Kehadiran
Pekerjaanku sehari-hari menangani edisi Minggu. Kami tim edisi Minggu terdiri dari lima orang, yakni dua redaktur dan tiga reporter. Posisiku adalah redaktur, setara dengan supervisor kalau di kantor nonmedia.
Aku sudah menetapkan diri bahwa aku bukanlah tukang edit tulisan, tapi aku pengayom teman-teman satu tim. Memang itu pilihan. Mau pilih jadi tukang edit tulisan, ayooo. Mau jadi pengayom teman-teman, silakan. Ngga ngaruh ke gaji.
Menjadi pengayom artinya aku harus menciptakan suasana kerja yang nyaman buat teman-temanku. Apa pun yang ingin ditanyakan, bisa mereka tanyakan kapan saja. Aku ingin keberadaanku diharapkan, bukan malah bikin gerah.
Memilih menjadi pengayom artinya aku harus sebanyak mungkin ada di antara tim kerja. Hari liburku Minggu dan Senin, walau tak jarang Senin pergi meliput atau datang ke kantor karena ada undangan rapat. Selasa sampai Sabtu aku ke kantor, berada bersama tim Minggu.
Di kantor, aku duduk manis di kursiku, menyelesaikan tulisan sambil berjuang tidak menengok facebook, dan mengedit tulisan teman-teman. Selingannya tentu obrolan ngalor ngidul. Bagaimana kalau aku memilih jadi tukang edit tulisan? Tulisan kuselesaikan di rumah, tulisan teman-teman dikirim lewat e-mail lantas kuedit di rumah, menjelang akhir pekan datang ke kantor untuk setor tulisan, pulang deh. Sama saja kan? Sama. Tapi bukan cara itu yang kupilih.
Aku mengagungkan “kehadiran” (presence) di sebuah hubungan antarmanusia. Sebuah kehadiran sederhana dan tanpa banyak bicara akan bisa mewakili sekian banyak kata, akan jadi pengungkap demikian dalam perasaan, dan akan jadi pembentuk ikatan yang kuat. Aku tak mau hubungan antarmanusia itu kering, sebentar lagi patah. Aku mau hubungan yang hangat, diikat oleh hati, karena hubungan antarmanusia bukanlah hubungan basa-basi.
Sebuah kehadiran sederhana. Berlebihankah?