Rasa Pelipur Rindu

Makanan menyimpan banyak unsur sentimentil di kehidupan setiap orang. Terkuak saat bertemu lagi dengan jajanan masa kecil.

Oleh Silvia Galikano

Ada dua menu khas Jawa Timur yang “benar-benar jawa timuran”. Menggunakan petis dan dominan pedas yang berasal dari cabe rawit merah. Rasa khas Jawa Timur itulah yang disuguhkan Rawon
Nguling dan Rujak Cingur Sedati pada Festival Jajanan Bango, 29—30 Juni lalu di Gelora Bung Karno Jakarta. Keduanya dijemput langsung dari tempat asalnya, yakni dari Probolinggo dan dari Surabaya.

Rumah Makan Rawon Nguling beralamat di Jalan Raya Tambakrejo No. 75 Tongas, Probolinggo, Jawa Timur. Letaknya yang dekat dengan Pasar Nguling menyebabkan rumah makan yang punya jagoan menu rawon ini dikenal masyarakat dengan sebutan Rumah Makan Rawon Nguling.

Selain di Tongal yang buka sejak tahun 1950-an, dibuka pula lima cabang yang seluruhnya berlokasi di Jawa Timur. Tak heran jika masyarakat Jakarta kurang akrab dengan nama rumah makan ini.

Namun, tidak demikian dengan masyarakat Jawa Timur yang memfavoritkan Rawon Nguling dibandingkan rawon lain yang mendapat ekspose besar-besaran di media massa. Seorang ibu pengunjung Festival Jajanan Bango, misalnya, dengan logat Suroboyoan bertanya kepada ibu Haryati, salah seorang pengelola Rawon Nguling, “Mengapa tidak membuka cabang di Jakarta? Supaya saya bisa makan Rawon Nguling tidak menunggu pulang ke Surabaya.”

Penasaran dengan keistimewaannya, seporsi rawon daging dipesan. Sengaja saya pesan rawon daging, bukan rawon dengkul yang juga tertulis di menu, karena yang asli Rawon Nguling adalah rawon sapi. Sedangkan rawon dengkul (dari lutut sapi) merupakan inovasi tiga tahun lalu.

Tak ingin hanya duduk manis menunggu rawon selesai disiapkan, saya berjalan ke belakang gerai, menengok panci tempat memasak rawon yang berkuah kental berminyak dan menguarkan aroma sedap. Sedap, benar-benar sedap aromanya. Warnanya cokelat tua. Bukan hitam sebagaimana rawon umumnya. Dua panci besar di atas kompor itu ternyata tinggal separuhnya, padahal acara baru diresmikan 30 menit kemudian.

Tak menunggu lama, seporsi rawon pun siap. Panas mengepul dan wangi. Ditemani satu kerupuk udang. Jika masih ingin makanan pendamping, tersedia empal, perkedel, dan tempe goreng.

Tak salah jika Rawon Nguling difavoritkan masyarakat Jawa Timur. Tetelannya empuk, bumbunya mantap, sedikit manis, dan wanginya itu lho. Bukan hanya wangi kluwak dan wangi kaldu. Ada wangi lain yang susah saya cari dari mana asalnya.

Bapak Jauhari, pengelola Rawon Nguling di Jalan Rajawali Surabaya dan Jalan Kedungturi Sidoarjo, membocorkan rahasianya, “Kami menumis bumbu rawon dengan bahan bakar dari kayu bakar, bisa sampai empat hingga enam jam proses menumisnya.” Aha, kayu bakar rupanya yang jadi kunci. Dari sini aroma wangi itu berasal. Untuk menyeragamkan rasa, bumbu hasil tumis dengan kayu bakar itulah yang dibawa ke cabang-cabang Rawon Nguling.

Melihat besarnya animo masyarakat Jakarta terhadap Rawon Nguling pada event Festival Jajanan Bango, akan dibuka Rawon Nguling cabang Jakarta, akhir tahun ini, bertempat di Kebayoran Jakarta Selatan.

Satu lagi hidangan khas Surabaya yang tersaji di acara tahunan tersebut. Rujak Cingur Sedati. Hidangan ini benar-benar bukti kebenaran ungkapan “Tak kenal maka tak sayang”. Masyarakat non-Jawa Timur yang tak kenal rujak cingur umumnya enggan mencoba karena melihat tampilan sausnya yang hitam. Apalagi ketika tahu bahwa cingur adalah hidung sapi.

Biasanya, rasa enggan langsung hilang begitu mencicipi sesuap rujak cingur. Rujak si buruk rupa ini ternyata punya semua rasa dalam satu piring. Manis, masam, gurihes goyang. Ada irisan anekabuah, seperti bengkuang, mangga muda, nanas, dan kedondong, bercampur sayur rebus, macam kangkung dan tauge. Tak lupa beberapa iris tempe goreng, tahu goreng, dan sang primadona, cingur rebus.

Setelah lengkap sayur, buah, tempe, tahu, dan cingur, terakhir, siraman saus rujak yang terbuat dari campuran petis, kacang, pisang kluthuk, cabe, dan kecap. Saus Rujak Cing
ur Sedati memang tak tertandingi. Paduannya pekat. Mantap. Petisnya tidak amis, satu alasan utama orang enggan makan petis.

Paduan saus rujak cingur ini terus dipertahankan sang pemilik, Ibu Nur Aini Yakin, sejak awal membuka Rujak Cingur Sedati, tahun 1997, saat seporsinya masih Rp4 ribu hingga sekarang Rp15 ribu.

Berbeda dengan Rawon Nguling yang membuka cabang di banyak tempat, Rujak Cingur Sedati hanya ada satu, yakni di Jalan Raya Sedati Gede No 66 Sedati – Juanda Surabaya. “Takut ngga kepegang kalau buka cabang,” tutur Ibu Nur.

Setelah berpedas-pedas dengan hidangan Jawa Timur, saatnya mendinginkan lidah dengan es unik khas Jakarta. Es goyang. Es yang mengorek kembali kenangan masa kecil, saat jam istirahat sekolah, menyerbu abang-abang penjual es goyang yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah.

Es goyang berbentuk persegi dengan pegangan seruas bambu berlilit kertas di bagian tengahnya. Tersedia anekarasa, seperti vanila, durian, dan strawberry. Cara membuatnya yang unik menjadi tontonan tersendiri. Gerobak berisi barisan cetakan es terbuat dari seng yang ke dalamnya dituang cairan bahan es.

Setelah ditancapkan bambu pegangan, mulailah atraksi Pak Ano, sang pedagang, menggoyang-goyangkan gerobak menggunakan kakinya dengan cara menaikturunkan bagian depan dan belakang secara bergantian yang berporos pada roda gerobak. Setelah 20 menit, es goyang siap dikeluarkan dari cetakan dan siap disantap.

Jangan cepat-cepat menghabiskan es goyang langka ini. Rasakan setiap gigitannya yang lumer di lidah. Lembut layaknya es krim. Tak heran jika dagangan Pak Ano dikerubuti pembeli, bahkan saat es masih belum jadi. Mereka rela menunggu Pak Ano yang sehari-harinya berjualan di Gang Kiapang Tanahabang itu menggoyang gerobak hingga es mengeras dan melipur rindu yang terendap puluhan tahun.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.