Misinya Menulis

Nh Dini adalah tetap perempuan Jawa yang selalu kangen ngobrol Semarangan. Lupakan dulu sederet penghargaan dari dalam negeri dan internasional. Perempuan ini lebih agung dari semua itu.
Oleh Silvia Galikano
PADA 29 Februari lalu, usia Nurhayati Sri Hardini 72 tahun. Dari sembilan windu itu dia isi 65 tahun hidupnya dengan menulis, terhitung mulai usia 7 tahun ketika pertama Dini berkarya yang tanpa disadari telah membuat prosa lirik. Sejak itu itu, 30-an buku sudah dihasilkan, terdiri dari novel, kumpulan cerpen, karya terjemahan, dan serial cerita kenangan dengan nama pena ”Nh Dini”. Tak terhitung cerpen yang terserak di surat-surat kabar.
Tetap menganggap diri sebagai pengarang, bukan sastrawati, apalagi sastrawati feminis yang lima tahun terakhir ini disematkan pengamat sastra kepadanya.
Sebelas cerita kenangan sudah dihasilkan. Diawali Sebuah Lorong di Kotaku yang pertama kali diterbitkan Pustaka Jaya, 1978, dan yang terakhir—tapi bukan penutup—adalah Argenteuil: Hidup Memisahkan Diri, diterbitkan tahun ini oleh Gramedia Pustaka Utama sekaligus memperingati ulang tahun Dini yang dirayakan empat tahun sekali itu.

Serial cerita kenangan diawali kisah tentang orangtua Dini membeli rumah tua di kawasan Sekayu Semarang, tempat kakak sulungnya tumbuh besar, tiga lagi kakaknya dan si bungsu Puk—nama panggilan Dini di rumah—lahir. Keseharian yang bersahaja hingga kehidupan prihatin sepanjang pendudukan Jepang, sekaligus menyaksikan betapa ibunya membiasakan diri dipanggil ”Bu” sebagai ganti ”Den” atau ”Ndoro” akibat Jepang menyamaratakan kedudukan semua orang.
Selulus SMA, memilih jadi pramugari darat (ground hostess) Garuda Indonesia Airways di Kemayoran Jakarta. Menolak kuliah sebagaimana tawaran pamannya, Iman Sudjahri, pejabat sebuah kementrian di Jakarta, dengan alasan ingin secepatnya bekerja, menghasilkan uang, agar segera meringankan hidup ibunya, janda tanpa pensiun yang mendapat nafkah sebagai ibu kost.
Di tempatnya bekerja ini Dini mengenal Yves Coffin, diplomat Prancis yang kemudian selama lebih dari 20 tahun jadi suaminya, dan beroleh buah hati Marie Claire Lintang, 47 tahun, dan Pierre Louis Padang, 41 tahun.
Beberapa bulan menikah, baru diketahui, Yves yang sebelumnya lembut dan rajin memberi hadiah adalah seorang yang kasar dan pelit. Acapkali membentak. Tak pernah memberi tahu istrinya berapa gajinya. Bertahun-tahun hanya memberi Dini uang belanja 50 francs per bulan—uang saku Lintang ketika SMP bahkan tiga kali lipatnya—walau kariernya terus menanjak.
Di bukunya, sangat sedikit Dini menuliskan Yves sebagai ”suamiku”. Paling sering ia memilih istilah ”laki-laki pilihanku sendiri”, seolah tidak ingin menyalahkan siapa-siapa atas kesialan pernikahannya. Apalagi kalau ingat dulu ibunya pernah berat hati memberi izin putrinya menikahi wong londo yang disamaratakan dengan kumpeni itu.
Tabiat yang tak pernah bisa dikira, ditambah dengan perselingkuhan suaminya dengan perempuan lain membuat Dini tak lagi punya kedekatan batin dengan Yves. Di tengah kekeringan hati inilah dia berkenalan Maurice, kapten kapal yang dikenalnya dalam perjalanan laut selama dua pekan dari Marseille ke Saigon berdua Lintang di masa prasekolah. Perkenalan yang dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan rahasia mereka, jadi penguat Dini melangkahkan satu kaki di depan kaki lainnya. Kisah hidup yang jadi inspirasi utama novel Pada Sebuah Kapal (1972)
Di tahun keempat pernikahan Dini dan Yves, hubungan mereka tak lebih dari hubungan perkongsian, agar Yves tak jatuh namanya sebagai konsul dan Dini dapat leluasa bepergian ke luar kota dan luar negeri, termasuk menjenguk ibunya.
Sementara itu, Maurice juga merancang masa depannya bersama Dini. Permohonan sudah diajukan ke kantor tempatnya bekerja agar bisa bekerja di darat. Sebegitu keuangan mapan karena sebelumnya terkuras akibat mengurus perceraian, Maurice akan memboyong Dini dan anak-anak untuk tinggal bersamanya.

Diskusi Argenteuil berikut proses Dini berkarya meminjam tempat Rumah Seni Yaitu di Kampung Jambe 280 Semarang, awal Maret. Nh Dini jadi pembicara tunggal.
Sementara di luar udara dingin akibat hujan sejak sore hingga mendekati azan magrib, di dalam pendopo, perbincangan hangat ditemani singkong rebus, pisang rebus, keripik singkong, dan kacang rebus. Suasananya guyub khas kampung.
Dini datang mengenakan baju abu-abu berpinggiran bordir putih, pantalon hitam, sneaker hitam, dan membawa tongkat. Sudah setahun ini dia bertongkat akibat osteo artritis di lutut kanannya. ”Kata dokter, lutut saya sudah tidak punya tulang rawan lagi. Sebenarnya, tanpa tongkat, saya bisa jalan, tapi lebih pede kalau bawa tongkat.”
Seakan ingin meyakinkan, Dini berjalan beberapa langkah sambil mengangkat tongkatnya. ”Tu kan, bisa jalan biasa. Kalau naik tangga, baru wajib pakai tongkat.” Tiga kali sepekan dia terapi akupuntur untuk mengembalikan kondisi lututnya sekaligus mengobati telinga kanannya yang tak henti berdenging. ”Kalau dibiarkan, bisa vertigo.”
Dini membuka pembicaraan di diskusi itu dengan tiga salam, yakni ”Selamat malam”, ”Assalaamualaikum”, dan ”Rahayu”. Yang terakhir ini ditujukan bagi penganut Kejawen, ajaran yang jadi keyakinannya. Ah, ini khas Dini. Penyebutan ”er”nya cadel. Beberapa kali dituliskannya di cerita kenangan, kecacatan yang membuatnya bangga karena tak dipunyai orang lain.
Ia berkisah tentang seri kenangan, otobiografi yang memiliki elemen novel karena tidak mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun kecuali diperlukan. Serial yang melibatkan suasana dan orang-orang tertentu yang memberi pengaruh bagi Dini, baik sebagai penulis maupun sumbangannya dalam mempengaruhi pemikiran serta prinsip-prinsip dalam hidup.

Ada Iman Sudjahri (ayah budayawan Edi Sedyawati), sang paman yang sangat dicintai banyak menorehkan kesan dalam hidup Dini, beberapa nama yang jadi cinta monyet, Pak Kusni yang membuat ketertarikan Dini pada kesenian Jawa semakin tebal, dan seorang guru yang memanggilnya ”Dini” di saat yang lain memanggil ”Sri” atau ”Hardini” atau ”Puk” jadi ihwal nama penanya.
Tak muluk-muluk ternyata, Dini pilih jalur menulis untuk menyalurkan bakat sekaligus menyenangkan ibunya. Ibu, Kusaminah Salyowijoyo, adalah pembaca Panjebar Semangat (majalah berbahasa Jawa) dan menyadari betapa besar pengaruh sebuah bacaan kepada orang lain. ”Tulisanmu itu bisa menyenangkan orang lain,” Dini menirukan ibunya. Dini remaja juga menulis naskah drama radio untuk RRI Semarang. Berupah Rp7,5 per jam yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. ”Dengan uang itu, saya bisa ganti ban sepeda. Wah senang sekali.”
Di kehidupan dewasa, Dini punya buku berwarna merah yang dijilid roll. Tebalnya kira-kira 3 sentimeter, berukuran tak terlalu besar, sehingga bisa masuk ke dalam tas. Di buku merah ini dia tulis kejadian penting berikut tanggal bulan dan tahun, orang yang datang di kehidupannya yang memberi bahan renungan, dan ada kode-kode yang hanya diketahui Dini. Begitu membaca kode-kode tersebut, seperti ada film yang diputar di hadapannya. Bahkan hidangan apa yang tersuguh ketika itu, muncul lagi dengan jelas.
Dari data yang disimpan di buku merah itulah Dini membuat draf tulisan di block note dengan ditulis tangan. Habis satu lembar, disobek, disatukan dalam map yang bertuliskan judul sementara dan tahun mulai ditulisnya calon buku ini. Map tersebut diperlukan karena Dini bisa menulis lebih dari satu karya dalam satu waktu. Tidak menunggu satu karya selesai untuk melanjutkan ke karya berikutnya. Setelah ditambah atau dikurangi di sana sini, baru tulisan matang itu diketik rapi. Di tahun 2002, Dini mengenal komputer. Sejak itu, dia menulis hanya dengan komputer, dan jika sesekali gagap, ia menelepon keponakannya untuk minta bantuan.

Judul-judul cerita kenangan umumnya diambil dari nama tempat Dini tinggal. Ketika bercerita tentang masa kecil hingga remaja di Kampung Sekayu Semarang, dibuatnya judul Sebuah Lorong di Kotaku, Padang Ilalang di Belakang Rumah, Langit dan Bumi Sahabat Kami, Sekayu, dan Kuncup Berseri. Judul yang terakhir ini diambil dari nama kelompok sandiwara radio, Kuncup Seri, tempat Dini berkegiatan sepulang sekolah.
Kehidupan Dini sebagai pramugari darat dirangkum dalam Kemayoran. Ketika menjadi istri konsul Prancis di Jepang, kenangannya dibukukan dengan tajuk Jepun Negerinya Hiroko. Demikian pula Dari Parangakik ke Kampuchea menceritakan hidupnya ketika di Kamboja.
Berpindahnya Dini seturut berpindahnya tugas Yves ke Prancis, Filipina, dan kembali lagi ke Prancis, judul-judul bukunya tentu menyebut lokasi di Prancis sana yang pengucapannya sulit bagi lidah Melayu. Dari Fontenay sampai Magallianes, La Grande Borne, dan yang terakhir, Argenteuil. Sempat disarankan ganti judul oleh penerbit, tapi akhirnya diloloskan.
”Memang nama tempatnya begitu kok. Lagi pula, film-film di Indonesia juga sekarang banyak berbahasa Inggris, dan diterima dengan baik oleh masyarakat.”
Masih ada dua lagi seri cerita kenangan yang sudah disiapkan, yakni persis kelanjutan Argenteuil yang judulnya belum bisa dibocorkan, dan Pondok Baca sebagai seri terakhir. Dini berencana tidak akan menerbitkan berurutan, melainkan Pondok Baca terlebih dulu, baru kemudian si judul rahasia ini.
”Karena banyak tokoh dalam tulisan saya itu yang masih hidup. Saya tidak ingin ada orang lain yang tersinggung. Jadi, nanti saja.”

Di awal masa kepengarangannya, tahun 1950-an ketika cerpen-cerpennya dimuat di majalah Kisah, Dini banyak menerima cibiran, tak lain karena dia seorang perempuan dan di masa itu, sangat jarang perempuan yang memilih jadi pengarang. Bentuk ketidaksukaan dituangkan dalam bentuk macam-macam, dari dimuatnya berita bohong di koran Jawa Timur tentang pertunangan Dini dengan seniman asal Surabaya, sampai gosip Dini bergaul intim dengan Rendra. ”Bagaimana mungkin bergaul intim? Saya masih bersekolah. Bersentuhan tangan saja gemetaran.”
Pergaulan intim selalu jadi bahan pertanyaan—dari dulu dan masih terus diajukan sampai diskusi di Semarang kali itu akibat di beberapa bukunya Dini menulis hubungan seksual tokoh-tokohnya. Bukan karena perempuan lain tidak menulis tentang hubungan seks sebagai bagian dari cerita, melainkan karena yang menulis ini adalah Nh Dini, yang tulisannya sangat lembut dan santun, sebagai misal dia menggunakan istilah ”bergaul intim” dan bukan ”berhubungan badan” atau ”nggarap sari” sebagai pengganti ”haid”.
Pernah ada suatu masa ketika guru melarang murid membaca Pada Sebuah Kapal dan La Barka karena ada bagian yang dianggap cabul dan tidak mencerminkan adat ketimuran, walau hanya meminta satu halaman dari 350 halaman Pada Sebuah Kapal atau satu dari 200 halaman La Barka. Dini pun kerap mendapat sindiran sebagai orang yang tak bermoral.
Jalan semakin terbuka di tahun 1980-an, pemerintah RI sedang gencar-gencarnya mengampanyekan keluarga berencana (KB). ”Saya nonton di televisi, Soeharto memegang-megang kondom pada peresmian pabrik kondom. Itu sebuah revolusi di bidang tontonan.” Sejak itu, protes yang diterimanya tak lagi segarang dulu.
Pemahaman masyarakat yang semakin baik ini membuat Kemayoran (terbit tahun 2000) diterima masyarakat tanpa banyak protes. Salah satu bagiannya menceritakan Dini berhubungan seksual dengan Yves sebelum menikah.
”Saya berketetapan, tidak akan memasukkan unsur seks ke dalam cerita kenangan sebelum saya tamat SMA. Di Kemayoran, saya bergaul intim dengan orang Prancis yang sudah memberi saya cincin warisan neneknya. Saya juga sudah dikenalkan kepada orang-orang kedutaan. Dia juga sudah kenal dengan paman saya, Iman Sudjahri.”
Yang juga membuatnya yakin adalah peristiwa itu dia alami sendiri dan tidak ditulis secara vulgar. ”Bukankah lebih baik saya yang ceritakan tentang hidup saya daripada ditulis orang lain tapi tulisannya ngaco. Daripada ditulis yang ngga-ngga, mending saya menulis yang iya-iya.”
Salah satu yang iya-iya itu adalah perselingkuhan dengan Maurice di tengah perkawinan Dini yang tidak sehat, diceritakan berturut-turut di Dari Parangakik ke Kampuchea (2003), Dari Fontenay ke Magallianes (2005), dan La Grande Borne (2007). Harga diri yang diinjak-injak suaminya sendiri jadi pembenaran Dini berselingkuh.
”Saya selingkuh karena suami selingkuh. Dia pikir saya ini apa? Saya menunggu tujuh tahun sampai akhirnya saya selingkuh. Ibaratnya orang tenggelam, badan saya tenggelam sudah sampai dagu. Jadi, bukan tiba-tiba saya selingkuh.”
Salah satu persinggungan Dini dengan orang lain adalah dengan seorang wartawan asal Indonesia yang sedang bersekolah di Belgia di tahun 1960-an. Wartawan tersebut menemui Dini di Prancis sebagaimana umumnya wartawan meminta waktu narasumbernya untuk berbincang.
Sekian tahun kemudian, Dini mendengar wartawan ini di Jakarta mendirikan penerbitan majalah berformat mirip Time. Sewaktu ke Jakarta, dia sempatkan berkunjung ke kantor majalah itu di kawasan Senen, namun diterima dengan wajah dingin. Pun ketika majalah ini dibreidel pemerintah, tahun 1994, dan Dini datang, sekali lagi dia menemukan ekspresi yang sama.
Sewaktu saya tanyakan bagaimana hubungannya sekarang dengan wartawan itu, Dini sempat tercenung sebentar sebelum menjawab, ”Dia sangat berubah sekarang, mungkin karena sudah pensiun. Dulu dia memang begitu, dan teman-temannya juga berkomentar sama. Bisa jadi karena posisinya di majalah itu adalah beban berat di pundaknya.”
Diberinya contoh, ketika Dini menerima penghargaan Prix de la Francophonie di kediaman Duta Besar Yunani untuk Indonesia Charalambos Christopoulos, Maret 2007, wartawan itu malah menawarkan mobilnya untuk mengantar Dini ke Kedubes Yunani. ”Nggo motorku wae,” Dini menirukan, ”Dia sekarang luar biasa baiknya.”

Sudah setahun Dini mukim di panti werdha di Lerep Ungaran, 30 km selatan Semarang yang disediakan Effi Murbayati, istri Mardiyanto yang kala itu Gubernur Jawa Tengah. Sebelumnya, dia tinggal di panti werdha kawasan Sendowo Yogyakarta selama lima tahun yang disediakan GKR Hemas, istri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur DIY.
Rutinitasnya adalah bangun pukul 3.45, minum air pace yang dibuat dari pace parut yang diseduh air matang, jalan kaki di sekitar tempat tinggalnya, dan dilanjutkan dengan minum air temu lawak, jamu-jamuan yang dikenalkan ibunya sebagai penguat organ.
Begitu azan subuh Dini mandi, ”menyapa” tanaman, sarapan, mengerjakan tulisan menggunakan komputer hingga pukul 8. Ketika datang petugas yang membersihkan ruangan, dia pergi jalan kaki sebentar, kembali untuk duduk beristirahat selama 1 jam, baru berkegiatan, seperti akupuntur, pijat, menerima mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, atau jadi pembicara di diskusi-diskusi.
Cita-cita Maurice dan Dini memang tak bisa terlaksana. Maurice meninggal sebulan sesudah kecelakaan lalu lintas. Di locker kantornya, ternyata dia menyiapkan enam lempengan emas murni 24 karat masing-masing sepuluh gram dan tujuh keping mata uang emas bergambar Napoleon untuk Dini. Peninggalan itu masih disimpan sampai sekarang, ”Kecuali ada beberapa keping mata uang emas yang dilelang di Jakarta karena ada kebutuhan mendesak.”
Membaca buku-buku Dini tak ubahnya membaca perjalanan spiritual. Beragam-ragam kejadian pahit diliatkan oleh interaksi dengan berjenis-jenis manusia yang ditemui tak menjadikan Dini perempuan apatis yang mudah menyerah, sebaliknya membentuknya jadi perempuan kuat.
Dini menyaksikan satu per satu sahabatnya meninggal, sementara dia yang didera macam-macam penyakit (ginjal, jantung, dan paru-parunya tak berfungsi normal. Dia juga pernah menjalani kemoterapi akibat kanker rahim) masih terus hidup. Nasihat ibunya yang jadi penguat. ”’Mungkin kamu akan temui kegumpilan-kegumpilan hidup. Itu bukan kutukan, tapi godaan. Wis dilakoni wae tho, Nduk’. Mungkin saya memang membawa misi untuk terus menulis. Semua sudah ada garisnya, tinggal apakah kita tanggap atau tidak dengan garis tersebut.”
Akarnya yang Kejawen mengajarkan untuk selaras antara ucapan dan perbuatan. Ditambah lagi pendidikan di keluarga yang menanamkan untuk terus berbagi dengan sesama karena hidup di dunia tidak abadi. Itu pula yang membuat Dini menjalani hidup tanpa beban. Jujur dan lurus.
***
Dimuat di Tabloid Koktail edisi 26, Maret 2008*
5 Replies to “Misinya Menulis”