Sebelum gue lupa dan sebelum disela postingan lain, sesuai janji di tulisan sebelumnya, berikut adalah puisi mas gong & mbak tyas sebelum mereka menikah.
Gue tulis nama mereka sesuai yang tertera di buku. Ada yang Asih Purwaningtias, ada yang Asih Purwaningtyas, ada yang Tias Tatanka, ada yang Heri H. Harris, ada yang Gola Gong. Huruf yang tercetak miring dan tebal adalah judul bukunya. Selamat membaca.
rumahku entah di mana
tak kutemukan di sajak-sajak
di matahari, dan di bulan
karena tidurku
di bawah bintang-bintang
jauh di rimba belantara
tenggelam di dasar lautan
mesti pulang ke mana
setelah letih mengembara?
Heri H. Harris (Rendez-vous)
kenapa tak pernah kau tambatkan
perahumu ke satu dermaga?
padahal kau lihat, bukan hanya satu
pelabuhan tenang yang mau terima kapalmu
kalau dulu memang pernah ada
satu pelabuhan kecil, yang harus dilupakan
mengapa tak kau cari pelabuhan lain?
Asih Purwaningtias (Solidarnos)
ini hanya terjadi dalam sajak sentimentil
itulah soalnya ketika mencari dan menggerutu
masih tersisa wangi rambutmu
bertemu tak bertemu jadi pengertian
tak penting lagi
tapi yang penting adalah mencari
barangkali masih sanggup menghargai yang sia-sia
di mana perasaan saling memiliki
memilih berebut cari tempat
sedang yang lain berfilsafat ringan
dan kesabaran menangkap makna
seperti menikmati sajak
Heri H. Harris (Solidarnos)
seorang menutup mata di balik jari
sembunyi dari rasa malu
menjauh dan berlari
kau sembunyikan dirimu di tengah gelombang
atau di balik batu gurun lapang
aku menyepi di antara rembulan dan matahari
padahal kita bisa duduk di taman malam
menggelindingkan cerita klasik yang berulang
Asih Purwaningtyas (Telegram)
hiduplah kamu bersama tenaga dan keindahan kata
pergilah ke timur
pergilah ke timur, anak muda
pergilah pada matahari yang tak pernah tenggelam
jalani hari-harimu dengan hal-hal baru
kau pasti melihat betapa timur selalu memulai
teruslah berjalan ke timur
dan kau akan menemukan betapa barat lebih cepat berputar
Asih Purwaningtyas (Kapal)
lelaki memiliki wanita
tapi dia dimiliki semua
dia memang harus pergi
tapi juga harus kembali
karena ada yang mengasihi
dan dikasihi
Heri H. Harris (Traveler)
segalanya berjalan seperti adanya
langkah sudah terjadi pun sejarah
hendak kau ulang sesuatu yang tak kau ingin ingat?
bebaskan segalanya
lepas bebas
sebagaimana udara di ketinggian
lepaskan masa dulu selepas-lepasnya
biar tak ada sisa kecuali sejarah
biarlah tersisa nama dan cerita
toh segalanya pada apa yang disebut segalanya
Asih Purwaningtyas (Traveler)
seorang lelaki harus berani mengusir ketakutan
ketakutan untuk berbuat salah
ketakutan untuk berbicara salah
dan seorang perempuan harus berani memiliki jiwa lelaki
berani mendampingi gelisah lelaki
berani untuk tidak takut kehilangan lelaki
Heri H. Harris (Epilog)
aku memimpikan rumah
di atas bukit
pohon rimbun, sawah, gunung,
sungai, bebatuan,
tawa anak gembala di punggung kerbau
main lumpur
alamku
mimpiku
aku memimpikan rumah
di atas bukit bunga-bunga
kasih
belaian
harapan
alamku
mimpi-mimpiku
Heri H. Harris (Epilog)
Rumah Kita
aku taburkan rumput di halaman belakang
di antara pohon lengkeng dan mangga
sudah tumbuhkah bunganya?
aku ingin menaburkan sajak di jalan setapak
di seberang istana merpati yang tak pernah terkurung
karena aku dan kamu selalu ingin melayang jauh
melihat angkasa dan bintang-bintang
dari atap rumah kita
aku akan ceritakan kelak pada anak-anak
tentang matahari, bulan,
laut, gunung, pelangi,
sawah, bau embun, dan tanah
aku ajari anak-anak mengerti hijau rumput
warna bunga dan suara
Tias Tatanka (Ini Rumah Kita, Sayang…)
mari temani langkahku
meniti putaran waktu
merajut jejak masa depan
agar dipinang-Nya kelak
kita dalam buaian
Gola Gong (Ini Rumah Kita, Sayang…