Negeri Dongeng Bernama Ujungkulon

Taman Nasional Ujungkulon Banten tak semata tempat beranak pinak badak dan banteng. Cakrawalalah batas keindahannya.

Ke Ujungkulon harus bertemu badak atau harus melihat banteng liar sedang merumput?
Lantas apa yang salah jika sudah menempuh waktu delapan jam dari Jakarta untuk mencapai ujung barat pulau Jawa, tiga perempat waktu perjalanan merelakan tubuh diguncang-guncang akibat jalanan tanah berlubang-lubang besar, lantas sampai di Ujungkulon tak menjumpai seekor pun badak dan banteng liar?

O, Kawan, sayang sekali kalau cita-cita ke Ujungkulon semata melihat badak dan banteng liar. Biarlah mereka liar tanpa dikejutkan kilatan kamera manusia yang pongah dan gegabah. Ada kakilangit sebagai batas keindahan alam Ujungkulon yang setiap sentinya mengundang decak kagum.

Pergilah ke Pulau Handeuleum yang sehari-harinya tak berpenghuni dan tak ada aliran listrik. Jika malam, lampu badai sebagai penerang. Pulau ini berada di lekuk Teluk Selamat Datang yang tenang. Butuh satu jam perjalanan menggunakan kapal motor dari Desa Taman Jaya, desa paling barat pulau Jawa, menyeberang ke arah barat.

Kita akan temui rusa-rusa cantik yang demikian jinaknya. Rusa yang hidup liar. Mereka tak segan-segan mendekat ketika kita sedang makan, berharap mendapat lemparan tulang ayam atau bonggol jagung. Saya teringat Si Putih, kucing di rumah.

Di Handeuleum, makanan memang terasa lima kali lebih nikmat kalau kita makan di udara terbuka. Boleh saja menggotong meja makan ke luar lodge
(pondok tempat menginap), dan makan bersama di luar. Bisa pula meja hanya digunakan sebagai meja prasmanan, lantas yang makan duduk bersila di atas pasir pantai di bawah keteduhan bakau besar.

Maka rusa yang tadinya makan daun-daun di antara kerapatan pepohonan dan semak-semak, satu per satu keluar karena mencium bau makanan.

Di sekitar Pulau Handeuleum, terserak pulau-pulau kecil yang tak ada di peta. Pulau-pulau yang bahkan tak bertanah. Inilah ekosistem rawa, selain ada ekosistem darat dan ekosistem laut, tiga tipe ekosistem di Taman Nasional Ujungkulon.

Benar Kawan, ada pulau-pulau yang isinya semata kumpulan pohon bakau. Pohon yang oleh penggiat konservasi sering disebut pohon mangrove. Kali ini, bakau saja saya menyebutnya. Di pulau-pulau yang tak bertanah itu lima jenis bakau tumbuh di atas air. Akar-akarnya menghujam jauh ke dasar sungai.

Di antara julur-juluran akar bakau inilah berjenis-jenis ikan berumah. Ikan gabus dan sembilang favorit masyarakat untuk dijadikan lauk. Ada pula buaya yang tadinya mengapung berjemur matahari pagi, mendadak nyemplung saat melintas rombongan manusia mengayuh perahu.

Pak Otong, polisi hutan Taman Nasional Ujungkulon, mengingatkan kami para pendatang yang selalu riuh rendah setiap melihat pemandangan baru, agar tidak menyebut buaya sebagai “buaya”. “Mereka tidak suka dengan sebutan itu. Masyarakat Ujungkulon menyebutnya ‘pengantin’.”

Menggunakan canoe (jukung, menurut istilah setempat) yang masing-masing memuat lima orang, kayuhlah perlahan sepanjang sungai Cigenter, Cihandeuleum, dan Cikabeumbeum. Pengayuh utama sekaligus “jurumudi” jukung yang masyarakat asli Ujungkulon akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar tanaman apa yang tumbuh, binatang apa saja yang ada, kapan saja munculnya, serta nama-nama pulau kecil di sekitarnya.

Cigenter dipagari rapat oleh pohon nipah (Nypa fruticans). Masyarakat Ujungkulon menyebutnya pohon daon. Batang pohon nipah terendam air, buahnya berbentuk mirip kolang kaling. Di belakang pohon nipah (tidak di tepi sungai) tumbuh pohon-pohon besar tempat hidupnya burung-burung.

Kami masyarakat kota yang terbiasa mendengar klakson dan deru mesin
mobil tak bisa membedakan suara burung-burung di sini. Macam-macam ada. Dari suara paling bening hingga yang beda-beda tipis dengan suara dengkuran manusia, terdengar.

“Itu suara pipit. Kalau yang serak itu burung rangkong. Ini bau kotoran badak,” Sarwo, sang jurumudi. Tak lama, elang Jawa melintas tanpa suara dan tanpa mengepakkan sayap, meninggi, lantas hilang tertutup kerimbunan pohon. Adakalanya tampak monyet sedang meloncat pindah ke pohon yang berdekatan. Ada pula ular boa ukuran kecil sedang istirahat melingkar di dahan yang menjorok ke sungai.

Kayuhlah perlahan saja, Kawan. Nikmati setiap detik keseluruhan suasananya. Di Cihandeuleum, usai satu kelokan tajam, tersimpan sebuah negeri dongeng, persis seperti yang pernah saya baca kala kanak-kanak. Negeri terpencil tak terjangkau manusia. Misterius dan hening.

Pohon-pohon bakau tumbuh lebat menyuguhkan pemandangan yang sangat berbeda. Sinar matahari membias di antara kerapatan daun-daun bakau. Kami satu rombongan tak bisa menjelaskan apa yang membuat spot ini jadi lain. Kami terdiam. Kuat sekali rasa yang diantarkan. Ajakan untuk tak berpongah.

Bahkan sunrise dan sunset pun hadir dengan segala kesahajaannya. Tak garang bulat membelalak. Terbitnya di balik Gunung Honje dan tenggelam di balik perbukitan di daratan Pulau Jawa. Ada awan tipis yang setia mengitarinya. Cakrawala, batas keindahan Taman Nasional Ujungkulon.

Dimuat di Jurnal Nasional Minggu 20 Mei 2007.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.