Petilasan Ceto Sang Candi Hindu

candi ceto, candi cetho, candi cetha, ceto temple indonesia
Teras 7 berisi kura-kura menumpang Garudeya, Surya Majapahit, dan lingga yoni. Foto diambil dari dua arah berlawanan. (Foto Silvia Galikano, 2009)

Candi Sukuh dan Candi Ceto hampir selalu diucapkan beriringan. Jika datang ke Sukuh, artinya harus sekalian ke Ceto, karena jaraknya tak terlalu jauh, yakni 10 kilometer. Butuh waktu 15 menit jika menyewa ojek sepeda motor.

Oleh Silvia Galikano

Letaknya di Desa Ceto, Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Berada di lereng Lawu, pada ketinggian 1.496 meter dari permukaan laut. Ceto diucapkan dengan “t” tebal. Dalam transliterasi dari aksara Jawa, “t” tebal itu ditulis “th”, karena itu sering juga nama candi ini ditulis Cetho atau Cetha.

Berdirinya Candi Ceto masih berkait dengan larinya Raden Brawijaya, raja terakhir Kerajaan Majapahit, dari kejaran putranya, Raden Patah penguasa Demak, setelah Patah mengobrak-abrik Sukuh.

candi ceto, candi cetho, candi cetha
Gapura berbentuk candi bentar. (Foto Silvia Galikano, 2009)

Brawijaya lari ke arah timur laut, mendirikan candi Ceto ini. Candi belum rampung dibikin, ternyata bertambah satu yang mengejar, yakni Adipati Cepu, akibat pertikaian lama. Maka Brawijaya lari lagi, dan akhirnya moksa di puncak Lawu.

Ceto lebih familiar bagi masyarakat Hindu dan Kejawen, dibanding Sukuh, karena hingga sekarang Ceto berfungsi pula sebagai pura dan petilasan, sedangkan Sukuh bukanlah rumah ibadah.

Baca juga Sukuh, tentang Pesan dan Keyakinan

Sewaktu kami masih di Candi Sukuh, Sugeng yang jadi pemandu mengatakan bahwa kondisi Ceto berbeda dengan Sukuh, sangat Hindu Bali. Penduduk sekitarnya pun masih Hindu, sedangkan penduduk seputar Sukuh, sebagaimana umumnya masyarakat Karanganyar, adalah muslim.

“Tidak tahu mengapa, agama-agama lain tidak mempan masuk. Sampai sekarang, masyarakat di sana tetap Hindu,” Sugeng bilang.

candi ceto, candi cetho, candi cetha
Lambang sikap ambigu. (Foto Silvia Galikano, 2009)

Sebelum mencapai candi, sempat kami perhatikan bahwa pintu pagar rumah-rumah penduduk berbentuk gapura bentar, yakni gunungan yang dibelah dua secara vertikal, persis pintu masuk pura.

Ada yang dari bata, ada juga dari batu warna hitam. Gapura bentar pula yang merampok perhatian begitu mencapai loket Candi Ceto. Tinggi, besar, hitam, berhadap-hadapan.

Mendaki beberapa langkah untuk mencapai anak tangga yang mengantar ke gapura bentar. Persis sebelum anak tangga pertama, ada dua arca berpunggungan. Satu menghadap pintu masuk, satu lagi menghadap tangga.

candi ceto, candi cetho, candi cetha
Pendopo-pendopo. (Foto Silvia Galikano, 2009)

Menurut brosur yang dikeluarkan Dinas Pariwisata Karanganyar, sepasang arca ini menunjukkan sikap ambiguitas di tahap awal ketika manusia ingin bertaubat. Kenangan tentang masa lalu yang susah dilepaskan ketika akan melangkah maju.

Tidak diketahui, arca tersebut menggambarkan tokoh siapa karena tidak menunjukkan ciri-ciri dewa tertentu. Demikian pula dengan arca-arca lain di teras-teras berikutnya, yang ternyata menurut brosur, tidak diletakkan di tempat yang sebenarnya.

Baca juga Menggantung Harap di Menggung

Tak dapat ditampik adanya kecewa akibat kesemberonoan saat pemugaran Candi Ceto yang, menurut brosur tersebut, dilakukan Humardani, asisten pribadi Soeharto, pada 1975/1976. Struktur asli candi banyak diubah, bahkan bangunan berbentuk kubus yang ada di puncak candi inti Ceto adalah bangunan baru.

candi ceto, candi cetho, candi cetha
Candi inti Ceto. (Foto Silvia Galikano, 2009)

“Bentuknya jadi seperti pura Bali. Bu Tien dulu sering datang mengawasi langsung pemugarannya,” Sugeng katakan saat kami masih di Sukuh.

Papan keterangan di pintu masuk Candi Ceto juga memuat tulisan senada dengan ucapan Sugeng: Sangat disayangkan bahwa “pemugaran” atau lebih tepat disebut pembangunan oleh “seseorang” terhadap candi Cetha ini tidak memperhatikan konsep arkeologi, sehingga hasilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Candi ini pertama dikenal dari laporan penelitian Van der Vlis pada tahun 1842. Dari situ penelitian demi penelitian lanjutan dilakukan. Kompleks Candi Ceto terdiri dari 13 teras yang berundak dari barat ke timur sepanjang 190 meter, menghadap barat, dan candi intinya berada paling belakang.

Peninggalan yang masih asli hanya yang ada di teras ke-7. Inilah teras terpenting karena menampilkan tahun pendirian candi serta fungsi keagamaannya.

candi ceto, candi cetho, candi cetha
Sengkalan memet. (Foto Silvia Galikano, 2009)

Di teras ini terdapat sengkalan memet (tahun yang digambarkan dalam bentuk binatang atau tumbuhan) berupa tiga ekor katak, mimi, ketam (kepiting), seekor belut, dan tiga ekor kadal.

Menurut arkeolog asal Belanda, Bernet Kempers, arca ketam, belut, dan mimi merupakan sengkalan yang berbunyi welut (3) wiku (7) anahut (3) iku = mimi (1), menunjukkan angka tahun 1373 Saka atau 1451 Masehi, tahun didirikannya candi Ceto.

Di dinding gapuranya tertulis kalimat Peling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang sala kalanya wiku goh anaut iku. 1397 (Peringatan pembuatan buku tirta sunya badannya hilang. Tahun saka wiku goh hanaut iku 1397) yang ditafsirkan sebagai peringatan pendirian tempat ruwatan, tahun 1397 Saka atau 1475 Masehi.

Baca juga Rahayu yang (Seharusnya) Tenteram

Selain itu, ada susunan batu di atas tanah yang membentuk burung dengan sayap terkembang selebar 6 meter, dan di atas badan burung menumpanglah kura-kura, merupakan penggalan cerita Samudramanthana dan Garudeya.

candi ceto, candi cetho, candi cetha
Kura-kura menumpang di atas Garudeya. (Foto Silvia Galikano, 2009)

Persis di ujung paruh burung serta di ujung kedua sayapnya, ada Surya Majapahit, yakni logo kerajaan Majapahit menunjukkan adanya hubungan situs ini dengan Majapahit. Berada segaris dengan paruh burung, membujur lambang lingga yoni, lambang Dewa Syiwa dan Betari Durga.

Pada kondisi aslinya, hampir tiap teras memiliki arca dan bangunan-bangunan terbuka seperti pendopo yang berkerangka kayu. Sekarang, memang ada pendopo hasil pemugaran, namun hanya di empat teras teratas. Selebihnya tak ada.

Baca juga Mencipta Imaji Baru Pabrik Tua

Bahkan arca Brawijaya, arca lingga, dan dua arca lainnya yang bertabur bunga setaman di teras ke-9 dan 10 tak ada yang asli.

Bagaimana dengan gapura bentar hitam, besar, berhadap-hadapan tadi? Tentu saja baru. Juga dua bangunan limasan berdinding kayu, digembok, yang jadi pertapaan petinggi-petinggi negeri ini. Halah halah….

candi ceto, candi cetho, candi cetha
Itu saya, bukan arca. (Foto: Andipo Wiratama)

***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 22 Maret 2009

One Reply to “Petilasan Ceto Sang Candi Hindu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.