Tentang Sumur di Depan Rumah

Fransisca Srihartini sedang menyapu teras rumahnya di Pecinan Lasem, 2010. (Foto Silvia Galikano)
Fransisca Srihartini sedang menyapu teras rumahnya di Pecinan Lasem, 2010. (Foto Silvia Galikano)

Lanjutan dari Tersenyumlah, Kau Akan Tambah Cantik

Oleh Silvia Galikano

Menyeberangi Sungai Lasem, terjumpai sebuah rumah di Jalan Karangturi yang juga berlanggam Indische, namun lebih besar dari rumah keluarga Tan. Terasnya berpilar besar dari beton dan ubinnya berpola.

Seorang perempuan berusia 40-an petang itu sedang menyapu teras, membolehkan saya masuk halaman untuk memotret. Namanya Fransisca Srihartini.

Ketertarikan awal saya pada rumah ini semata karena ukurannya besar dan cantik. Di tembok kanan dan kiri pintu pagar terpasang plang nama. Di tembok kanan tertulis Njoo Eng Sioe dan di kiri Ong Giok Djan Nio.

Menurut Srihartini, Njoo Eng Sioe-lah pendiri rumah ini. Sedangkan nama yang di sebelah kiri itu adalah ayah dari Eng Sioe. Saya sempat tanyakan, bukankah Ong Giok Djan Nio adalah nama perempuan? “Ndak, itu laki-laki. Bapaknya.”

Baca juga Untuk Tanah Lasem

Srihartini adalah generasi ke-5 yang tinggal di rumah itu, dihitung dari Eng Sioe. Di rumah ini dia tinggal bersama kakak, ipar, dan para keponakan. Dia katakan, tidak tahu usaha apa yang dahulu digeluti Eng Sioe hingga bisa membangun rumah semegah ini.

“Cuma orang biasa. Karena pada zaman dulu itu anaknya banyak, maka dibuat rumah besar.”

Sumur di halaman depan, menempel pagar di Pecinan Lasem, 2010. (Foto Silvia Galikano)
Sumur di halaman depan, menempel pagar di Pecinan Lasem, 2010. (Foto Silvia Galikano)

Tengah berbincang dengannya, baru saya sadar ada sumur di halaman depan, persis menempel ke tembok pagar. Tingginya sepinggang orang dewasa. Tampak masih berair walau sudah dangkal dan tidak dipergunakan, berganti dengan sumur pompa di belakang. Lagi-lagi, dia tidak tahu mengapa ada sumur di halaman depan, hal yang tidak umum, bahkan di Lasem sekalipun.

Baca juga Siapakah Orang China?

Melihat sumur yang lokasinya tidak biasa begini, tak ayal, yang terpikir adalah perdagangan candu ratusan tahun lampau. Sepanjang tahun 1700-an hingga 1900-an, Lasem adalah pusat perdagangan candu.

Perahu-perahu yang mengangkut penyelundup candu berhenti di sungai, lantas orangnya pindah ke perahu kecil yang hanya muat satu orang, mengayuh dayung menelusuri gorong-gorong yang lebarnya 2 meter, dan berakhir di sumur. Keluar dari sumur, melenggang aman masuk rumah. Bebaslah dia dari pajak atas jalan tol dan bea masuk yang tinggi.

***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 25 April 2010

6 Replies to “Tentang Sumur di Depan Rumah”

Leave a Reply to Teguh Winengku Berkah Cancel reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.