Mencipta Imaji Baru Pabrik Tua

PG colomadu,Fabriek Fikr 2
Permainan cahaya lampu yang disorotkan ke dinding bangunan PG Colomadu, (Foto: Silvia Galikano)

Seniman bukan hanya berekspresi seni, tapi juga membaca korelasinya dengan respons manusia.

Oleh Silvia Galikano

Tiga perempuan berlilit kain putih menyapukan cat hitam ke rambut panjang mereka. Setangkup demi setangkup cat dibawa ke rambut yang disampirkan di bahu, turun ke dada. Gerak perlahan, rasa magis tak tertolak.

Suasana berubah begitu air disemprotkan dari empat sudut panggung dan dikucurkan dari pipa-pipa yang dipasang melintang di atas.

Dua laki-laki masuk ke tengah panggung membawa masing-masing sebingkai kanvas kosong besar. Lalu…  splash…! Splash…! Tiga perempuan itu “mencambukkan” rambut mereka yang basah oleh cat ke dua kanvas kosong membentuk sapuan hitam tak beraturan.

Painting Performance adalah salah satu sajian  “Fabriek Fikr 2: Expanded Performance” pada 19-20 November 2016 di Pabrik Gula (PG) Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Pabrik yang hampir 20 tahun ditinggalkan, bahkan jadi sumber cerita-cerita seram di tengah masyarakat, jadi panggung sekaligus backdrop selama dua hari.

Perhelatan budaya ini adalah penyelenggaraan kedua setelah tahun lalu, “Fabriek Fikr 1”, juga diadakan di PG Colomadu. Bila pada 2015, “Fabriek Fikr” mengangkat tentang seni merespon bangunan penuh dengan mesin-mesin baja, tahun ini, “Fabriek Fikr” menggagas tentang rentang panjang sebuah seni pertunjukan.

Tak kurang 70 seniman tari dan lukis meramaikan gelaran tahun ini. Maestro Sardono W. Kusumo jadi penggagas ide dan pengarah seluruh penampilan.

Painting  Performance yang menampilkan pertunjukan melukis pada hari kedua, adalah juga judul untuk “pertunjukan tetap” “Fabriek Fikr 2”. Sebuah ruang memanjang dengan lantai lebih tinggi layaknya panggung, disulap menjadi studio-studio lukis. Para pelukis muda asal Solo menghabiskan sebagian besar harinya di sana, menjalani keseharian, seperti tidur, makan, dan melukis.

Tony Bruer pada Fabriek Fikr 2015 membuat atraksi lumayan ekstrem dengan merayapi dinding dan langit-langit, berjalan di antara sekat-sekat baja, dan bergelayutan di kisi-kisi besi pabrik.  Kali ini, seniman teater asal Bandung itu berkemah di dalam pabrik selama sepuluh hari sebelum tanggal 19 November 2016. Dia mengurung tubuhnya di dalam sebuah ruang, menutup diri dari pabrik yang dulu pernah dia taklukkan keluasannya, dengan menciptakan dan menikmati proses hidup di ruang yang kecil.

Dinding pabrik juga jadi semacam layar proyektor dalam Expanded Cinema yang memutar dokumenter buatan Sardono W. Kusumo pada era 1960-an saat usianya 20-an tahun. Pada usia yang masih sangat muda, Sardono telah masuk ke daeah-daerah yang saat itu dianggap pedalaman, seperti perkampungan Dayak, Nias, dan Papua; dan melakukan perjalanan ke berbagai negara bersama para seniman.

Dokumenter itu merekam peristiwa adat dan tokoh penting seperti Affandi, Ketut Rina, dan Sitor Situmorang. Sardono juga mengabadikan peristiwa seni internasional ketika dia membawa rombongan penari Indonesia ke mancanegara.

Sardono membuat rekaman peristiwa menggunakan kamera 8 mm.  Seluruh materi seluloid 8 mm ini baru selesai direstorasi di Australia dan dibuat salinannya dalam bentuk digital.

Fasad pabrik juga jadi punya wajah berbeda ketika ditembakkan visual video mapping. Lima penari hip hop asal Papua tak hanya mempertontonkan kemampuannya menari, tapi juga memasak dengan batu yang dibakar hingga suhu panas maksimal, khas cara masak di Papua, dalam Papua Kuliner. Mereka kemudian memasak menggunakan kompor gas, sebuah perpindahan gaya hidup tradisional hingga masa modern.

“Fabriek Fikr 2” mengusung konsep bahwa pertunjukan tidak harus selalu berbentuk normatif seperti yang sudah sering dilihat penonton. Kehidupan para seniman sesungguhnya menjadi daya tarik tersendiri, bagaimana seniman merespon medium di depannya.

PG Colomadu didirikan atas perintah Mangkunegara IV (1809-1881) pada 1861 untuk mendukung industri gula milik pribadi keluarga Mangkunegara IV. Masa itu merupakan transisi dari ekonomi berbasis pertanian menjadi berbasis industri yang bertumpu pada mesin uap.

Berdirinya PG Colomadu memancing berdirinya 250 pabrik gula lainnya hanya dalam waktu 20 tahun,  sebagian besar di Jawa Tengah dan melebar hingga Jawa Timur. Lanskap pulau Jawa sejak itu bukan lagi wilayah yang senyap, tenang, dan alami, tetapi sudah hiruk pikuk dengan gemuruh mesin pabrik, derit roda-roda kereta api, serta menghitamnya langit akibat kepulan asap dari cerobong pabrik.

PG Colomadu berhenti berproduksi dan ditutup pada 1997 setelah merosotnya hasil produksi dan berkurangnya lahan tanaman tebu.

dulu-rumah-administratur-pg-colomadu-foto-silvia-galikano
Dulu rumah Administratur PG Colomadu. (Foto: Silvia Galikano)

Setelah hampir 20 tahun terbengkalai, gelap, dan lembap, tiba-tiba di tempat ini ada keriaan. Masyarakat berdatangan bukan hanya menjelang pembukaan acara yang berlangsung pukul 3 sore, melainkan setelah segala seremoni selesai, hingga jauh malam, menikmati lampu-lampu yang disorotkan ke dinding, ke pipa-pipa baja yang bersuluran di lantai menukik sampai atap, dan ke tanki-tanki yang berjajar di langit-langit.

Antusiasme masyarakat menjadikan “Fabriek Fikr” menarik. Seniman bukan hanya berekspresi seni, tapi juga membaca korelasinya dengan respons manusia. Bagaimana peristiwa seni ini telah menstimulasi orang untuk membangun imaji seninya masing-masing.

“Masyarakat menciptakan narasi baru tentang pabrik ini. Setelah tumbuh bersama seni tradisi, wayang kulit, wayang wong, lagu-lagu Gesang, maka rekaman imajinasi itu diputar lagi saat ini,” ujar Sardono W. Kusumo kepada wartawan pada hari kedua acara, 20 November 2016.

Bagaimana masyarakat membangun imajinya masing-masing ditunjukkan Tony Bruer melalui seorang ibu yang datang membawa anak menjelang pukul 10 malam, langsung ke belakang tempat teronggoknya bus tua. Rupanya saat muda dahulu ibu itu kerap menyediakan makan untuk karyawan PG Colomadu, dan bus-bus milik PG menjadi pemandangannya sehari-sehari.

“Selama ini ada koneksi yang terputus dengan bus itu dan lewat acara ini, dia mengumpulkan lagi memori tersebut. Gejala ini menunjukkan sudah adanya ekosistem kesenian di PG Colomadu,” ujar Tony.

PG Colomadu kembali menjadi ruang publik. Ruang publik yang diciptakan masyarakat, bukan oleh seniman. Tinggal yang jadi pekerjaan rumah adalah menjaga kesinambungannya dengan tetap membuat acara seni secara berkala.

Karena tanpa ada acara seni, PG Colomadu kembali lagi ke ketuaannya, rongsok, seram. Di sini pula peran serta negara diperlukan, untuk menjamin bangunannya tetap ada, atau bahkan dihidupkan kembali dalam peruntukan berbeda.

***

colomadu, sardono
Saya di teras belakang rumah Administratuur PG Colomadu.

Dimuat di majalah SARASVATI edisi Desember 2016

cover_sarasvati_edisi_37

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.