Tak Heroik Langit Wartawan

Pers adalah pilar keempat demokrasi setelah lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Gagah nian.

 

Oleh Silvia Galikano

Sejak kelas 3 SD di Tanjungkarang, entah dari mana datangnya, Langit Merah sudah fasih melafalkan cita-citanya yang satu. Jadi wartawan. Hanya satu itu tujuannya. Tak pernah bercabang, tak kenal bimbang. Dengan jaket rompi, tustel, notes, dan pena, Langit membayangkan wartawan lebih gagah daripada tentara yang menyandang senapan.

Langit menjalani keseharian yang keras sebagai keturunan Tionghoa di keluarga yang berkekurangan, tinggal di rumah reyot pinggir rel kereta. Punya tugas setiap sore mengantar wajik, dodol, dan kue kacang hijau bikinan ibunya ke kantin Rumah Sakit Abdul Moeloek. Setiap bulan telat bayar uang sekolah, tube pasta gigi yang sudah habis harus dibelah supaya tidak ada sedikit pun pasta gigi yang terbuang, telur asin yang dibelah dua sebagai lauk dan satu-satunya teman bagi nasi putih.

Sejak kecil juga dia dan adiknya, Trang Matahari, membiasakan diri dicina-cinakan oleh teman-teman (bahkan oleh guru) tanpa tahu apa yang salah terlahir dengan mata sipit.

Sementara itu, teman-temannya yang lain yang sama-sama hidup berkurangan, yang sama-sama hampir tiap malam menumpang nonton di rumah tetangga yang memiliki televisi, tidak memiliki mata sipit. Jadi, bermata sipit dan hidup berkekurangan adalah dosa pangkat dua, manifestasi dari pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”.

Masa SMA adalah masa dia menggeber diri untuk obsesinya. Terus mengasah bakat menulis dan memperkaya diri dengan bacaan sastra lama dan modern. Bermodal mesin tik pinjaman, dia membuat cerpen untuk majalah dinding di sekolah, baru kemudian berani mengirim karyanya ke majalah remaja di Jakarta. Tak terhitung sudah berapa cerpen, cerbung, serial, dan artikel yang dimuat di berbagai majalah remaja. Sebelum lulus SMA, dua novelnya terbit. Dua lagi terbit saat dia kuliah.

Cita-citanya tinggal selangkah lagi ketika bersama delapan orang lainnya dinyatakan lolos, dari 900 pelamar, untuk menjadi staf redaksi harian besar di Jakarta, tempat yang selama ini diidamkan. Sebagai wartawan baru, Langit dengan mata sipitnya, meliput rangkaian demonstrasi mahasiswa menuntut Soeharto turun dari kursi presiden, pendudukan Gedung MPR/DPR, kerusuhan Semanggi, kerusuhan Trisakti, hingga kerusuhan etnis pada Mei 1998.

Ketika jadi wartawan desk ekonomi, setiap hari dia datang membawa data baru yang menelanjangi kelicikan debitor-debitor pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pejabat BPPN. Redakturnya, Arman Sogisih, punya peran besar mengarahkan ke mana dia harus bergerak, siapa kawan siapa lawan, berikut siapa narasumber yang mendukung.

Namun sebelum investigasinya betul-betul tuntas, Arman meminta dia menghentikan penulisan tentang permainan obligor dan debitor BPPN dan mengganti sasaran tembak. “Besok berhenti dulu nyikat Dipasena. Pembaca jenuh kita nulis Dipasena tiap hari. Coba elu mulai korek-korek Texmaco….”

Di saat lain, Bono asisten redaktur desk ekonomi, bersama lima wartawan media lain teman satu gengnya menerima masing-masing satu unit mobil Timor sebagai hadiah karena tidak mengungkap kasus penggelapan Pajak Penjualan Barang Mewah proyek mobil nasional Timor.

Tindak pemerasan Arman terhadap obligor dan pejabat, barter hadiah atas kasus yang seharusnya diungkap, menyusul kebusukan-kebusukan lain yang Langit endus membuatnya tak tahu lagi siapa yang bersih di kantor itu. Jadi orang lurus sekaligus menjadikannya orang aneh, seperti perumpamaan yang dibuat Matahari berikut.

“Sekarang pertanyaannya, yang bermasalah elu ataukah mereka? Di antara seratus orang, mana yang aneh, satu orang yang berbeda atau sembilan puluh sembilan orang lainnya yang sama?”

Di tengah keruwetan, untuk sejenak Langit bisa menghirup udara segar ketika dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa master di Groningen Belanda, meninggalkan kantornya dan meninggalkan Daria, perempuan yang selama ini mengisi hidupnya. Nasib kemudian juga membawa Langit menggelandang ke New York Amerika Serikat, menjalani hidup keras lagi, dan menggenapi gambar besar dengan satu lagi keping puzzle.

Kisah Langit Merah adalah novel keenam Bubin Lantang setelah Potret-potret, Tentang-tentang, Napas-napas, Jejak-jejak, dan Bila, lima novel yang terbit di era 1990-an. Ketika itu dia masih SMA dan awal kuliah. Tamat kuliah, Bubin jadi wartawan di sebuah harian besar di Jakarta, dan cuti panjang dari menulis fiksi.

 

Ketika lebih dari 10 tahun kemudian Bubin kembali menulis fiksi, cirinya tak hilang, yakni rangkaian kalimat yang keras, tegas, dan kelam, di samping terasa sekali ada perubahan dari cara bertutur. Tak sespontan dulu. Mungkin karena sekarang terbiasa menulis dalam kaidah-kaidah jurnalistik yang sarat rambu.

Kali ini juga Bubin menyodorkan cara tutur yang tidak biasa, tidak linear, melainkan menggunakan alur maju-mundur. Pembaca dibuat terkaget-kaget akibat cerita yang melomp
at-lompat, tak hanya antarbab, kadang juga di satu bab berisi dua masa yang berbeda, dan sama sekali tak ada keterangan waktu. Kisah Langit Merah bukanlah novel ringan untuk dibaca “sambil tiduran”. Pembaca harus berpikir untuk memahami apa yang sedang diceritakan. Bahkan, novel ini bercerita—atau pembaca memahami alurnya—justru ketika sudah ditamatkan.

Selain menggambarkan keseharian wartawan koran—termasuk jadwal Sabtu libur dan Ahad masuk setengah hari, pembaca juga diajak menyelami konflik percintaan Langit dan Daria, perempuan Jawa muslim. Perbedaan agama yang tak diingkari, dan ketika tak kunjung menemui jalan keluar, tiada dialog menye-menye menyesali keadaan, justru bagaimana manusiawinya laki-laki bersedih ketika hubungan 12 tahun itu harus disudahi.

Yang demikian mengganggu adalah pengulangan paragraf hingga lebih dari dua kali di halaman berbeda. Paragraf tentang janji Daria untuk tetap mendulukan Langit, bahkan dari bapaknya, terasa berlebihan karena terlalu sering dan jadi hilang manfaat ketika diulang sesering itu.

Namun demikian, ada paragraf yang juga beberapa kali diulang di halaman-halaman lain, tentang Daria yang sudah jadi istri Faisal, hidup di New York, suatu hari memergoki suaminya sedang di tempat tidur bersama Hermelinda yang datang sekali sepekan untuk membersihkan apartemen mereka. Paragraf ini justru berfungsi menguatkan paragraf lain ketika diulang di halaman berikutnya.

Dengan detail memikat, Bubin berhasil memaparkan bagaimana sebenarnya dunia wartawan dan isi perut kantor surat kabar besar yang ternyata tak seideal yang dicitrakan. Dan dengan kacamata wartawan, dia deskripsikan kehidupan mahasiswa di Belanda dan kerasnya hidup di New York sebagai pekerja ilegal dan berhadapan dengan agen tenaga kerja yang penuh tipu muslihat. Semua dengan kalimat Bubin yang keras dan kelam.

Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 23 Agustus 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.