Perempuan yang Berumah Dekat Pantai


bunga yang disenangi kupasang di jendela
daun pintu terbuka
kursi kosong dekat meja
lagi kupanggil nama di lorong rata
menjauh langkah tergesa
bergema hampa

lampu di kamar tetap menyala
tumpah di pangkuan surat lama
lonceng mati di angka tiga
masih yakin dia ada
tinggallah saja diam berjaga
pagi rekah di pinggir desa

sinar hari membelah ruang
rumah kosong kelihatan tua
hiasan dinding tanpa guna
di pantai kembali surut air kelam
ke lubuk laut entah di mana
betapa berat sunyi menghunjam

tikar tinggal terhampar di lantai
sandal sepasang tak terpakai
kopi di cangkir belum juga tersentuh
masih berapa lama aku bersimpuh
menanti sapa di mulut pintu
ucapan salam kepadaku

semua sudah bersih di dalam
pakaian putih terlipat di tilam
batin siap menyambut dia yang diharap
ingin diri meniarap lata
berteriak seru mari
setiap terbilang kata bayangan hening lari

tubuhku rumah yang butuh dihuni
suasana hampa damba akan isi
air tenang menangis di rongga sunyi
apatah kehadiran tanpa dihadiri
kemanusiaan minta saksi
lonceng bergoyang sebelum mati

telah kusisir rambutku kusut
kaca bening bergantung di sudut
asal saja pecah hening ini
dibawa berbincang sepanjang pagi
atau diam pandang memandang mengajuk hati
tamu, datanglah datang

lelah berjalan akan kubasuh kakinya sambil berdendang
seandainya dia datang
kusuapkan nasi dengan tanganku sendiri
kesendirian begitu ngeri
setiap dia memalingkan wajahnya ke mari
aku akan memekik girang ya aku ada di sini

tak terlarai aku dan dia
darat dan laut saling memadai
hamba dan tuan berkait abadi
sudah terdengar ombak berdebur di karang
sayup-sayup memanggil suara tersayang
segera ke ambang aku menjelang

 

Adelaide, 28 Februari 1977
Subagio Sastrowardoyo

Dimuat di majalah Budaya Jaya, No.110 Th. Ke-10, Juli 1977

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.