Dari Candirejo Meningkap Borobudur



Melihat dari jauh membuat suatu obyek terlihat utuh, berikut interaksi dengan sekelilingnya.
 
Oleh Silvia Galikano
Datang ke Candi Borobudur, berkeliling di tiap tingkatnya, dan mengagumi reliefnya. Tak lupa mengulurkan tangan untuk meraih tumit arca Kuntobimo di dalam stupa demi terwujudnya semua keinginan. Semua itu salah satu cara menikmati candi Buddha ini. Melihat dari dekat, bisa menyentuh dan mengamati.
Dari dekat bisa dipahami bahwa Candi Borobudur punya sepuluh tingkat, terbagi menjadi tiga teras, yakni Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu. Dari dekat pula bisa diamati bentuk lubang stupa di Kamadatu dan Rupadatu adalah belahketupat, sedangkan lubang stupa di Arupadatu segiempat. Lebih mudah juga membayangkan bahwa ada 2 juta batu andesit yang tersusun di sini, dan bisa melihat sendiri sebesar apa setiap balok batu candi yang berusia 1200 tahun itu.
Tapi jika tak enggan bergerak beberapa kilometer, akan didapat cara lain untuk menikmati sang candi. Kalau ke arah barat daya, ke Desa Karangrejo, ada bukit bernama Punthuk Stumbu yang jadi tempat favorit fotografer mengambil gambar Candi Borobudur begitu matahari terbit, saat masih bersaput kabut tebal dan rendah. Demikian tebalnya kabut, hanya bagian atas candi yang terlihat, seolah duduk manis di atas awan.
Tapi kali ini, bukan Karangrejo yang dituju. Saya bergerak ke arah timur, ke Desa Candirejo yang berjarak 3 kilometer dari Candi Borobudur. Tidak terburu-buru di pagi buta sebelum matahari terbit, walau memang ketika matahari terbitlah sang candi sedang cantik-cantiknya. Desa ini berada di gugusan Perbukitan Menoreh.
Budiyanto yang jadi pemandu, mengajak saya ke sebuah ketinggian untuk melihat Candi Borobudur dari jauh. Di Dusun Butuh, Desa Candirejo. Kami bersepeda motor. Lancar saja ketika masih di jalanan desa yang beraspal mulus. Lantas berbelok keluar dari jalanan beraspal, masuk jalan setapak sempit menanjak dan beralas batu. Licin karena semalam hujan. Sepeda motor terengah-engah. Ditambah lagi bobot tubuh yang ada di boncengan ini sama sekali tak ringan.
Kami melewati hutan jati dan sonokeling. Tinggi dan lebat. Di kiri kanan. Kadang berpapasan dengan laki-laki menjunjung seikat besar rumput, dengan ibu-ibu yang menggendong kayu bakar di punggungnya, tak jarang juga dengan pengendara sepeda motor. Semuanya menyapa. “Di sini, sebaiknya kita menyapa setiap bertemu orang, walaupun tidak kenal,” kata Budi.
Sepeda motor dihentikan ketika sisi kanan tak lagi hutan, melainkan lembah terbuka. Pandangan bisa lepas jauh. Dari ketinggian ini terlihat betapa gunung-gunung Merapi, Merbabu, dan Tidar sambung menyambung dengan perbukitan Menoreh tempat kami berdiri, mengelilingi sebuah lembah luas di depan mata. Lembah yang datar.
Di tengah-tengah lembah datar dan luas itu terlihat satu gundukan kecil. Itulah Bukit Borobudur, bukit kecil tempat Candi Borobudur berdiri. Ketika berdiri di sini, melihat Candi Borobudur dalam posisi zoom-out, baru bisa saya pahami mengapa 77 tahun lalu, seniman Belanda WOJ Nieuwenkamp sampai mengeluarkan hipotesis bahwa di sekitar candi terdapat danau kuno. Candi Borobudur diibaratkan bunga teratai yang mengapung di tengah-tengah danau.
Hipotesis tentang danau purba itu dibenarkan Marsis Sutopo, Kepala Balai Konservasi Peninggalan (BKP) Borobudur, tapi tidak benar jika candinya berdiri dikelilingi danau. Lembah datar itu, dulu di zaman purba, adalah danau yang kemudian tertutup endapan lahar gunung berapi.
“Danau itu diperkirakan ada jutaan tahun lalu, sedangkan umur Candi Borobudur baru seribu dua ratus tahun,” kata Marsis usai diskusi Keindahan Sejarah Candi Agung dan Pemanfaatan Ruang Kawasan Borobudur di Jakarta, Sabtu, 27 Februari 2010. Dari studi, lanjut Marsis, di sekitar candi dulunya adalah rawa dan kampung yang sepi, karenanya pas jika dibangun candi sebagai tempat bersemadi.
Saya harus mengeluarkan catatan ketika Budi mulai bercerita tentang Candi Borobudur dari sisi yang tidak biasa. Informasi yang diceritakan turun temurun oleh masyarakat Candirejo. Dari tubir lembah, dia menunjuk lokasi desa-desa yang punya andil hingga candi megah itu berdiri.
Sebelum perjalanan menanjak tadi, kami berhenti sebentar di jembatan Sungai Pabelan, Dusun Kerekan, sebelah tenggara candi. Sungainya tak selebar Kali Progo, kira-kira dua meter. Budi bilang, batu-batu Sungai Pabelan-lah yang digunakan sebagai bahan pembangun Candi Borobudur. “Sekarang sungai ini tidak berbatu karena batunya sudah dipakai untuk membuat Candi Borobudur.” Dari aktivitas mengambil batu dari sungai juga lahir nama Kerekan sebagai nama dusun, karena mengangkat batu-batu itu menggunakan kerekan.
Batu-batu kali kemudian diangkut perahu melawan arus ke Desa Gopalan di sebelah selatan Candi Borobudur. Kata gopalan berasal dari kata gupala (patung dwarapala), yakni sepasang patung penjaga di kiri-kanan pintu. Di desa ini ditemukan bekas pintu gerbang dan dermaga.
Setelah didaratkan, batu-batu itu dibawa ke Bukit Dagi/Ndagi, di barat laut candi. Dagi berarti berarti pemahat. Di sini, batu-batu kali itu dipahat, baru kemudian dibawa ke Bukit Borobudur untuk disusun.
Cerita Budi masih berlanjut. Para kuli kasar pembangun candi diasramakan di tempat yang sekarang bernama Desa Kenayan, di sebelah utara candi. Kenayan bermakna tempat para kenaya (kuli). Ketika para pekerja ini ingin menghibur diri setelah lelah kerja seharian, mereka pergi ke suatu tempat untuk mendengar permainan gamelan. Tempat itu sekarang bernama Desa Gendingan yang berasal dari kata gending atau lagu.
Di sebelah utara Gendingan tempat permainan gamelan itu, terdapat Desa Bogowarti. Bogowarti mengingatkan saya pada istilah “tata boga”. Memang di sinilah para petugas katering berkumpul, menyiapkan makanan bagi para pekerja. Bensin utama demi selesainya mahakarya Candi Borobudur.
Ada pula Desa Paren yang diperkirakan dulunya lumbung padi. Paren berasal dari kata pari yang berarti padi.
Desa Jayan/Njayan dulunya adalah tempat prajurit berlatih beladiri. Jayan berasal dari istilah joyo kawijayan (unggul, sakti). Desa Janan/Njanan berada di timur laut Candi Borobudur. Perhatikan, “janan” terdengar mirip dengan “sarjana”. Janan diperkirakan tempat berkumpul para cerdik pandai spesialis candi.
Masih ada satu lagi informasi tentang Candi Borobudur versi penduduk Candirejo, yakni letak keraton Mataram Kuno. Budi mengarahkan telunjuknya ke arah timur laut candi, “Itu, yang ada asapnya, sebelah utara Mendut. Desa Palbapang.” Palbapang berjarak 11 kilometer dari Candi Borobudur, berada antara Magelang dan Yogyakarta.
Memang informasi ini tak dapat dipertanggungjawabkan, pasalnya para arkeolog sendiri belum menemukan di mana dahulu letak keraton Mataram Kuno. Meski begitu, sudah terbuka satu pintu lain bagi masyarakat untuk memahami Candi Borobudur dengan cara menarik, tak seberat menghafal tahun dan nama raja. Betapa mendengar sejarah tutur sama melenakannya dengan menikmati dongeng sebelum tidur.
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 7 Maret 2010
 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.