Hari Kartini Bukan Karnaval Berkebaya

Dari Jepara yang hutan belukar dan terpencil, dia kirimkan ide untuk menggoyahkan gedung feodalisme. Di Jepara dan Rembang, dia bangun sekolah. Terganggu duri dalam daging yang terus menusuki.

Oleh Silvia Galikano

Di balik citra lembut perempuan bersanggul dan berkebaya, Kartini (1879 – 1904) adalah ikon cita-cita besar bagi mereka yang tak punya banyak pilihan atas hidupnya. Sesak karena sempitnya peluang bersekolah bagi rakyat jelata, terlebih perempuan, feodalisme mengakar kuat, berpupuk merajalelanya kemiskinan.

Dalam surat menyurat dengan Nyonya Abendanon tertanggal 8 April 1902, Kartini bercerita tentang perjumpaannya dengan bocah usia enam tahun yang berjualan rumput. Ayah bocah itu sudah meninggal. Emaknya pergi bekerja. Dua adiknya, lelaki semua, ditinggalkan di rumah. Dia tak punya kakak.

Bocah itu belum makan, karena mereka makan nasi sekali sehari, yakni di sore ketika ibunya pulang. Siang, mereka hanya makan kue sagu aren seharga setengah sen.

… di luar sana begitu banyak derita dan kemelaratan melingkungi kami! Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain-lain! Aku dengar itu begitu jelas….

Surat-surat Kartini kemudian dihimpun Mr. J.H. Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda untuk diterbitkan dengan judul Door Duisternis tot Licht pada tahun 1911 (pada tahun 1922 diterbitkan Empat Saudara dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran).

Tepatnya, buku itu berisi 105 pucuk surat Kartini ke beberapa orang, sebuah nukilan dari catatan harian, sebuah sajak, dan sebuah nota tentang pendidikan dan pengajaran untuk pemerintah Nederland.

Buku ini laris manis di pasaran Belanda. Pada tahun 1923, Door Duisternis tot Licht mengalami empat kali cetak ulang atau laku kurang lebih 16 ribu eksemplar.

Buku itu terbit tujuh tahun setelah Kartini wafat dan membuat namanya terkenal. Yang tak banyak disadari, semasa hidup, prosa dan reportase Kartini sudah dimuat di majalah-majalah Belanda dan Hindia Belanda. Jadi karya Kartini bukan hanya surat-surat yang dibukukan tersebut.

Kartini adalah putri dari R.M. Sosrodiningrat. Ibunya, Mas Ayu Ngasirah, adalah seorang selir (garwo ampil). Sebagai putri ningrat, gelarnya raden ajeng. Ketika Kartini lahir, 21 April 1879, ayahnya menjabat Wedono Mayong. Dua tahun kemudian jabatannya naik menjadi Bupati Jepara.

Kehidupan ayahnya yang beristri lebih dari satu membuat Kartini tak berpihak pada perkawinan poligami. Pernah dia sampaikan kepada sahabat pena Belandanya, Stella, di surat bertanggal 25 April 1903, “Masyarakat tidak boleh tahu apa yang sesungguhnya kami lawan. Namun musuh kami adalah poligami.”

Setelah menjalani masa pingitan sejak usia 12 tahun, pada usia 24 tahun, Kartini diperistri Bupati Rembang KRT Singgih Djojo Adhiningrat (1854 – 1912). Gelar raden ajeng bertukar jadi raden ayu. Lengkapnya Raden Ayu Adipati Aryo Kartini Djojo Adhiningrat. Usia mereka bertaut 25 tahun. Dari Jepara, Kartini diboyong ke Rembang, mukim di rumah dinas suaminya.

Ke rumah dinas inilah saya akhir Maret lalu. Rumah dinas yang pada 27 Juli 1741 (hari lahir Kota Rembang) sudah jadi tempat tinggal bupati itu dilengkapi pendopo di bagian depan dan berhalaman luas.

Berdiri di sebelah selatan jalur pantura (pantai utara Jawa). Dulu, ketika jalur pantura belum seramai ini, belum ada juga bangunan di sepanjang utara jalan. Sehingga jika berdiri di ruang tamu rumah, pandangan bisa lepas hingga ke laut. Ke Teluk Rembang.

Saya ditemani Didit Kristriyanto, pemandu Museum Kartini. Museum mengambil tempat di bagian timur (samping kanan) bangunan, meliputi Ruang Pengabadian Kartini, Ruang Koleksi, dan serambi timur.

Ruang Pengabadian Kartini dulunya adalah kamar tidur Kartini. Inilah ruang inti museum, tempat menyimpan benda-benda pribadi Kartini semasa hidup. Di kotak kaca tersimpan tulisan tangan Kartini dalam bahasa Belanda tentang fragmen Kongso Adu Jago, sebuah cerita pewayangan. Tergantung pula lukisan dua angsa dari cat air, berbingkai ukiran Jepara. Medium cat air adalah ciri lukisan Kartini.

Ruang Pengabadian Kartini punya empat pintu yang mengarah ke empat tempat berbeda; ke pendopo, ke ruang tamu, ke serambi timur, dan ke kamar suaminya. Di luar perkiraan saya, ternyata Kartini dan suaminya tidak tidur sekamar, terpisahkan dinding dan sepasang pintu warna beige.

“Kalau Pak Djojo ingin bersama Ibu Kartini, beliau mengetuk pintu ini dua kali, nanti Ibu Kartini datang ke kamar Pak Djojo,” kata Didit sambil mencontohkan cara mengetuk dua kali itu. Pelan, seperti tamu rahasia.

Walau telah menikah, keinginan Kartini tetap menyala untuk mencerdaskan rakyat, terutama para perempuan. Tak ada cara lain selain membuka sekolah untuk perempuan di Rembang. Sebelum menikah, sudah dia dirikan satu sekolah di Jepara.

Kartini meminta suaminya agar menyediakan bangunan sekolah. Sempat terjadi tawar menawar. Sang suami keberatan dengan ide Kartini karena khawatir aktivitas tersebut akan mengundang ketidaksukaan Belanda.

“Kalau begitu, sediakan tempat di dalam lingkungan sini saja supaya tidak begitu menyolok,” Didit menirukan ucapan Kartini. Maka sebuah bangunan di halaman depan, dekat gerbang, disediakan bupati untuk tempat Kartini mengajar. Sekolah Kartini itu sekarang jadi Gedung Gerakan Pramuka Kwartir Cabang Rembang.

Di bagian timur, terpisah dari bangunan utama, memanjang dari utara ke selatan bangunan berkamar-kamar, serupa rumah petak. Ada tujuh petak terdiri dari lima kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu toilet.

Tiap kamar berukuran 4×4 meter, punya satu pintu dan dua jendela. Seluruh pintu menghadap barat, menghadap bangunan utama. Inilah kamar selir.

Djojo Adhiningrat adalah bupati ketujuh Rembang. Dia mengaku duda ketika melamar Kartini. Istrinya, Sukarmilah (1862 – 1902) yang putri Bupati Trenggalek, meninggal tanpa anak. Tak dia ceritakan tentang tiga selir serta enam anaknya. Setelah pindah ke Rembang, baru jelas semua bagi Kartini. Dia istri kelima dan “permaisuri” kedua bagi Djojo.

Djojo kemudian mengambil satu selir lagi, sehingga dia punya empat selir. Empat selir itu adalah Mas Ayu (M.A.) Moedji, M.A. Moedjilah, M.A. Soedjirah, M.A. Sih. Mereka bertugas bergilir untuk pekerjaan rumah tangga, misalnya yang memasak adalah selir pertama, yang bertugas memijat adalah selir kedua, demikian seterusnya.

Sepenuturan Didit, tak semua selir berstatus lajang ketika dibawa Djojo ke rumah. Ada juga yang berstatus istri orang. Tentu ini mengundang pertanyaan saya, tidakkah suaminya keberatan jika istrinya diambil orang?

Jawaban Didit, “Di masa itu, siapa yang berani melawan bupati? Kalau suaminya tidak melepaskan, bisa saja nanti Pak Bupati meminta tentara Belanda menembak laki-laki itu. Malah jadi susah dua-duanya.”

Empat selir itu masing-masing menempati satu kamar. Pertanyaan yang sampai sekarang belum ada jawabannya adalah jika Djojo hanya punya empat selir, mengapa kamar selir ada lima? Siapa yang mengisi satu kamar lagi?

Kartini menjalani proses melahirkan yang teramat berat kala dunia kedokteran belum secanggih sekarang. Dia mengalami pendarahan hebat setelah puteranya lahir. Keluarga dan teman-teman Kartini datang untuk memberi semangat.

Para selir, yang saya bayangkan jadi duri dalam daging di kehidupan perkawinan Kartini dan istri sebelumnya, juga berkumpul di dekat Kartini, meminta maaf jika ada kesalahan di antara mereka.

Djojo terus menemani istrinya yang berkali-kali berucap ingin menyerah. Pada akhirnya Kartini bertahan hanya empat hari. Dia wafat pada 17 September 1904 saat usianya 25 tahun.

Setelah Kartini wafat, Djojo menikahi G.B.A.A. Moeryati (puteri Pakubuwono IX), sebagai istri ketiga. Moeryati ini kemudian wafat ketika melahirkan anak kedua. Anak pertamanya, R.A. Srioerip, meninggal saat bayi. Jadi dari istri resmi, Djojo hanya punya satu anak laki-laki, Soesalit.

Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang. Di sebuah bukit yang jauhnya kira-kira 17 kilometer dari Kota Rembang ke arah selatan, merupakan jalur menuju Blora. Empat puluh lima menit menggunakan sepeda motor. Setelah memakamkan Kartini, Djojo menetapkan kawasan ini sebagai pemakaman keluarga.

Makam Kartini terletak di tengah-tengah, bercungkup, bersama makam Soekarmilah, dan Srioerip, anak dari G.B.A.A. Moeryati. Moeryati dimakamkan di makam keluarga Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Di luar tiga makam utama, terdapat 40 makam, termasuk makam Djojo dan dua selirnya, yakni M.A. Moedjilah dan M.A. Moedji. Dua selir lagi dimakamkan di Imogiri.

Sejarak 300 meter dari makam, berdiri Pesanggrahan Puncak Winahyu, villa berlanggam kolonial bercat putih-hijau milik keluarga Djojo Adhiningrat. Letaknya di puncak bukit, berudara sejuk, dan bisa melepas pandang hingga ke Teluk Rembang. Ke tempat ini dulu Kartini datang untuk plesiran.

Sekarang, pesanggrahan digunakan sebagai tempat beristirahat bagi keturunan Djojo sebelum berziarah ke makam. Sehari-harinya pesanggrahan ini kosong. Pak Tarmo dipercaya sebagai penjaga pesanggrahan. Setiap petang, dia datang untuk menghidupkan lampu, dan pagi datang lagi untuk memadamkannya.

Pesanggrahan punya empat kamar tidur. Di dinding ruang tamunya tergantung foto-foto keluarga. Tentu saja ada foto Djojo dan Kartini, selain K.R.M.A. Abdul Karnen Djojo Adhiningrat dan istri berikut keturunannya. Karnen adalah putra Djojo dan selir Moedji, menjabat Bupati Rembang sesudah ayahnya.

Pasangan inilah yang merawat Soesalit sepeninggal Kartini. Tak heran jika Soesalit itu tak lain akronim dari susah wiwit alit (susah sejak kecil), karena nasibnya yang tak punya ibu sejak kecil. Di masa dewasa, Soesalit masuk ketentaraan dengan pangkat terakhir mayor jenderal.

Selewat saja muncul pertanyaan, apa yang dulu mendorong Kartini jauh-jauh datang ke pesanggrahan? Mengistirahatkan hati yang lelah di antara persaingan para selir untuk merebut hati suaminya? Tahukah dia bahwa tempat yang tinggi ini bakal jadi tempat istirahat abadinya?

Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 18 April 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.