Nh Dini yang (akhirnya) Gue Kenal
Oleh Silvia Galikano
Kalau mau diurut-urut, siapa penulis yang karyanya gue sukai, Nh Dini menempati urutan paling atas. Bukan kesukaan yang melambung-lambung, melainkan terus ada, mengapung, tak pernah tenggelam.
Gue kenal tulisan Dini udah terbilang telat, yakni sesudah dua tahun kerja. Di sebuah toko buku di Mal Puri Indah, seorang bocah SMP ada di antrean kasir dengan lima atau enam buku yang semuanya ditulis Nh Dini. “Heh? Anak SMP baca Nh Dini? Cowok pula? Emang bagus, apa?” itu yang ada di kepala gue.
Bayangan bocah berseragam sebuah sekolah Katholik di bilangan Puri Indah itu terus ada di saat gue mengagumi Kuartet Pulau Buru-nya Pram dan Burung-burung Manyar-nya Romo Mangun hingga pada Jakarta Book Fair terpampang Jalan Bandungan dengan diskon gede-gedean. Mungkin 50 persen. Jalan Bandungan sebagai pembuka jalan.
Tulisan Dini gue rasakan seperti perempuan yang merepet. Cerewet. Semua dikomentari. Tapi justru itu yang gue suka. Dia punya alasan atas semua yang dia lakukan. Dia jelaskan alasan itu sejelas mungkin. Hal yang lumrah dan yang ”belum” lumrah. Satu yang penting, dia seperti bicara ke perempuan, ”Kamu berhak bahagia!!! Raihlah.”
Satu demi satu buku-buku Dini gue baca. Beli baru di toko buku atau beli bekas untuk terbitan-terbitan lamanya (gue jadi tahu betapa cantikMarie-Claire Lintang, putrinya, karena fotonya ada di back cover buku terbitan lama). Sekarang sudah terkumpul 20 judul buku plus satu video keluaran Yayasan Lontar tentang penulis Indonesia yang bercerita mengenai hidupnya.
Dua puluh judul buku ini juga yang jadi alasan gue, tanpa pikir dua kali, memutuskan datang ke diskusi di Semarang, 2 Maret 2008. Nh Dini jadi pembicara tunggal, mengenalkan seri terbaru Cerita Kenangan, Argenteuil, tak lama setelah usianya sembilan windu yang dirayakan empat tahun sekali itu.
Memanggul ransel berat berisi 20 buku tebal Nh Dini, gue tapaki jalan basah Semarang usai azan magrib. Baru tiga peserta yang datang. Rumah Seni Yaitu di-setting seperti acara ngumpul khas kampung. Ada meja dan kursi makan untuk pembicara duduk, peserta diskusi di bangku bambu panjang di lingkar luar, sementara di lingkar dalam lesehan beralas tikar menghadapi cemilan keripik singkong, kacang rebus, pisang rebus, dan singkong rebus.
Dini datang lewat setengah jam dari waktu yang tertulis di undangan, pukul 18.30. Setelah bersalaman dengan pengelola Rumah Seni, Bu Ninik yang jadi panitia, gue (padahal, siapa gue ya boooo???), dan satu peserta lain, dia menyodorkan tas plastik hitam ke Bu Ninik, “Ini, permen jahe, dibuka, buat rame-rame.”
Dini datang berjaket dan bersyal. Dua perlengkapan yang dia copot begitu masuk, lantas dilipat, dan dimasukkan ke dalam tas kertas berlogo The Body Shop. ”Gowoane wong tuwo iki. Mau nang Ungaran udhan, mati lampu sisan, tekan kene kok yo sumuk.”
Mapan dengan dirinya, basa-basi dengan Bu Ninik sudah mereda, gue menyela, ”Bu, sambil menunggu acara dimulai, boleh ya saya repotin. Saya bawa buku, bisa tolong Ibu tandatangani?”
”Boleh,” dia mengambil tasnya, mengeluarkan dua pembatas buku berlogo Pondok Baca Nh Dini. ”Ini saya bawakan dua pembatas buku. Ada dua buku yang ditandatangani?”
”Dua puluh, Bu.”
”Wah, dua puluh? Saya cuma bisa kasih dua pembatas buku.”
”Ngga pa-pa. Terima kasih banyak.”
Mulailah dia tandatangani satu demi satu di halaman yang gue tandai. Umumnya, di halaman yang tertulis judul, tapi ada beberapa buku yang beli bekas, di halaman judul sudah ada stempel atau tandatangan pemilik sebelumnya, sehingga gue bukakan di halaman lain yang lumayan lowong.
”Saya biasanya kasih tandatangan di halaman yang ada judulnya,” ketika dia lihat halaman yang terbuka, misalnya, adalah halaman ucapan terima kasih.
”Boleh di mana saja kok, Bu, mana yang Ibu nyaman saja.”
Benar, dia kembali ke halaman judul, tempat yang sudah diisi stempel. Dia rela tandatangannya berdesak-desakan, bahkan lebih kecil dari ukuran stempel itu. Betul-betul perempuan keras ini.
Dia jajarkan beberapa buku gue, ”Perhatikan, dari waktu ke waktu layout cover-nya berubah. Semakin ke sini semakin baik. Yang paling tidak saya suka yang ini, Pertemuan Dua Hati. Huruf-hurufnya terlalu rapat, warna huruf yang dipilih satu kuning satu putih, jadi kesaru.”
”Wah, ini buku baru tapi sudah disamak (disampul). Berarti sudah dibaca, ya?” Dini sambil memperhatikan Argenteuil gue yang bersampul plastik.
”Sudah, Bu. Seminggu yang lalu saya tamatkan.”
Rasanya pengen juga gue bilang Bu, tadi siang saya juga ke Sekayu lho, nyari rumah masa kecil Ibu.
Seorang bapak yang kasih tau, ”Itu rumahnya yang rimbun, ada pohon belimbingnya, ada pohon mangganya.” Sempat nyuri-nyuri motret sambil diliatin tetangga. Saya potret plang nama jalannya juga lho.
***
haloo mba Silvia, saya juga penggemar berat nh Dini. koleksi buku2nya juga meski belum lengkap. beliau benar2 perempuan luar biasa ya. salam kenal mba
hai desy, salam kenal juga.
eh kita dulu berteman di multiply ngga sih?
kayaknya enggak mba, mungkin desy yang lain, habis namaku terlalu ‘pasaran’ banget ya, hehe.
kalaupun iya, mungkin akunya juga lupa 🙂
Pembuka jalan saya dari bukunya Ibu Nh. Dini adalah buku “Namaku Hiroko”..lantas berlanjut ke buku2 yang lain dan tentunya seri cerita kenangan.. 🙂
Saya menyukai gaya dan pemikiran-pemikiran beliau yang dituangkan dalam bentuk tulisan..jujur dan berkarakter. Sama seperti ketika saya membaca tulisan-tulisan Remy Sylado dan Arswendo Atmowiloto.
Salam kenal Mbak, saya Gita, yang tempo hari meminta pertemanan di Facebook dan panggil Mbak Silvia dengan sebutan Ibu.. 😀
hai lagi gita,
namaku hiroko itu keren banget ya.
buku terbit tahun 1977, dan pada masa itu dini sudah nyaman saja menceritakan perempuan yang memantapkan diri jadi perempuan simpanan.
Hehe..iya Mbak, saya ndak ngomongin benar atau tidaknya tema-tema yang disajikan (perselingkuhan dan semacamnya), tapi caranya yang jujur menuliskan itu yang saya suka.. 🙂
Ini saya lagi cari-cari info Wihara Gambiran, tadi pagi habis kelar baca tulisan Mbak yang itu.. 😀 (y)
Sangat suka karya Nh.Dini??
Berusaha mengkoleksi buku-bukunya, Namaku Hiroko, Jalan Bandungan, Sekayu, Sebuah Lorong di Kotaku, masih banyak yang lain. Tapi mungkin belum terlalu lengkap.
Salah satu penulis yang menginspirasi dalam hidup saya. Dari beliau saya belajar.
1. Sebagai perempuan wajib punya penghasilan sendiri.
2. Harus tegas jadi perempuan. Jangan mau menerima penyiksaan atau kekerasan dalam rumah tangga.
Semoga bu Nh. Dini sehat selalu.
Salam kenal, Nesiyanti.
Oktober 2017 Bu DIni akan jadi pembicara di Ubud Writers Festival. Mau ke sana?