsi di satu panel kayu penghubung antarjenjang atap.
Di panel itu terdapat empat baris dan satu kolom huruf Arab gundul (huruf Jawi) berbahasa Melayu dialek Minangkabau. Berdasar diskusi dengan Jufran Helmi, 54 tahun, yang juga kelahiran Ampek Angkek serta beberapa anggota Malaysian Heritage and History Club, empat kelompok tulisan berhasil dipecahkan, sedangkan satu kelompok masih jadi pe-er:
Baca juga Bermula dari Nanas Penangkal Bajak Laut
“Saya terangkan guna…” (kalimat selanjutnya belum terpecahkan),
“Nan minta Majo Indo”
“Gala Tuanku nan Setia sarato Tuanku nan Basar”
“1319. Yaitu Tuanku Alim yang baduo marajo’kan ini perumahan”
“Tulis Faqih Palimo Sutan.”
Dari enkripsi itu diketahui Masjid Jamik Kotomarapak didirikan dua orang (ulama), yakni Majo Indo yang bergelar Tuanku nan Setia serta Tuanku nan Basar pada 1319 Hijriyah atau 1901/1902 Masehi. Artinya, usia masjid ini setidaknya sudah 114 tahun.
Baca juga Makam Raden Saleh dan Jejak Sukarno di Tanah Bangsawan Sunda
Mihrab muazin
Di atas mihrab ada lagi mihrab yang dibuat tinggi, namanya mihrab muazin. Mihrab muazin punya atap sendiri, berbentuk kubah kecil, terpisah dari atap runcing tiga jenjang.
Ada tangga untuk naik ke mihrab muazin. Ruang sempit berbentuk silinder itu punya delapan jendela sekeliling menara, masing-masing dengan dua daun jendela.
Jufran Helmi menceritakan, dahulu, lima kali sehari muazin menaiki tangga menuju mihrab muazin untuk mengumandangkan azan. Bukan hanya satu, melainkan tiga hingga empat muazin yang saling berpunggungan, mengumandangkan azan secara serentak ke berbagai arah.
Baca juga Dua Rumah Ibadah di Satu Masa
Masa itu, istilah “mengumandangkan” masih pas digunakan karena semua otentik, akustik, tanpa corong kaleng pengeras suara memekakkan telinga. Azan sayup-sayup sampai diantarkan udara pegunungan, melewati sawah, menembus kebun, hingga sampai ke rumah-rumah panggung penduduk desa.
Gempa besar Padang pada 2007 dan 2009 membuat kubah mihrab muazin yang sebelumnya tak tegak bertambah miring. Karena belum ada juga yang memperbaiki, kini, kubah berikut mihrab muazin dan mihrab bawah ambruk hingga menembus lantai dan tampak tanah di bawahnya. Runtuh bersama kenangan tentang suara azan yang dahulu pernah sayup-sayup merdu.
***
Dimuat di sarasvati.co.id, 29 November 2016
Wah senang sekali dapat narasi dan potret masjid kuno di Minangkabau. Sayang nasibnya serupa dgn rumah gadang. Perlahan dan pasti akan terganti dgn gaya arsitektur modern. Jika tidak sama-sama merawatnya.
Salam kenal bu.
http://www.kidalnarsis.com
Salam kenal kembali, Mas Ubay.
Terima kasih sudah mampir….
Moga masjid tua Koto Marapak dapat di rawat dan kembali dapat di aktifkan untuk kegiatan keagamaan.
Amin.