Mengindra Sketsa Sang Maestro

Dia tak terlalu setuju apabila gambar-gambarnya didefinisikan sekadar sketsa, yakni rancangan atau bagan sebelum ditingkatkan menjadi drawing dan digubah sebagai lukisan.
Oleh Silvia Galikano
Sepanjang hidupnya, maestro pelukis S. Sudjojono membuat banyak sekali sketsa yang bukan sekadar gambar orat-oret, melainkan menyerupai catatan harian, catatan sejarah mengenai segala sesuatu yang dilihat atau dialaminya.
Melalui sketsa-sketsanya kita dapat melihat lebih dalam proses Sudjojono yang selalu detail dalam melakukan observasi dan studi sebelum menciptakan karya. Catatan dan data-data yang sudah dalam rupa sketsa tersebut nantinya dituangkan menjadi lukisan cat minyak di atas kanvas.
Baca juga Cinta Sudjojono yang Tak Pernah Hilang
Lebih dari 100 sketsa karya Sudjojono dan memorabilia Sudjojono dapat dinikmati publik di Bentara Budaya Jakarta dalam pameran bertajuk “Hidup Mengalun Dendang”, 6-13 Juni 2017. Pembukaannya dibarengi dengan peluncuran dua buku, S. Sudjojono: Cerita tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya serta Kisah Mawar Pandanwangi di tempat yang sama.
Buku pertama adalah autobiografi S. Sudjojono, sedangkan buku kedua adalah biografi Rose Pandanwangi, penyanyi seriosa Indonesia, pemenang 12 kali Bintang Radio pada 1950-an dan 1960-an, istri Sudjojono, serta model bagi banyak lukisan Sudjojono.
Sudjojono ditabalkan sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru pada 1949 oleh Trisno Sumardjo, kritikus dan salah satu murid Sudjojono bersama Zaini dan Nashar. Dia pendiri Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia), yang menurut catatan Sudjojono berdiri pada 1937 (konsisten dia menulis demikian, walau menurut catatan lain, tahun 1938).
Selain itu, Sudjojono adalah pemimpin Seniman Indonesia Moeda (SIM, 1946), serta pembina seni lukis dalam seksi kebudayaan Poesat Tenaga Rakyat (Poetera) dan Keimin Bunka Shidoso pada zaman pendudukan Jepang. Dia pula kritikus dan pemikir yang tajam dalam seni lukis Indonesia.
Baca juga Kritik dalam Rumah Kaca “Museum” Seni
Karya-karya besarnya, antara lain, Ada Orkes (1970), Anak-anak Gadisku (1976), Bis Kota (1975), Di Dalam Kelambu Terbuka (1939), Kawan-kawan Revolusi (1947), dan Lagu Setelah 26 Tahun (1985).

Selain lukisan-lukisan yang termahsyur, Pak Djon membuat ribuan sketsa dengan pensil, cat air, ballpoint, dan tinta cina. Sketsa itu penting bagi seorang pelukis, ibarat catatan harian, atau tak ubahnya studi lukisan yang akan diterapkan di atas kanvas atau media lain, demikian dia pernah ucapkan pada 1970-an.
“Sudjojono beranggapan bahwa melalui sketsa kita dapat melihat apakah seseorang itu pelukis besar yang mampu melukis dengan dasar teknik yang baik atau tidak,” ujar kurator pameran Ipong Purnomo Sidhi saat pembukaan pameran.
Jika ada pelukis yang digelari “besar”, “master”, atau “kelas berat”, Ipong mengutip Sudjojono, “Coba lihat buku sketsa dia. Bukti si master atau pelukis gede itu terlihat dari garis-garis sketsa hitam putih tadi. Menurut pengalaman saya, kalau bisa saya lihat sketsa-sketsa mereka, kasihan, banyak mereka bergelimpangan di bawah tanah.”
Hal ini karena sketsa menjadi karya jujur—Sudjojono pakai istilah bares, bahasa Jawa yang berarti jujur, terus terang—tidak dibuat-buat, dan menjadi bagian dari pencariannya meski belum juga menemukan apa yang dia cari dengan melukis (Kompas, 11 Mei 1976). Jika warna dan tema dapat “menipu”, maka sketsa tak bisa bohong.
Itu pula sebabnya dia tak terlalu setuju apabila gambar-gambarnya didefinisikan sekadar sketsa, yakni rancangan atau bagan sebelum ditingkatkan menjadi drawing dan digubah sebagai lukisan.
Baca juga Tribute untuk Sang Maestro
“Kalau banyak orang mengumumkan gambar-gambar saya sebagai sketsa (dalam pengertian umum tersebut), maka saya akan menyimpannya sebagai catatan harian. Aantekening perasaan saya, gambaran pikiran saya, visualisasi peristiwa saya. Sketsa adalah potongan-potongan autobiografi,” kata Sudjojono seperti dikutip kritikus seni Agus Dermawan T.
Selain itu, Sudjojono punya kebiasaan membuat sketsa yang dilengkapi catatan atau inskripsi tentang makna gambar, hal yang tak bisa dijelaskan dalam bentuk rupa, dan punya peran sama pentingnya dengan sketsa.
Ambil contoh sketsa Zuster Retno (1986) dengan inskripsi lumayan panjang. Di samping gambar perawat membelakangi pelukis, terbaca tulisan tangan berikut:
Een Zuster Retno antar saya ke physio-terapie 17 Jan 1986. Kalau hari mulai mekar, seakan-akan gerak daun bunga mulai berkembang, dara-dara putih “terbang” di lorong-lorong berbatasan puluhan tiang putih, ke semua jurusan tertentu, tidak tanpa tujuan. Tiap dara cantik putih membawa pesan dalam hati: “Aku cinta padamu. Lekaslah sembuh!” Kalau banyak pelukis, atau seniman butuh nama. Dara-dara putih ini tak butuh catatan. Hari datang mereka kerja. Malam tiba, mereka jaga. Teratai-teratai berkembang di lumpur busuk. Jak 1986. S. Sudjojono. Rumah Sakit “Persahabatan”.
Sketsa Sultan Agung
Salah satu bukti betapa sketsa merupakan hal yang sangat serius bagi Sudjojono adalah untuk satu lukisan besar Pertempuran antara Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen (300×1000 cm, 1973) yang kini disimpan di Museum Sejarah Jakarta, dia membuat ratusan sketsa terlebih dahulu, potongan demi potongan adegan.
Sketsa-sketsa itu antara lain Beginilah Cara Duduk Sultan Agung, Gaya-gaya Perkelahian Pasukan Jawa Melawan Belanda, Orang Jawa sedang Ngintip, Kain Sebagai Pengikat Rambut dan Kepala, Pertemuan Kyai Rangga dan J.P. Coen, Mataram versus Pati, serta Sketsa-sketsa Alat Perang yang Digunakan yang seluruhnya bertahun 1973 dan ditampilkan di pameran.
Agus Dermawan T. menceritakan pernyataan Sudjojono pada 1981, bahwa ratusan sketsa untuk lukisan itu dibikin berdasarkan persepsi prbadi terhadap sejarah yang Sudjojono dengar dan baca, dengan mempersepsi sejarah Sultan Agung dan VOC secomot demi secomot.
Pandangan Sudjojono terhadap Sultan Agung berangkat dari cerita gurunya pada 1930-an dan kisah kebrutalan tentara Belanda didapatnya dari cerita Bung Karno. Sedangkan inspirasinya dalam menggambarkan perang adalah dari lukisan sosial dan politik Ilya Repin dan Vasily Surikov dalam majalah seni The International terbitan 1930-an awal.
“Dengan kata lain,” ujar Agus, “Setiap adegan yang ia sampaikan dalam sketsa selalu ada interupsi dari pengalamannya. Pengalaman memahami sejarah yang tumbuh dari sepotong-sepotong hidupnya.
Misalnya begini, Sudjojono melakukan penelitian historis di berbagai kitab dan museum sampai ke Belanda, melihat ratusan arsip—literer maupun visual—yang terdokumentasi dalam foto, ilustrasi, sampai litografi. Akan tetapi tetap saja persepsi yang kadung hadir di dalam benaknya tak bisa luruh, tak kunjung hilang dari ingatan.
Pun pencerapan pikiran pribadi dan suara hatinya berperan dalam membuat gambar fragmen-fragmen sejarah. “Kesombongan Coen yang ada dalam gambar saya, bisa disamakan dengan keangkuhan mandor Belanda yang saya lihat di perkebunan Deli, Sumatera,” kata Sudjojono seperti dikutip Agus.
Dengan begitu, gambar kejadian yang lahir dari tangan Sudjojono bukan sekadar rekaman peristiwa, bukan sekadar mengabadikan fakta sejarah—yang kadang direkayasa oleh si penyusun sejarah.
Di dalamnya banyak tersimpan persepsi pribadi, yang dipercaya menyimpan sisi lain kebenaran sejarah. Barangkali Sudjojono berpikir, apabila seorang penulis boleh menyusun sejarah yang sejalan dengan visinya, mengapa pelukis tak boleh melukiskan sejarah berdasar persepsi dan versinya.

***
Dimuat di majalah SARASVATI edisi Juli 2017