Sawang di Tubir Legenda Laut
Suku Sawang tahu arah tiupan angin yang memberi berkah, kapan panen ikan, atau kapan musim terbaik untuk mendaratkan kapal sebelum nantinya mengarungi laut lagi.
Oleh Silvia Galikano
Tak ada yang lebih mengerti laut selain Orang Laut, sebutan bagi suku di seluruh dunia yang hidupnya di laut. Sebutan lain adalah Sea Nomads, Normadic Boat People, Boat People, Sea Gypsies, juga Sea Folk. Orang Laut di Belitong adalah suku Sawang.
Aslinya suku Sawang hidup di atas perahu bersama keluarga, terdiri dari istri dan anak-anak. Total isi perahu lima hingga enam orang. Mereka hidup dari menangkap ikan, teripang, agar-agar, dan kima.
Selain untuk kebutuhan makan setiap hari, tangkapan itu juga untuk dipertukarkan dengan kebutuhan lain, seperti gula jawa, sagu, atau biji-bijian. Perahu dibikin sendiri, disebut jong, dilengkapi panah dan jala sebagai alat menangkap ikan.
Suku Sawang punya siklus pengembaraan tetap dalam setahun, yakni dari Tanjonglabu di Bangka ke perairan sekitar pulau Belitong, atau sebaliknya. Mereka berhenti di tempat-tempat persinggahan tetap yang dipilih karena letaknya teduh dan terlindung dari ombak dan badai, seperti teluk, suak (teluk kecil di sungai atau laut), atau muara sungai.
Di tempat-tempat tersebut mereka berlabuh, mendirikan sapao (gubuk) untuk tempat tinggal sementara. Tak jarang pelayaran hingga jauh ke wilayah Lampung atau Kalimantan Barat.
Deskripsi sekilas tentang suku Sawang ini diutarakan Salim Yah, guru yang juga penulis buku Sejarah Pulau Belitung dalam sesi diskusi pada Festival Tradisi Bahari, awal Juli lalu.
Salim menyebut Suku Sawang sebagai perenang mahir, penyelam unggul, dan pelaut andal. Mampu menyelam selama 10 menit tanpa alat.
“Bila cuaca baik dan arus tenang, seluruh keluarga menyelam. Pada malam hari, ketika bulan kelam dan masa peralihan antara pasang dan surut, mereka nyuluh (menangkap ikan menggunakan obor) menggunakan serampang (tombak bermata lima) dan ibul (tombak dengan mata tombak yang akan lepas dari gagangnya saat mengenai sasaran, karenanya diberi tali penghubung),” kata Salim.
Dengan pola mobilitas geografis macam ini, sulit untuk melakukan cacah jiwa Suku Sawang. Salim menyodorkan data Staat van de Bevolking op Billiton keluaran tahun 1851. Dari 5564 penduduk Belitong, 3531 adalah orang Belitong, 1654 suku Sawang, 351 orang Melayu, dan 28 Tionghoa.
Suku Sawang yang dapat didata ini adalah yang “sudah” menetap di daerah pantai, seperti di Tanjongpandan, Sijuk, dan Blantu.
“Populasi mereka semakin berkurang. Tidak tahu persisnya sekarang berapa. Belum ada penelitian mengapa populasi Suku Sawang semakin berkurang,” kata Salim.
Suku Sawang menganut kepercayaan dengan konsep dasar Animisme-Shamanisme yang meyakini hal-hal bersifat gaib, hari baik dan hari nahas, hantu, mambang, dan peri, serta kekhawatiran terhadap berbagai ancaman dunia gaib yang dapat merugikan.
“Kepercayaan yang tidak diakui sebagai agama resmi oleh negara ini memaksa suku Sawang untuk ‘menjadi Melayu dengan cara masuk Islam’. Sampai batas tertentu, suku Sawang berhasil menyerap kebudayaan Melayu dan Islam, tapi sejauh mana mereka dilibatkan dalam sistem ekonomi dan politik orang Melayu?”
Pernyataan Salim itu berkenaan dengan tetap dipinggirkannya Suku Sawang dalam kehidupan sehari-hari di Belitong akibat belum berubahnya pola perilaku yang masih menjalankan kepercayaan lama, antara lain membakar kemenyan untuk memanggil roh. Selain itu menyiapkan persembahan berupa pisang, bawang merah, bawang putih, tembakau suci untuk roh sebagai perantara meminta rezeki dan agar mendapat hasil laut yang melimpah.
Satu persembahan besar dari suku Sawang adalah Muang Jong, yakni upacara mengantar jong (dalam bentuk miniatur) sebagai persembahan kepada penguasa laut. Muang Jong diadakan sekali dalam setahun, pada bulan Juli. Tanggalnya berbeda-beda setiap tahun, yakni ketika awal bulan naik. Tahun ini berlangsung pada 3, 4, dan 5 Juli 2009.
Baca juga Budaya Laut, Budaya Pemersatu
Pemda Kabupaten Belitong pernah dua kali “mengislamkan” dan memukimkan suku Sawang. Yang pertama di tahun 1970-an, memukimkan mereka di Desa Paalsatu, dan memberi nama permukiman tersebut Kampung Laut.
Di sana dibuat surau. Kepada yang masuk Islam diberi perlengkapan shalat. Surau yang awalnya padat jamaah, lambat laun surut jumlahnya.
Pemukiman kedua terjadi tahun 1985 di daerah Jurusebrang, untuk sekitar 100 kepala keluarga. Mulanya rumah-rumah ini memang berpenghuni namun perlahan penghuninya berkurang.
Mereka lebih banyak kembali ke laut dan menyewakan rumahnya atau meninggalkannya kosong. Tak diketahui apa penyebabnya.
Masalahnya tak semua anggota suku Sawang yang sudah didaratkan ini terampil melaut, tak semua bisa mengikat tali pancing. Mereka yang memang tidak melaut, ujar Salim, punya pilihan sangat sedikit di darat. Umumnya bekerja sebagai kuli angkut pelabuhan.
Idris Said, 60 tahun, adalah Kepala Suku Sawang yang tinggal di Kampung Laut, Belitong Barat. Sehari-hari dia bekerja sebagai nelayan, melaut dengan perahu tradisional miliknya. Idris punya dua buah perahu kecil yang bisa dibawa berlayar hingga 16 mil ke tengah.
“Kalau cuaca sedang bagus dan laut jernih, dari menyelam kami bisa dapat Rp300 ribu. Tapi kalau air sedang keruh, kami sama sekali tidak bisa menyelam. Jadi hanya pasang pukat atau memancing yang hasilnya tak seberapa.”
Idris termasuk segelintir dari masyarakat Sawang yang beruntung karena punya perahu. Rekan-rekannya melaut dengan menyewa kapal milik orang lain atau bekerja untuk nelayan lain, sehingga uang yang didapat sedikit, dan inilah yang menurut Idris penyebab utama terpinggirkannya masyarakat Sawang secara ekonomi.
“Kalau laut sedang tidak bagus, mereka jadi kuli panggul di pelabuhan. Kalau yang tidak punya pekerjaan lain selain jadi nelayan, bisa lebih dari satu bulan tidak punya penghasilan,” kata Idris.
Karena itu dia berharap pemerintah membantu masyarakat Sawang agar mudah memiliki perahu. Harga satu perahu ukuran kecil kira-kira Rp2 juta sudah berikut peralatan pelengkapnya, seperti jangkar dan lampu.
Idris adalah bapak sembilan anak, dan kakek 12 cucu. Sampai di usianya yang ke-60 tahun ini, dia tetap menyelam, kegiatan yang hampir seumur hidup dia kerjakan. Kalau dulu bisa sampai kedalaman 15 hingga 20 meter, sekarang hanya 7 hingga 10 meter.
Tiga puluh tahun lalu, pernah dia menyelam terlalu dalam, hingga menjebol gendang telinga kirinya. Tuli hingga kini.
***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 26 Juli 2009