Rumah Inggit Garnasih

Rumah Inggit Garnasih di Ciateul, Bandung
Rumah Inggit Garnasih di Ciateul, Bandung. (Foto Silvia Galikano, 28 Sept 2006)

Kekaguman yang besar pada sosok sederhana ini mendorong saya pergi ke kediamannya, beberapa pekan lalu. Kediaman perempuan yang membentuk Soekarno dari seorang mahasiswa yang meledak-ledak hingga jadi tokoh pembimbing rakyat Indonesia ke alam merdeka.

Oleh Silvia Galikano

Jika mencari sambil lalu, bisa jadi kita tidak menemukan rumah di Jalan Inggit Garnasih 8 (dulu Jalan Ciateul 8) Bandung. Sama sekali tidak ada penanda bahwa ini rumah bersejarah. Tidak ada, misalnya, papan bertuliskan “Rumah Inggit Garnasih” di halaman depannya, padahal nama jalan diambil dari nama tokoh ini.

Belum lagi, di sepanjang trotarnya berjajar pedagang barang loak. Praktis, rumah itu tak tampak dari jalan karena tertutup lapak-lapak pedagang.

Setelah bertanya pada salah seorang pedagang untuk memastikan, saya melangkah masuk rumah dengan harapan besar menemukan banyak informasi tentang Ibu Inggit.

Sempat terbersit kelegaan karena dari luar, bangunannya nampak sangat terawat, bersih, dan rumput di halaman terpotong rapi. Sementara banyak bangunan bersejarah di negeri ini dibiarkan rusak, kusen dimakan rayap, dan temboknya perlahan runtuh didera hujan dan panas.

Rumah Inggit Garnasih di Ciateul, Bandung
Bagian belakang rumah Inggit Garnasih di Ciateul, Bandung. (Foto Silvia Galikano, 28 Sept 2006)

Namun kelegaan tak lama dirasakan karena ternyata rumah itu sama sekali tidak menyisakan jejak Ibu Inggit. Yang saya dapati hanyalah rumah kosong, tanpa satu pun perabot peninggalannya.
Penjaga rumah tidak bisa memberi keterangan apa pun, karena Pemda setempat hanya menugaskan untuk menjaga rumah, bukan sebagai pemandu. Ia menyarankan saya untuk menemui Kemal Asmara Hadi, cucu Ibu Inggit dari anak angkatnya, Ratna Djuami, yang mukim di kawasan Kopo, Bandung.

Dari Kemal dapat diketahui bahwa rumah di Ciateul itu dibangun tahun 1920-an, berbentuk rumah panggung. Di zaman pergerakan, rumah ini sering digunakan Bung Karno dan kawan-kawan untuk berdiskusi. Dari diskusi-diskusi inilah lahir PNI (Partai Nasional Indonesia).

“Jadi, jauh sebelumnya, Bung Karno sudah sangat mengenal rumah ini. Setelah bercerai, Bung Karno meminta Menteri Sosial untuk menyediakan rumah bagi Ibu Inggit. Wedana yang kala itu menjabat memberikan rumah di Ciateul untuk Ibu Inggit,” urai Kemal.

Di tahun 1946 rumah ini pernah rata dengan tanah dalam peristiwa Bandung Lautan Api yang membumihanguskan Bandung Selatan. Setelah Ibu Inggit meninggal, tahun 1984, anak-anaknya memutuskan untuk menjual rumah karena kesulitan ekonomi.

 

Ratna Djuami adalah janda tanpa uang pensiun, karena suaminya, Asmara Hadi (meninggal tahun 1976) yang sebelumnya Menteri DPRGR di era Soekarno itu dipecat tahun 1966 tanpa pesangon maupun uang pensiun.

“Anak-anak Ibu Omi ada enam. Ibu mendapatkan uang dengan cara membuat bala-bala dan kue-kue lain. Memang keputusan yang berat untuk menjual rumah, tapi mau bagaimana lagi?” terangnya.

Rumah itu sempat ditawar toko tas Elizabeth, namun akhirnya dilepas ke Pemprov Jawa Barat tahun 1989 yang bersedia membeli seharga Rp300 juta. Jauh di atas harga pasaran kala itu. Setelah di tangan Pemprov Jabar, rumah ini mengalami tiga kali renovasi, di antaranya tahun 1991 dan 2001.

Sudah lama Pemprov Jabar berjanji menjadikan rumah tersebut sebagai museum sebagaimana keinginan anak-anak dan cucu-cucu Ibu Inggit, namun sampai sekarang janji tersebut masih berupa angin surga. Belum ada realisasinya. Padahal keluarga Ibu Inggit masih menyimpan barang-barang bersejarah yang akan diberikan ke museum jika museum jadi berdiri, antara lain foto-foto semasa masih di Bandung, foto-foto saat di Ende dan Bengkulu, buku-buku Bung Karno, akta nikah dan cerai, mesin tik Bung Karno, juga surat-surat cinta.

“Apalagi, Ibu Omi dan Ibu Kartika (dua anak angkat Soekarno – Inggit—red.) masih hidup. Masih bisa menjelaskan bagaimana perjuangan Bung Karno dulu sebelum menjadi presiden. Jangan sampai kita menyesal nantinya.”

 

Hingga gerbang
Sejauh ini, minim sekali informasi tertulis tentang Inggit Garnasih, perempuan kedua yang dinikahi Soekarno (tahun 1923), setelah Oetari putri HOS Tjokroaminoto. Jika dibandingkan dengan istri Soekarno yang lain, jasa-jasa Inggit sepertinya tertutupi kerja keras Fatmawati menjahit Sang Saka Merah Putih di Agustus 1945.

Satu-satunya informasi yang lumayan lengkap adalah “Kuantar ke Gerbang. Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno”, biografi terbitan tahun 1981 yang ditulis Ramadhan KH.

Di situ diceritakan, kelembutan Inggit yang menjadikannya oase bagi Soekarno muda di tengah derap perjuangan memerdekakan negeri. Setelah diskusi-diskusi marathon bersama rekan-rekannya seusai kuliah di Technische Hogelschool (sekarang ITB), pada Inggit-lah Soekarno pulang.

Tak ingin menambah repot suaminya, perempuan yang 12 tahun lebih tua dari Soekarno itu memenuhi kebutuhan rumahtangga dengan cara meramu jamu, membuat bedak dan parem, serta menjahit kutang untuk ke
mudian dititipkan di Toko Delima.

sukarno, soekarno, inggit garnasih

Walaupun setiap bulan Soekarno mendapat kiriman uang dari orangtuanya namun itu semata untuk biaya kuliah. Bahkan, untuk uang saku menghadiri rapat demi rapat pergerakan, Inggit selalu menyelipkan uang setali ke dalam saku Soekarno.

Saat rumah mereka di Jalan Jaksa Bandung semakin sering dijadikan tempat rapat partai sampai dini hari, Inggit tetap menjadi tuan rumah yang baik. Bila diskusi memanas, Inggit bergerak, berdiri, dan mendehem, menawarkan teh atau kopi, sekadar meredakan suasana.

Inggit pun sangat mengerti ketika Soekarno yang baru lulus kuliah dan belum berpenghasilan itu menolak tawaran menjadi dosen di almamaternya. Soekarno menganggap bekerja sebagai pegawai negeri adalah sama juga dengan bekerjasama dengan Hindia Belanda.

Inggit menemani Soekarno berpidato ke pelosok-pelosok Bandung, menggembleng kader-kader politik. Ia bahkan kerap berfungsi sebagai penerjemah jika masyarakat setempat hanya mengerti bahasa Sunda.

Selama delapan bulan Soekarno ditahan di Penjara Banceuy dan kemudian menjalani masa hukuman di Penjara Sukamiskin, setiap pagi Inggit dan Ratna Djuami yang masih balita mengantar makanan untuk Soekarno. Empat susun rantang berisi nasi, lauk pauk, lodeh, dan sambal.

Juga koran AID De Preangerbode, Sipatahoenan, dan Sin Po. Di balik daun pisang pembungkus kue- kue nagasari yang dibawanya selalu terselip uang logam untuk keperluan sehari-hari Soekarno di penjara dan untuk dibagi-bagikan ke sipir penjaga.

Mengaji dan sembahyang tak henti bergantian dilakukan selain terus bekerja. Kebutuhan yang semakin meningkat mendorong Inggit untuk putar otak. Maka kemudian ia juga menjadi agen sabun cuci, membuat rokok dan menjualnya sendiri dengan mereka Ratna Djuami, serta menjadi agen cangkul dan parang.

Inggit menjadi perantara Mr Sartono untuk menyampaikan naskah dan bahan-bahan pembelaan Soekarno di Landraad Bandung, pada Desember 1930. Agar dapat lolos dari pemeriksaan penjaga, naskah itu ditempelkannya di perut, kemudian diikat dengan pending.

 

Diceritakan pula betapa Inggit terus menerus memompa semangat Soekarno saat di Penjara Sukamiskin beredar kabar Soekarno keluar dari Partindo. Juga ketika ada desas desus singa podium itu berbalik arah, meminta ampunan pada pemerintah Hindia Belanda.

Perempuan sederhana lulusan madrasah yang tidak dapat menulis tulisan Latin—hanya dapat membaca—itu setia mendampingi ketika suaminya dibuang selama empat tahun di Ende, Flores, tahun 1934. Pun ketika diasingkan ke Bengkulu tahun 1938.

Ketika Jepang masuk, keluarga ini diungsikan Belanda menempuh jalan darat ke Padang, terus ke Bukittinggi. Kemudian berbalik lagi ke selatan, ke Palembang, dan akhirnya ke Jakarta, menempati rumah Jalan Pegangsaan Timur 56. Inggit terus di sisi Soekarno.

Saat masih di Bengkulu, Inggit mengabulkan keinginan Ketua Muhammadiyah setempat, Hassan Din yang mukim di Curup, menitipkan anak tunggalnya, Fatmah untuk tinggal di rumah mereka di Anggut Atas, Bengkulu. Fatmah yang kemudian dihadiahi nama baru oleh Bung Karno, Fatmawati.

Maka, Ramadhan KH menuliskan potongan dialog yang menjadi awal bencana rumahtangga Soekarno – Inggit. “Tidak mungkin Kus menceraikan kamu, Enggit. Tidak mungkin. Bukankah bisa aku mengawininya sementara kita tidak bercerai?”

Inggit, Ali Sastroamijoyo, dan Bung Karno di Ciateul, soekarno, sukarno“Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu! (Oh, dimadu? Kalau mesti dimadu, pantang!)”

Setelah perjalanan panjangnya mengantar Kusno-nya mendapatkan cita-cita membebaskan negeri dari penjajahan, Inggit melepas Soekarno di gerbang kemerdekaan, tahun 1942.

Rumah di Jalan Ciateul 8 Bandung ini diberikan Soekarno kepada Inggit selepas mereka bercerai. Rumah bersahaja dengan satu ruang tamu, satu ruang makan, dan tiga kamar tidur. Di bagian belakang ada kamar mandi dan dapur.

Di rumah ini Inggit menghabiskan sisa hidupnya bersama anak-anak dan cucu-cucu. Tetap dengan kegiatan meramu jamu dan membuat bedak serta parem. Beberapa kali Bung Karno datang berkunjung yang membuat Ciateul disesaki penduduk yang ingin melihat presidennya dari dekat. Inggit meninggal tahun 1984, beberapa tahun setelah meninggalnya Bung Karno (1970) dan Fatmawati (1980).

Dalam perjalanan pulang, saya ingat kalimat pertama yang ditulis S.I. Poeradisastra di bagian Sekapur Sirih buku Kuantar ke Gerbang. “Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia”. 

***
Dimuat di Jurnal Nasional, Oktober 2006

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.