Kerkah indah Yuswadi Saliya

Nikmati kalimat-kalimat indahnya.
Yuswadi Saliya adalah arsitek
dan dosen yang sangat rendah hati.
Akan kau temukan tulisan yang sangat tidak kering, sangat khas sastrawan.
Jadi ingat Romo Mangun.

Tulisan ini dikirim fitri berbulan-bulan lalu,
sebagai kata pengantar untuk sebuah buku.
Sampai sekarang, aku sering mengulang baca, hingga kuputuskan diposting di sini.
Hera Ramli (almh) adalah kolega Yuswadi, istri dari Rizal Ramli sang ekonom.
Selamat membaca.

 

Mengenang Hera Ramli

Beberapa kali berjumpa dengan Hera dan Ramli pada acara-acara ITB, tak sempat ngobrol, sekadar bersalaman dengan lambaian senyumnya yang meleretkan gigi putihnya (ah, serupa betul senyum suami istri itu!), ya, itulah pengalaman terdekat yang pernah saya peroleh. Itu pun dalam rentang waktu yang panjang-panjang. Lainnya, ingatan samar-samar yang jauh ke masa kami diskusi menghadapi tugas akhirnya.

Yang tertinggal adalah peliknya geometri dalam rancangannya. Merata, tanpa pumpunan, semua bagian memperoleh perhatiannya yang sama. Sangat teliti, sehingga sadarlah saya bahwa seluruh lembar kertas kalkir itulah pumpunannya.

Ingatan itu kembali tumpah ruah ketika saya membaca dan mengamati dokumentasi foto karya-karyanya dalam buku ini. Tak pelak lagi, itulah geometri cartesian miliknya! Berkelok-kelok, seperti dinding pura di Bali (kalau tak silap, tugas akhirnya memang di Bali). Dan akan semua kesan sahabat-sahabatnya, memang itulah rupanya yang menjadi pilihan pumpunan perhatiannya: seluruh peri kehidupan orang-orang yang dikasihinya.

Kalau orang percaya akan frenologi, konfigurasi geometri wajahnya pun memperlihatkan kebenaran itu, betapa ketetapan hatinya telah menggariskan jalan hidupnya. Itu pulalah garis-garis pada wajah tokoh wayang yang berpegang teguh pada pilihan kata hatinya, yakni sifat-sifat yang mewarnai kehidupan seseorang dan membentuk watak tabiatnya.

Akumulasi ingatan seperti ini mempertajam beberapa sudut perasaan halus setiap orang. Bahkan, hanya dengan buku yang dihadiahkannya pun, bangunan ingatan itu bangkit kembali, menjulang di antara berbagai kegiatan saya hari ini.

Ada dua buku yang dihadiahkannya kepada saya. Satu, buku tulisan Bill Risebero, The Story of Western Architecture, yang dikirimkannya dari Boston tanggal 5 Oktober 1986 dan saya terima di Bandung tanggal 29 November 1986. Buku sejarah arsitektur tanpa foto namun penuh sketsa; barangkali ini pulalah yang mendorongnya untuk menghadiahkannya kepada saya (waktu itu belum masa CAD belum tiba di ITB). Dan yang kedua, The Princeton Journal, Thematic Studies in Architecture, Vol. One, 1983, “Ritual,” yang saya terima di Bandung tanggal 23 Februari 1987.

Tidak ada hal-hal yang luar biasa atau bisikan suara yang mencekam, selain bahwa hari ini, saat menulis kenangan ini, penampilan buku itu dikuasai lebih oleh raga geometrik dan jiwa memorinya daripada sebelumnya.

Ketika saya kibas (browse) lembaran buku itu, misalnya, tampaklah garis-garis geometrik sketsa Risebero itu lebih jelas dari sebelumnya (beberapa sudah saya beri warna, godaan yang selalu singgah di tangan seorang arsitek, you know). Begitu pula jurnal Princeton dengan edisi khusus Ritual itu. Ada muatan emosional yang lembab, sekarang; sementara setiba jurnal itu dulu, nyalang mata saya mencatat beberapa butir artikelnya untuk bahan kuliah Sejarah, Teori, dan Kritik Arsitektur, sangat akademis rasanya.

Ingatan memang aneh, suatu keajaiban adikodrati yang penuh rahasia illahiyah. Dan bagi saya—rekanan seprofesi yang jarang berjumpa namun sama-sama terpikat akan geometri ini—semakin pekat kabut itu menyelimut sepeninggalnya.

Dengan isi dan ilustrasi buku ini saya memperoleh gambaran lebih lengkap tentang Hera, seorang gadis langsing (untuk tidak menyebutnya kurus), berambut pendek, suaranya yang lembut (untuk tidak menyebutnya lirih) ketika menjelaskan tugas akhirnya. Buku ini melengkapkan kilas balik secepat kilat yang masih terpenggal-penggal akan Hera, ketika Bang Ramli menelepon saya untuk menjumpai Uthe (Lutik Astri), penulis-penyunting buku ini.

Bang Ramli yang nada bicaranya seperti batu granit, yang setiap patah katanya keluar hanya sesudah dengan gemas dikerkah giginya itu, tampil di hadapan hp saya seperti hologram, berkat oleh seringnya saya menjumpainya di layar kaca, akhir-akhir ini. Foto rambut gondrong dan celana ketatnya pun menerbangkan kembali memori yang semakin tipis ini menyeberangi samudra lebih dari tiga puluh tahun bentangnya, ke dunia-tahun yang penuh gonjang-ganjing. Rupanya—melawan segala dalil konvensional akan keserasian hubungan antara manusia—justru gonjang-ganjing itu pulalah yang, subhanallah, menempa dua baja sejoli ini semakin padu.

Saya merasa tersanjung atas kesempatan untuk turut menyelami masa-masa kebersamaan kita yang jarang-jarang itu, dan saat-saat perjumpaan kita yang singkat-singkat itu, namun, sekarang menjadi penuh makna.

Selamat jalan, Hera.

Yuswadi Saliya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.