Rumah Aman bagi yang Muda
Ucapannya terstruktur rapi. Selalu membubuhi awalan kata “teman-teman” jika menyebut suatu kelompok, semisal kelompok lesbian, gay, juga para jurnalis. Kamilia Manaf, 26 tahun, nama pemilik tubuh mungil ini. Dialah Coordinator Institut Pelangi Perempuan (IPP), lembaga yang didirikan pada Juni 2006, mengkhususkan diri pada lesbian muda Indonesia.
Di siang terik Ramadan pekan lalu (18/9), Kamilia menerima Silvia Galikano dari Jurnal Nasional di sekretariat IPP. Ia wanti-wanti untuk tidak menuliskan alamat sekretariat yang baru awal September 2007 ini ditempati.
Mengapa alamat sekretariat IPP tidak boleh ditulis?
Di Indonesia, isu lesbian adalah isu sensitif dan ditabukan. Karena itu, lesbian center dan kegiatan-kegiatannya masih sangat eksklusif. Jadi, mohon dimaklumi kalau saya sangat menjaga teman-teman yang masih belum coming out (mengungkapkan ke lingkungan tentang orientasi seksualnya. Istilah ini umum digunakan kaum homoseksual atau biseksual), yang masih dalam proses dengan dirinya dan belum ingin diketahui banyak orang.
Apa yang mendorong Anda membentuk IPP?
Saya melihat teman-teman gay bisa lebih progresif dengan membentuk GAYa NUSANTARA di Surabaya, sebaliknya, isu lesbian minim sekali dan jauh terbelakang dibandingkan isu gay.
Di Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) ada sektor lesbian yang sekarang disebut Kelompok Kepentingan Lesbian, Biseksual, Transjender Perempuan, namun ketika itu belum ada kegiatan yang mampu menarik lesbian. Teman-teman lesbian juga tidak tahu adanya kelompok dampingan macam itu.
Selain itu, informasi tentang lesbian di Indonesia sangat kurang, begitu pula pertemuan-pertemuan, pendampingan psikologis, dan pendampingan hukum bagi yang mendapat perlakuan diskriminatif.
Mengapa fokusnya lesbian muda?
Karena saya seorang muda, saya merasakan bahwa kelompok muda memiliki isu khusus yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus. Masa remaja dilalui teman-teman dengan tidak mudah. Sebagai perempuan di tengah budaya patriarkhi, mereka tidak punya akses cukup. Remaja juga minim pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Apalagi kalau remaja itu seorang lesbian.
Psikologis remaja juga masih labil. Saat menyadari dirinya lesbian, umumnya mereka merasa dosa dan tidak normal. Ini rentan mengarah pada hal-hal negatif yang lantas melarikan diri ke narkoba, alkohol, atau memaksakan diri pacaran dengan cowok karena ingin terlihat “normal”.
Saya mewacanakan adanya support group bagi lesbian muda. Awalnya susah. Respon mereka adalah menolak. “Apa-apaan sih? Jangan lagi mengundang malapetaka.” Mereka ketakutan karena merasa dengan berkomunitas maka mereka harus coming out, padahal bukan itu yang saya maksud, melainkan agar bisa berkumpul, berbagi cerita.
Cara pertama yang ditempuh, yakni menyebarkan leaflet, tidak berjalan mulus. Saya kemudian mewacanakan untuk membangun komunitas melalui interaksi di internet. Beberapa teman lantas bersedia membantu. Ada yang membantu berupa dukungan finansial dan konsultasi. Respon juga didapat dari lembaga donor dari luar negeri.
Akhirnya kami bisa membuat pertemuan pertama pada Juni 2006 yang disebut Kongkow Lez, berisi pemutaran film dan diskusi ringan. Sengaja saya pilih istilah gaul karena targetnya lesbian muda (usia 18—30 tahun). Saat inilah nama Institut Pelangi Perempuan hadir. Acara kongkow yang awalnya dihadiri 20-an orang berkembang hingga sekarang mencapai lebih dari 200 orang dari seluruh provinsi di Indonesia.
Apa yang jadi persoalan utama lesbian muda?
Tidak sedikit lesbian yang mendapat kekerasan fisik dari keluarga saat diacoming out, antara lain dipukul, dimasukkan ke pesantren, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, atau dipaksa menikah. Lesbian muda yang secara ekonomi bergantung pada orangtuanya, pada akhirnya menjadi tunawisma atau anak jalanan yang menjadikannya rentan mendapat kekerasan seksual.
Setiap pilihan juga punya risiko. Ketika memilih diam pun kita semakin ditindas dan tidak diberi ruang. Ke-diam-an juga tidak akan melindungi kita.Demikian pula, saat memutuskan untuk berterus terang, harus berbenturan dengan beberapa tembok, antara lain keluarga, norma masyarakat, dan norma agama. Itulah yang harus dilewati.
Dari seringnya berdiskusi, akhirnya tidak sedikit yang berani berterus terang pada keluarga dan teman-teman kuliah tentang identitas seksualnya, meski mayoritas masih memilih untuk tidak coming out.
Bagaimana bentuk penyudutan media terhadap lesbian?
Lesbian selalu diwacanakan sebagai nymphomania (memiliki nafsu seks berlebih), seperti di tayangan televisi tengah malam tentang gaya hidup metropolitan yang menggambarkan lesbian sebagai gaya hidup cewek-cewek stres. Lagi-lagi, yang diwacanakan adalah karena mereka benci laki-laki, padahal banyak lesbian yang bersahabat dengan laki-laki.
Pernah di sebuah tayangan kriminal, ada berita penggrebekan kelompok lesbian yang kost bersama. Mereka digrebek massa, lalu dibawa ke kantor polisi. Di kantor polisi ini mereka dipermalukan, dan itu disorot kamera.
Media juga selalu menempatkan lesbian sebagai gaya hidup sesaat ketika usia muda saja. Lesbian selalu digambarkan sebagai orang yang posesif, pencemburu.
Saya ingin mewacanakan ke teman-teman jurnalis, seringkali menyebut gay lesbian sebagai tidak normal, dan heteroseksual adalah normal. Padahal WHO (Badan Kesehatan Dunia) sudah menyatakan homoseksual adalah normal dan alamiah, karena itu mulailah untuk membiasakan istilah “homoseksual dan heteroseksual”, bukan “normal dan tidak normal”.
*Dimuat di Rubrik Perempuan, Jurnal Nasional, 29 September 2007*