Peristiwa Subuh di Jakarta

Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat, 6 Januari 2010. (Foto Silva Galikano)
Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat, 6 Januari 2010. (Foto Silva Galikano)

Teks Proklamasi yang terdiri dari enam kalimat lengkap di atas sehelai kertas itu lahir dari perdebatan panjang di bulan Ramadan, Bung Karno sedang flu, dan teksnya ditandatangani di atas piano.

Oleh Silvia Galikano

Fakta-fakta kecil itu belum tentu tertulis di buku pelajaran Sejarah, tapi akan diketahui kalau datang ke tempat peristiwa itu berlangsung. Rumah tempat dibacakannya Proklamasi, Jalan Pegangsaan 56, sudah diratakan dengan tanah, lantas dibangun monumen di atasnya. Namun bangunan tempat digodoknya teks Proklamasi masih kukuh berdiri sampai sekarang. Bisa didatangi siapa saja.

Tempat itu sekarang bernama Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Berada di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat, bersebelahan dengan Gereja GPIB Paulus, tak jauh dari Taman Suropati.

Luas rumah ini 1.645,31 meter persegi yang berdiri di atas tanah seluas 4.380 meter persegi. Bangunannya berlantai dua, berlanggam art deco, khas rumah-rumah di kawasan Menteng yang dibangun pada tahun 1920-an. Di lantai atas ada dua balkon menghadap halaman depan dan satu balkon menghadap halaman belakang.

Gereja Paulus terlihat dari jendela lantai 2 Museum Perumusan Naskah Proklamasi, 6 Januari 2010. (Foto Silva Galikano)
Gereja Paulus terlihat dari jendela lantai 2 Museum Perumusan Naskah Proklamasi, 6 Januari 2010. (Foto Silva Galikano)

Pemilik awalnya (pada tahun 1931) adalah PT Asuransi Jiwasraya Nilmy (Nederlands Levezekerring Maatschappij). Setelah itu dijadikan Konsulat Jenderal Inggris hingga Jepang masuk Indonesia. Baru kemudian jadi rumah dinas Laksamana Muda Laut Tadashi Maeda. Dia menjabat Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Indonesia. Maeda bersimpati dan mendukung kemerdekaan Indonesia.

Lantai atas rumah ini terdiri dari kamar tidur Maeda, yakni yang punya balkon menghadap halaman belakang. Di sebelahnya ruang kerja pribadi, kamar tidur sekretaris, ruang kantor staf rumah tangga dan tempat istirahat, serta kamar tidur pembantu.

“Maeda berkeluarga. Tapi karena dia ke Indonesia untuk urusan dinas, maka keluarganya ditinggal di Jepang,” kata Jaka Perbawa, pemandu di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, yang menemani saya Rabu siang (6/1) itu.

Ruang utama Museum Perumusan Naskah Proklamasi, 6 Januari 2010. (Foto Silvia Galikano)
Ruang utama Museum Perumusan Naskah Proklamasi, 6 Januari 2010. (Foto Silvia Galikano)

Di lantai bawahlah peristiwa bersejarah Indonesia berlangsung. Di sini terdapat ruang yang dulu digunakan untuk perumusan naskah Proklamasi, ruang kecil tempat pengetikan naskah Proklamasi, serta ruang luas tempat pengesahan Naskah Proklamasi.

Untuk memudahkan pengunjung menggambarkan kondisi saat itu, di tiap ruang dipasang foto-foto serta penjelasan singkat. Di Ruang Perumusan Naskah Proklamasi, malah dilengkapi patung Bung Karno, Bung Hatta, dan Ahmad Subarjo sedang merumusukan naskah Proklamasi pada pukul 3 dini hari. Naskahnya dikonsep Bung Karno, sedangkan Bung Hatta dan Ahmad Subarjo menyumbangkan ide secara lisan.

Di Ruang Pengetikan Naskah Proklamasi, ada patung Sayuti Melik sedang mengetik naskah. Naskah yang sebelumnya hasil tulisan tangan Bung Karno dan sudah disetujui hadirin ini diketik Melik dengan sedikit koreksi ejaan dan beberapa kata. Misalnya Wakil2 bangsa Indonesia menjadi Atas nama bangsa Indonesia. Sekitar subuh, naskah Proklamasi ini ditandatangani Sukarno dan Hatta di atas piano yang terletak di luar ruang pengetikan, samping tangga.

Proklamasi akhirnya dibacakan di rumah Sukarno, di Jalan Pegangsaan Timur 56, tujuh jam setelah naskahnya dirumuskan. Maeda tetap mendiami rumah dinasnya hingga sebulan kemudian, yakni September 1945 setelah Sekutu mengalahkan Jepang dan mendarat di Indonesia. Maeda kembali ke Jepang.

Rumah dinasnya berubah fungsi jadi Markas Tentara Inggris, dan pada tahun 1945 dan 1946 jadi tempat berunding antara Indonesia dan Belanda, dengan Inggris (Sekutu) sebagai penengah.

Setelah dinasionalisasi, gedung ini dikelola PT Asuransi Jiwasraya. Sepanjang tahun 1961 hingga 1981 dijadikan Kedutaan Inggris. Itu sebabnya, Perbawa bercerita, seringkali pengunjung museum adalah orang-orang sepuh asal Inggris yang ingin bernostalgia, karena dulunya
mereka pegawai di Kedutaan Inggris.

Ruang-ruang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, 6 Januari 2010. (Foto Silvia Galikano)
Ruang-ruang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, 6 Januari 2010. (Foto Silvia Galikano)

Barang-barang yang ada di museum ini adalah replika. Meja, kursi, piano tak ada yang asli. “Sesudah Maeda kembali ke Jepang, bangunan ini kan beralih kepemilikan. Mungkin barang-barang peninggalan Maeda tidak dibutuhkan lagi oleh pemilik yang baru, lantas disingkirkan. Apalagi bangunan ini sudah beberapa kali beralih fungsi,” kata Perbawa.

Pada tahun 1984, keluar instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Direktur Permuseuman agar gedung ini dijadikan museum. Sekretaris Meda, Satsuki Mishima khusus didatangkan dari Jepang ke Jakarta. Mishima yang dulu tinggal juga di rumah ini bersama Maeda, diminta bantuan untuk menjelaskan detail tempat-tempat berlangsungnya perumusan naskah Proklamasi.

Yang “sedikit asli” bisa dilihat di lantai atas, yakni piringan hitam berisi rekaman Proklamasi Kemerdekaan, sumbangan dari Lokananta, perusahaan piringan hitam di Solo. Di sebelahnya ada hasil scan teks Proklamasi tulisan tangan Bung Karno, serta koleksi pribadi (baju, topi, sepatu) beberapa anggota PPKI yang hadir pada malam tanggal 16 hingga subuh bersejarah 17 Agustus 1945 di kediaman Maeda itu.

Sisi belakang Museum Perumusan Naskah Proklamasi, 6 Januari 2010. (Foto Silvia Galikano)
Sisi belakang Museum Perumusan Naskah Proklamasi, 6 Januari 2010. (Foto Silvia Galikano)

Museum ini juga membuka diri bagi yang ingin menyewa halaman dan aulanya. Tahun 2008, misalnya, Kris Biantoro menggunakan halaman museum sebagai tempat peluncuran Album Emas-nya yang berisi lagu-lagu perjuangan. Dia berseragam tentara Badan Keamanan Rakyat (BKR), datang dengan iringan konvoi sepeda onthel. Para undangan adalah veteran perang Kemerdekaan, serta anak dan cucu komponis lagu-lagu perjuangan. Semua seirama dengan makna tempatnya.

***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 10 Januari 2010.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.