Rumah Cilame, Jendela Zaman Emas hingga Masa Kelam

rumah cilame 20, benteng heritage, tangerang
Tiga kavling milik keluarga Loa di Jalan Cilame, Sukasari, Tangerang. (Foto: Silvia Galikano, 2010)
Rumah tua ini hampir tak tersentuh pembaruan. Bisa untuk melongok masa satu setengah abad silam.

Oleh Silvia Galikano

Pecinan Tangerang yang disebut Benteng adalah kawasan tua tempat perdagangan berlangsung selama berabad-abad, melayari nadi Sungai Cisadane di sisinya, mengantar lada sang primadona hingga ke benua dingin Eropa. Ketika abad berganti, zaman berubah, Cisadane ditinggalkan sebagai lalu lintas perdagangan, walau Pecinan tetap sesibuk dahulu.

Salah satu bangunan tertua di Benteng berada di Jalan Cilame 20, Kelurahan Sukasari, Tangerang, Banten. Ruas jalan yang pagi hingga siang jadi pasar tradisional. Rumah ini milik keluarga bermarga Loa.

Baca juga Rumah Karawaci, Sebelum Tinggal Puing

Belum ada yang tahu tahun berapa dibangunnya. Tapi dari bongpay (nisan), ditemukan ada lima generasi keluarga Loa. Jika ditambah yang masih hidup, dua generasi, maka paling tidak, sudah tujuh generasi yang tinggal di rumah ini. Jadi usia rumah, paling tidak, sudah 150 tahun.

rumah cilame 20, benteng heritage, tangerang
Ornamen vide. (Foto: Silvia Galikano, 2010)

Rumah ini hanya beberapa langkah dari Klenteng Boen Tek Bio, bangunan tertua di Tangerang yang didirikan pada tahun 1684. Ukuran rumah 20,5 x 15 meter, terdiri dari dua lantai ditambah loteng. Dindingnya bata. Lantai 1 ditutup ubin merah terakota ukuran 40 x 40 sentimeter, sedangkan terasnya berlantai marmer 1 x 1 meter.

Tiang, langit-langit, pintu, dan lantai 2-nya kayu jati utuh. Pintu di lantai 1 dan 2 punya dua pasang daun pintu. Satu pasang membuka ke arah dalam, dan sepasang lagi membuka ke arah luar. Pintu anginnya berukir, dan tertulis karakter Tionghoa di atas pintu.

Baca juga Warisan Ternama di Pecinan Jakarta

Bagian utama rumah, dan paling cantik, adalah ukiran berlapis mozaik keramik yang melintang menghubungkan empat tiang di tengah rumah dalam posisi bujur sangkar. Sebagaimana umumnya rumah asli Tionghoa, bagian tengah rumah “dikosongkan”, berfungsi mencegah rumah jadi lembap. Dua susun gentingnya adalah genting kaca agar sinar matahari leluasa masuk.

Ukiran melintang yang menghubungkan empat tiang bagian atas di tengah rumah itu adalah fragmen Sie Jin Kui, yakni cerita tentang jenderal perang pada masa Dinasti Tang (abad ke-7 – 10), namanya cemerlang karena kemenangan demi kemenangan yang dia peroleh.

Baca juga Rumah Karawaci, Ketika Waktu dan Pilihan Menipis

Saya bayangkan, dulunya, ukiran ini luar biasa cantik, bercat merah menyala dan berwarna emas. Sekarang, warna catnya sudah pudar, bahkan habis, tinggal warna hitam kayu berlapis debu tebal, dengan sarang laba-laba merentang ke sana ke mari.

Saya datang ke rumah ini, Senin, 15 Februari 2010, sehari setelah SIncia. Diterima pemilik rumah, Loa Hok Boow, lelaki berusia 56 tahun. Dia laki-laki satu-satunya dari enam bersaudara. Boow-lah yang mengatakan bahwa ukiran yang menghubungkan empat tiang itu merupakan fragmen Sie Jin Kui, namun tak dapat menjelaskan detil yang terpampang (belakangan, diketahui ukiran itu tentang Jenderal Kwan Kong 160-220 M).

Ketika Boow mulai menempati rumah ini, tahun 1977, gang depan rumahnya belum jadi pasar. Baru pada era 1980-an, Jalan Cilame ini jadi pasar. “Dulu, orang bisa menggandeng anak lewat sini. Sekarang, jalan sendirian saja sempit.”

Meja sembahyang ada di lantai 1 dan lantai 2. Di dinding, atas meja sembahyang, terpasang tiga foto leluhur Boow, yakni Loa Tiang Lie (kakek buyut), Khouw Pit Nio (ibu dari kakek buyut), dan nenek buyut (Boow tak ingat namanya). Di meja sembahyang, tersandar foto kakeknya, Loa Siong Lim (meninggal tahun 1973), dan ayahnya, Loa Pek Yam (1929 – 2006).

Baca juga Hotel Besar, Cerita Tumbuhnya Purwokerto

Boow bercerita, di zaman Belanda, rumah ini pernah jadi rumah lelang. Leluhurnya juga pernah menjadi agen ikan asin dan menumpuk ikan asin itu di rumah. Kakeknya berdagang barang-barang kelontong. Ayahnya menjual plastik dan mainan anak-anak. Usaha ayahnya ini dia lanjutkan bersama keponakannya yang menjual kue-kue.

Masuknya Sekutu ke Indonesia meninggalkan jejak suram di Tangerang, termasuk di rumah keluarga Loa. Kerusuhan dan penjarahan terjadi pada Juni 1946 akibat gosip tentang tentara Nica beretnis Tionghoa menurunkan bendera Indonesia dan menggantinya dengan bendera Belanda.

Ditambah lagi kabar burung tentara Nica Tionghoa membakar warga pribumi. Demi menyelamatkan diri dari kerusuhan, orang-orang Tionghoa Tangerang kemudian mengungsi ke Jakarta.

Baca juga Tentang Cokek dan Geolnya

Nah, ketika keluarga Loa bersama warga Tionghoa lain mengungsi inilah, semua daun pintu dan semua daun jendela di lantai 1 serta sepasang daun pintu yang menghadap keluar di lantai 2 dijarah. Ornamen yang menempel di pintu yang tersisa di lantai 2 itu juga dicopot. “Setelah kerusuhan itu, kami tidak memasang pintu baru. Ini asli semua,” kata Boow, sambil menunjuk engsel besi yang menempel di kusen bagian luar tempat seharusnya pintu dipasang.

Hingga masa kakek buyutnya, rumah ini berukuran 15 x 20,5 meter. Tapi ketika turun ke kakeknya (Loa Siong Lim), pada era 1950-an, rumah dibagi tiga. Kiri, tengah, dan kanan, jadi ukuran masing-masing 5 x 20,5 meter.

Bagian kiri dan kanan di-thiap (disewakan dalam jangka waktu lama dan tanpa perjanjian jelas, jadi tak heran kalau harga sewanya tak berubah selama puluhan tahun), sedangkan yang tengah tetap dihuni kakeknya. Karena di-thiap, dipasanglah dinding pemisah, dari depan ke belakang, juga balkon di lantai dua. Dinding itu masih ada sampai sekarang.

Baca juga Pintu Candra Naya di Rumah Tionghoa Peranakan

Dua sisi rumah itu disewakan masing-masing seharga Rp15 ribu. Harga yang berlaku dari tahun 1950-an hingga 1994. Penyewanya tidak berganti-ganti, bahkan turun ke generasi kedua. Karena sudah demikian lama menyewa, menurut cerita Boow, penyewa dua rumah samping tersebut menganggap sudah memiliki rumah itu, dan berhenti membayar sewa pada tahun 1994.

Kasus ini kemudian dibawa ke pengadilan. Hasilnya adalah rumah tersebut sah milik keluarga Loa, dan penyewa diberi tenggang waktu tujuh tahun untuk angkat kaki tanpa perlu membayar sewa. Jadi mereka tetap menempati rumah tersebut sampai tahun 2001, dan setelah itu, ketiga bagian rumah dihuni hanya oleh keluarga Loa. Bagian tengah dan kiri ditempati Boow, sedangkan bagian kanan ditempati kakak perempuannya.

Sejarah keluarga Loa di rumah Jalan Cilame 20 yang sudah satu setengah abad terpaksa bergeser di tahun 2010 ini. Kebutuhan ekonomi mengerucutkan pilihan pada menjual rumah leluhur, meski itu hanya dua bagian rumah, yakni yang ditempati Boow, sedangkan rumah bagian kanan tetap dipunyai kakak perempuan Boow.

Baca juga Geger Kota Sang Inspektur

Udaya Halim (Lim Tjin Pheng), 57 tahun, pendidik dan pemilik lembaga pendidikan di Tangerang, membeli rumah keluarga Loa. Dia berencana mengembalikan kondisi rumah itu ke keadaan semula yang megah dan cantik. Ubin di rumah kiri yang sudah diganti, akan dikembalikan ke ubin merah terakota seperti di rumah tengah.

Udaya sudah akrab dengan rumah itu sejak kecil. Di Pecinan ini dia lahir, di rumah yang di-thiap orang tuanya di Jalan Cilame 33, persis di seberang rumah keluarga Loa. Jalanan yang sekarang jadi pasar adalah lapangan sepak bolanya sewaktu kecil. Namun 25 tahun lalu, orang tuanya yang kala itu miskin, diusir tuan tanah.

Kini, Udaya dan keluarga punya rencana menjadikan rumah di Jalan Cilame 20 itu sebagai restoran makanan khas Benteng di lantai 1, dan museum Benteng di lantai 2 dengan nama Benteng Heritage. Sekarang, dia sedang mengumpulkan artefak yang berhubungan dengan masyarakat Cina Benteng untuk mengisi museum.

Baca juga Saumata Lintaskan Wastra

“Artefak itu tidak perlu benda antik dan mahal. Sepasang sandal pun, kalau pemiliknya punya cerita menarik di baliknya, bisa dimasukkan dalam museum,” kata Udaya. Dia juga sudah mendapat izin untuk mereproduksi foto-foto leluhur keluarga Loa, yang rencananya akan ditempatkan di museum itu, berikut silsilahnya, sehingga rumah itu tidak akan kehilangan sejarahnya.

Diawali dengan diskusi melalui surat elektronik, Rabu (17/2) malam lalu, Udaya mengundang tujuh orang yang punya ketertarikan pada konservasi rumah ini. Sebagian adalah anggota Warga Peduli Bangunan Tua (Walibatu), kelompok non-profit yang mendukung upaya konservasi dan pemanfaatan bangunan tua. Dari diskusi itu muncul hal-hal yang harus disiasati lebih lanjut, seperti bagaimana melibatkan masyarakat sekitar serta proses restorasi yang melibatkan tim ahli dari multidisiplin.

Setelah kecewa demi kecewa melihat bangunan bersejarah diruntuhkan atau ditelantarkan agar cepat runtuh, untuk kali ini, harapan bisa disematkan. Salah satu bangunan tertua di kawasan Pecinan Tangerang, yang merekam cerita satu setengah abad, dilintasi banyak peristiwa, bahkan yang paling kelam, akan dapat berkisah ke lebih banyak orang, lebih banyak generasi.

***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 21 Februari 2010.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.