Kelana Perucha

The Naked Traveler disambut hangat pembaca begitu terbit, Juni 2007, dan sekarang sudah masuk cetakan keempat. Buku yang merupakan kumpulan tulisan di blog itu menginspirasi banyak orang untuk backpacking, menginap di hostel, dan berhenti mengkhawatirkan keterbatasan uang.

 

kecil-naked-003
The Naked Traveler (2007). (Foto: Silvia Galikano)

Oleh Silvia Galikano

Sang penulis, Trinity, bisa jadi tak mengira akan sebesar ini gaung tulisannya. Pujian terus mengalir ke emailnya dan yang disampaikan melalui mailing list nakedtraveler@yahoogroups.com. Keinginan untuk terus ngumpet di balik nama pena pun pada akhirnya tak bisa terus dipertahankan.

Perucha Hutagaol adalah nama KTP Trinity. Berusia 35 tahun. Sepekan sebelum tanggal yang disepakati untuk kami bertemu, Gangsar Sukrisno, CEO Bentang yang menerbitkan The Naked Traveler mengingatkan perihal perempuan ini, “Orangnya slengean.”

Ternyata, slengean yang saya bayangkan ngga ada apa-apanya dibanding tampilan Ucha, panggilan akrab Perucha, ketika dia datang di MP Bookpoint Jakarta Selatan, Senin (28/7) dua pekan lalu. Mengenakan kaos oblong putih bertuliskan judul bukunya, bercelana pendek, bersandal, menyandang ransel di satu bahu, rambutnya yang pendek tak berhasil semuanya diikat ke belakang, dan tanpa bedak.

“Wah, difoto nih? Muka gue berminyak gini. Ntar ditusir ya di photoshop biar cakepan dikit. Sebentar, rambut gue digerai dulu,” saat menyadari dirinya difoto sambil berbincang.

Dua pekan sebelumnya Ucha baru pulang dari Turki, tiga pekan traveling yang menurutnya paling hardcore dibanding perjalanan-perjalanan sebelumnya. Setelah empat tahun terakhir “hanya” keliling Asia, berbekal sisa beasiswa, dia membuktikan ucapan para backpackers Eropa yang menyebut Turki sebagai one of the greatest destinations.

“Menarik lho Turki itu. Berada di perbatasan Asia dan Eropa, sehingga wajah orang-orangnya juga unik, tidak seperti orang Asia, tidak seperti orang Eropa. Turki menganggap sebagai warga Eropa padahal masyarakatnya Asia banget. Tidak bisa bahasa Inggris dan WC-nya juga jongkok.”

Ucha beroleh beasiswa Asian Development Bank-Japan Scholarship Program (ADB-JPS), Mei 2007 hingga Mei 2008, untuk menempuh kuliah S2 bidang Manajemen di Asian Institute of Management, Manila, Filipina.

Sebelumnya, sarjana komunikasi Universitas Diponegoro Semarang ini menjabat Marketing Communication XL selama tiga tahun. Tidak adanya kebijakan cuti di luar tanggungan menyebabkan Ucha mengundurkan diri dari kantor begitu namanya tercantum sebagai penerima beasiswa. Maka jadilah sekarang kegiatan utamanya adalah mencari kerja.

kecil-uhchisar-castle-turkey
Di Uhchisar Castle, Turk. (Dokpri Perucha Hutagaol)

Urusan jalan-jalan sudah diakrabi sejak kecil karena sering diajak jalan-jalan oleh orang tuanya. Ketika SMP, setiap menjelang libur, bersama saudara-saudara kandung maupun sepupu diwajibkan membuat “proposal” ke orang tuanya yang berisi rencana berlibur, yakni akan ke mana, bersama siapa, dan berapa uang yang diperlukan, sebagai syarat penggelontoran dana.

Aktivitas luar ruang demikian juga, bukanlah hal yang baru. Di SD, Ucha aktif di kegiatan Pramuka, jadi anggota Palang Merah Remaja (PMR) kala SMP, dan bergabung dalam kelompok pencinta alam di SMA-nya. “Kegiatan-kegiatan itu mengajarkan teori survival di alam dan tindakan cepat di kondisi darurat. Pada akhirnya semua itu berguna sekali bagi saya sekarang.”

Ucha lahir dari ayah yang bersuku Batak dan ibu Sunda. Dia juga kerap hidup berpindah-pindah kota seturut tempat dinas ayahnya yang perwira kepolisian. Masa SMA dijalani di dua kota berbeda, yakni kelas 1 di SMA 70 Jakarta, lanjut kelas 2 dan 3 di SMA Cendana, Rumbai, Riau. Kondisi ini membuat Ucha terbiasa—bahkan mencintai—perbedaan budaya dan tetap nyaman di saat harus beradaptasi dengan tempat-tempat baru.

Sewaktu kuliah di Semarang jadi anak kost, dia mulai cari duit sendiri. Restoran siap saji Mc Donald dan Hotel Ciputra jadi tempatnya bekerja. Indonesia yang tidak mengenal sistem kerja paruh waktu memaksa Ucha jungkir balik mengatur waktu kuliah dengan kerja. Ada kalanya dia pilih shift malam, pukul 23.00 hingga 5.00 agar tidak bolos kuliah. Pernah juga dia mengajar Bahasa Indonesia untuk ekspatriat di Semarang.

“Begitu tinggal terpisah dari orang tua, mereka secara tidak langsung mengajarkan saya untuk mandiri secara keuangan. Saya dibekali deposito, tapi hanya boleh diambil bunganya yang jumlahnya tidak seberapa. Jadi harus putar otak kalau butuh uang lebih banyak.”

Ketika kuliah inilah, di tahun 1995, Ucha mengawali langkah sebagai backpacker sekaligus menuliskan perjalanannya, meski tulisan itu baru diedarkan terbatas di antara teman-teman. Menulis jurnal yang terinspirasi tokoh Doogie Howser M.D. di film seri televisi berjudul sama. Baru ketika lulus kuliah dia mulai mengirimkan catatan perjalanannya ke majalah.

master-landscape
Bungy jumping di Macau. (Dokpri Perucha Hutagaol)

Sebagian besar perjalanan dia lakukan sendiri, dalam arti Ucha berangkat tanpa teman, karena tujuan utamanya semata jalan-jalan. Kalau ternyata di jalan mendapat teman maka itu tak lain adalah bonus. “Agak repot kalau mengajak teman karena cutinya ngga barengan, jumlah uang di kantong juga beda. Tapi biasanya walau berangkat sendiri, di jalan selalu dapat teman perjalanan.”

Selain itu, mencari teman jalan sesama orang Indonesia terbilang sulit karena backpacking belum membudaya. Umumnya orang Indonesia tidak mau repot dan tidak suka kegiatan luar ruang. Kurang adventurous. Belanja selalu dijadikan agenda utama. Kalau ke Bali, misalnya, yang dicari Pasar Sukowati untuk membeli oleh-oleh, dan enggan menyeberang ke Lombok padahal alamnya sama indahnya dengan Bali.

“Itu juga yang membuat orang Indonesia tidak mengenal negaranya. Walau di sisi lain alasannya kuat juga mengapa orang Indonesia sendiri tidak mengenal Nusantara secara detail. Negara kita luas dan butuh uang banyak untuk menjelejah dari ujung ke ujung. Misalnya ongkos pesawat dari Jakarta ke Sorong Rp3 juta, sehingga ongkos pergi pulang Rp6 juta. Padahal dengan uang Rp6 juta, seseorang bisa backpacking hingga Hongkong.”

Jika untuk backpacking ke Hongkong selama lima hari butuh duit Rp6 juta, silakan hitung sendiri berapa biaya yang dibutuhkan untuk backpacking ke Eropa atau ke Makau atau ke Turki yang ada di perbatasan dua benua. Walau berkali-kali di bukunya Ucha menulis bahwa dia seorang backpacker yang kere, tetap saja saya penasaran sekere apa orang yang sudah menginjak 36 negara ini.

Begini jawabannya, “Saya cuma punya satu buku tabungan, satu kartu kredit, dan ikut pension plan. Sewaktu resign dari XL untuk kuliah di Manila, saya jual laptop dan ipod. Untungnya saya tidak suka belanja, berteman dengan orang-orang yang tidak suka belanja, dan jomblo semua. Ha ha ha….”

Perjalanan Ucha sudah terbilang jauh mengukur kulit bumi. Sudah 36 negara dia singgahi, empat kali memperbarui paspor akibat lembarannya sudah habis, sudah merasakan fasilitas lounge mewah hingga hostel bobrok, namun hanya punya satu ransel sejak 1995. Perjalanan pun menempanya hingga menjadi lebih observatif di tempat baru, lebih sabar, dan punya toleransi tinggi terhadap apa pun.

Dia masih memendam keinginan mengunjungi Amerika Latin. Paling tidak, akan butuh waktu dua hingga tiga bulan untuk menjelajah dari Venezuela di utara hingga Chile di selatan. Tempat-tempat eksotik di Indonesia Timur juga masih dalam agendanya untuk didatangi, seperti Banda, Raja Ampat, dan Wakatobi yang juga lokasi favorit penyelam. Sekadar info, Ucha juga seorang penyelam bersertifikat (certified scuba diver).

Satu lagi, dia ingin mendalami travel writing, yakni menuliskan cerita perjalanan, bukan semata cerita tentang satu tempat dan cara mencapai tempat berikutnya.Travel writing ini yang menurutnya belum banyak ditekuni orang Indonesia. Ya hayu dibikin atuh, Cha, banyak yang nungguin

 

Biodata

Nama: Perucha Hutagaol

Nama pena: Trinity

Tempat & tanggal lahir : Sukabumi, 11 Januari 1973

Nama ayah : Drs. R.B. Hutagaol (Alm.)

Nama ibu : Liya Djajadisastra, S.H.

Nama saudara kandung : Reinhard Hutagaol (38 tahun)

Jordan Hutagaol (13 tahun)

***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 10 Agustus 2008

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.