Joseph Johannes, Pria Armenia dari Bukit Simongan

Artsakh, Joseph Johannes, Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan
Republik Artsakh saat ini. (Peta Wikipedia)

Gedong Dhuwur atau Sarang Garuda di Semarang, kediaman pedagang besar Oei Tjie Sien (1835 – 1900) yang juga ayah Oei Tiong Ham, menyimpan jejak Joseph Johannes. Di atas reruntuhan rumah Joseph-lah Gedong Dhuwur berdiri.

Lantas siapakah Joseph Johannes, yang namanya kini “tersisa” sebagai tuan tanah pengutip uang masuk ke klenteng Gedong Batu?

Baca juga Sarang Garuda, Epos Keluarga Oei

Nama asli Joseph Johannes adalah Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan (1778 – 1835). Dia pedagang besar asal Armenia keturunan bangsawan Artsakh. Lahir di Fereidan, Provinsi Isfahan, Iran, 1778.

gedong dhuwur, sarang garuda, oei tjie sien
Rumah Oei Tjie Sin, dahulu bagian belakang, sekarang jadi bagian depan asrama keluarga TNI AD. (Foto: Silvia Galikano)

Sejak lahir, kepadanya sudah ditanamkan cita-cita besar untuk kemerdekaan tanah leluhur, Artsakh, hingga itu menjadi tujuan hidupnya sepanjang hayat.

Artsakh sekarang adalah Republik Artsakh atau Republik Nagorno-Karabakh, negara-tak-diakui yang berada antara Armenia dan Azerbaijan. Sejarahnya panjang melewati sejumlah penjajahan.

Dari 189 SM hingga 387 M, Artsakh adalah provinsi (nahang) ke-10 Kerajaan Armenia. Setelah itu menjadi wilayah gubernuran Albania-Kaukasia di Sasanid-Persia pada 387 hingga abad ke-7. Sepanjang abad ke-7 hingga ke-9, Artsakh jatuh ke kekuasaan Arab.

Pada 821, dibentuklah kerajaan Armenia di Khachen. Sekitar tahun 1000 diproklamasikan Kerajaan Artsakh. Artsakh jadi salah satu kerajaan terakhir di Armenia bagian timur dari abad pertengahan yang mempertahankan otonominya setelah invasi Turki pada abad ke-11 hingga ke-14.

Baca juga Suleyman Gunduz dan Potret Yerusalem dari Zaman ke Zaman

Artsakh, Joseph Johannes, Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan
Artsakh (hijau) saat menjadi bagian dari Kerajaan Armenia, 189 SM – 387 M. (Peta: wikimedia)

Berikut adalah cerita tentang Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan (Joseph Johannes) oleh putrinya, Anna Johannes (1831 – 1894), seperti saya kutip dari Annajohannes.eu, website yang dikelola keturunan Agha di Belanda.

Hovsep  dikirim ayahnya ke Kalkuta, India untuk bersekolah di Sekolah Armenia pada usia 18 tahun, hingga kemudian dia menjadi pedagang besar (kojakh).

Saat berusia 30-an Hovsep berlayar dari Kalkuta menggunakan The Tyger, kapal kayu schooner miliknya sepanjang 18 meter, menuju Semarang dan mendarat pada 1808. Di kota ini dia bermaksud membuka kerajaan bisnis.

Selain barang dagangan, Hovsep membawa surat-surat dari para pedagang di Kalkuta yang ditujukan bagi pedagang Armenia di Jawa. Ada pula surat keterangan dari Bank of Calcutta yang menjelaskan bahwa dia klien terpercaya dari bank tersebut.

Anna Johannes, Artsakh, Joseph Johannes, Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan
Anna Johannes. Foto kanan hasil retouch oleh Photostudio pada 1879. ( (Dok. annajohannes.eu)

Hovsep mulai membeli perkebunan demi perkebunan. Dia juga berdagang, antara lain mutiara, berlian, kain katun dan sutera, kapal, alat penggilingan gula, gudang, rumah, tembakau, kismis, mentega, liqors, kayu, marmer. Sebagai kojakh, Hovsep tidak bermain eceran. Semua partai besar.

Baca juga Melongok Kejayaan Siak

Pada 1810 Inggris mengambil alih Jawa dari tangan Belanda. Negeri Belanda dikuasai Napoleon dari Prancis, karenanya Inggris merasa harus melindungi Asia Tenggara dari serangan Prancis. Rencana berikutnya adalah mengambil alih negeri-negeri jajahan Belanda.

Tentara Inggris yang menguasai Jawa membutuhkan uang, makanan, dan tempat berteduh. Di sinilah Agha Hovsep menjadi orang yang menyediakan seluruh kebutuhan orang-orang Inggris tersebut.

Sebagai rasa terima kasih, Letnan Gubernur Jawa Sir Thomas Stamford Raffles menghadiahkan seluasan tanah di dataran tinggi Simongan atau Gunung Mlaja pada 1811, dan diberi nama “Johannesberg”.

Baca juga Hotel Majapahit

Hovsep menjadikan lahan ini sebagai kebun teh.  Sedangkan puncak bukitnya dijadikan area makam yang dibagi dua; untuk pemakaman Kristen-Eropa; serta untuk pemakaman Hovsep, keluarga, dan orang-orang Armenia lainnya.

Dari puncak bukit, Hovsep bisa memandang lahannya, bahkan jauh hingga ke Laut Jawa. Dia sering ke puncak bukit ini untuk mencari ketenangan dan kedamaian.

Artsakh, Joseph Johannes, Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan
Kebun kopi di Bukit Simongan, Semarang, antara abad ke-19 dan ke-20. (Dok. annejohannes.eu)

Pada 1812 lahir anak pertama Hovsep, David, dari hubungannya dengan perempuan pribumi. Diperkirakan pada tahun yang sama Hovsep bertemu Jacoba Helena Herwich (1796 – 1846), perempuan berdarah Jerman yang lahir di Semarang. Keduanya menikah setahun kemudian di Semarang dan beroleh sembilan anak, lima perempuan dan empat laki-laki.

Baca juga Isola dan Misteri Raja Media

Rumah mereka selalu didatangi tamu. Para kojakh Armenia, keluarga dari Isfahan, tamu dari Jakarta, India, Basrah, serta Konstantinopel. Mereka bicara bahasa Armenia. Kadang anak-anak Hovsep ikut bergabung walau hanya mengerti sedikit bahasa Armenia. Selain bahasa Armenia, Hovsep banyak menggunakan bahasa Inggris, sedikit Belanda, Melayu, dan Jerman.

Tamu-tamu ini menginap berhari-hari dan kadang mereka bicara di ruang tertutup yang tak boleh dimasuki siapa pun, termasuk pelayan untuk menyuguhkan makanan dan minuman.

Setiap siang, para pekerja kebun datang ke rumah untuk makan. Meja-meja dan kursi-kursi diletakkan di taman yang luas di kerindangan pepohonan. Hovsep mempekerjakan lima koki yang menyiapkan makanan untuk para pekerja.

Baca juga Sentot Alibasyah dalam Lingkaran Perang Padri

Menurut daftar barang milik Agha Hovsep, seperti tercatat di Perpustakaan Nasional Belanda, satu dinner set keluarga ini terdiri dari 100 piring, 100 mug, 100 set sendok-garpu-pisau.

klenteng sam poo kong, klenteng simongan
Klenteng Gedong Batu Sam Poo Kong di Simongan, Semarang.

Perang antara Eropa-Sekutu (European Allies) melawan Prancis berakhir pada 1815. Napoleon kalah, Belanda kembali bebas.

Kondisi Belanda saat itu bankrut. Setelah lima tahun menjadi provinsi bagian dari negara Prancis dan harus bayar upeti ke negara barunya itu, Belanda kehilangan banyak duit. Apalagi Hindia Belanda diduduki Inggris, karenanya tak ada pemasukan juga dari kawasan ini.

Di samping itu, raja-raja dan bupati  Nusantara pelan-pelan bangkit melawan tekanan kolonial, membuat pemerintah kolonial mendapat masalah keuangan.

Sistem perpajakan tidak sempurna. Di seluruh sektor terjadi korupsi dan bocornya aliran dana serta tabungan negara. Agha Hovsep memperhatikan gejala ini dan menyadari kesempatannya.

Baca juga Istana Bale Kambang, Lakon Tragis Raja Gula

Agha Hovsep mendapat kontrak Wholesale untuk Produksi, Ekspedisi, Penjualan, dan Distribusi Opium sepanjang 1820 hingga 1826. All in one.

India memproduksi opiumnya, dikapalkan menggunakan kapal-kapal milik Agha, lalu disimpan di gudang-gudang miliknya juga. Seluruh pegawai pemerintahan yang terlibat dalam operasi dan aktivitas pelabuhan itu, “Entah goblok atau tidur atau korup.” (saya terjemahkan dari kalimat asalnya —silvia ).

Pernah suatu hari Agha Hovsep menyetir dari Kota Semarang, menjemput Gubernur yang sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat. Bangku belakang mobil penuh dengan opium selundupan (non-declared opium) yang baru dibongkar dari kapal. Mobil melewati bea cukai tapi tak satu pun petugas bea cukai yang mencegat sebab mereka tahu ada Gubernur di dalam mobil.

Agha Hovsep menjadi salah satu orang terkaya dunia dengan kekayaan miliaran gulden.

Baca juga Rumah Dua Langgam di Lereng Sindoro-Sumbing

Perang Jawa semakin mendekat. KNIL (Tentara Hindia Belanda) harus mengeluarkan uang untuk mempersiapkan diri dan membangun benteng-benteng pertahanan di Jawa bagian tengah, mengingat ancaman perang datang dari kesultanan Jogja.

Apa lacur, duit tak ada. Maka pada 1822 Pemerintah menemui Agha Hovsep mengajukan pinjaman sebesar 930 ribu gulden dengan jaminan surat berharga/surat utang.

Agha Hovsep dihadiahi lagi tanah pertanian dengan harga menggiurkan. “Tak perlu bayar bunga, kasih saya tanah saja yang di mata Anda tak berguna. Semua tanah yang saya sentuh akan berubah jadi emas.” Dan yang paling memalukan adalah Belanda tak pernah bayar utang-utang mereka.

Perang Jawa dimulai pada 1825. KNIL menghadapi banyak masalah sebelum akhirnya menang. Hanya dengan cara licik, pada 1830, Belanda berhasil menangkap pemimpin pemberontakan, Pangeran Diponegoro.

David, yang ditunjuk menjadi kapten salah satu kapal Agha, meninggal pada 1835 akibat sakit. Dia tak punya keturunan.

Dua pekan setelah David, Agha pun meninggal pada 25 March 1835 setelah tujuh bulan sakit akibat wabah penyakit.

Sebulan setelah Agha meninggal, rumah, kebun, seluruh harta, termasuk budak-budak dijual keluarga secara berkala hingga 1880-an. Istri dan anak-anaknya pindah ke rumah lain di Jalan Bodjong (sekarang Jalan Pemuda), Semarang.

Pada 15 Juli 1846, istri Agha tutup usia, hanya berselang 11 bulan setelah sang suami. Makam ketiganya; David, Agha, dan Jacoba terletak bersisian di Gunung Mlaja.

Pada 1874, pemakaman Gunung Mlaja dijual oleh keluarga ke komunitas Tionghoa seharga 200 ribu gulden, dengan syarat pemakaman Armenia tetap dijaga.

Beberapa tahun kemudian perjanjian ini tidak dipenuhi. Pemakaman Armenia hancur, sedangkan pemakaman Tionghoa tetap utuh. Pada 1934 hanya bagian utama makam Agha Hovsep dan David yang masih tampak.

Artsakh, Joseph Johannes, Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan
Makam Joseph Johannes (kanan, cungkup paling tinggi), makam Helena Jacoba, istri Joseph Johannes (tengah, tanpa cungkup), dan makam David Johannes, putera Joseph Johannes (kiri, cungkup kecil) di Bukit Simongan. (Dok. annajohannes.eu)

Pengumuman penjualan lahan

Pada akhir Desember 1835, akan diumumkan detail tempat, tanggal, jam, dan mekanismenya, lahan milik Joseph Johannes, akan dijual secara terbuka, lahan di sekitar Semarang, dikenal dengan nama Zoetendaal, Karang Modjo, dan Krapiak berikut seluruh negorijen di dalamnya, gunung dan sawah, kebun kopi dan tarum/nila/indigo, rumah-rumah batu di atasnya, bangunan luar berikut gudang dan pabrik nila baru, terletak di distrik La. F, sub no 619, 620 dan 621. Informasi dapat diperoleh di kantor Daendels & Co di Semarang.

Semarang, 19 November 1835.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.