UAA, Rumor vs Fakta
Oleh Ienas Tsuroiya
Diposting 24 Maret 2010 pukul 9:45am di Note Facebook
Seperti mungkin sudah banyak yang tahu, pada Muktamar NU ke 32 kali ini suami saya, Ulil Abshar Abdalla, yang biasa disingkat namanya dengan UAA, akan meramaikan bursa ketua umum Tanfidziyah untuk periode mendatang. Saya semula kurang setuju, tapi setelah melalui diskusi panjang, akhirnya saya berkeputusan untuk mendukungnya. Terus-terang, secara pribadi saya kurang menyukai hiruk-pikuk pemilihan yang seringkali terasa ‘panas’ karena persaingan antar kandidat. Makanya saya lebih memilih ‘menghindar’ dari arena muktamar dan memutuskan kembali ke Jakarta lebih awal. Tentu dengan pertimbangan lain yang tak kalah penting: saya harus menemani anak-anak menghadapi TDS (tes daya serap) alias mid-semester.
Sebagai ganti kehadiran saya di samping suami tercinta, saya akan membuat tulisan mengenai dia, itung-itung membantu kampanye. Ini sekaligus saya harapkan bisa sedikit “meluruskan” berbagai kekeliruan terhadap sosok UAA. Mungkin sudah banyak yang tahu, sejak nama UAA terkenal sebagai ‘pentolan’ JIL (Jaringan Islam Liberal) , banyak sekali rumor, isu dan bahkan fitnah terhadap sosoknya. Misalnya: UAA “menentang” jilbab, UAA nggak pernah shalat, puasa, dsb, dst.
Jadi mohon dimaklumi kalau tulisan ini amat sangat narsis sekali. Namanya juga kampanye. Silahkan di-skip kalau tidak suka. Saya akan kembali dengan tulisan mengenai masakan atau cerita ringan seputar pendidikan anak-anak dan sebagainya, setelah serial ini selesai. Terima kasih atas pengertiannya.
(1) Rumor: UAA tidak faham Islam, UAA hanya belajar Islam dari negara Barat
Fakta: Statemen di atas sama sekali tidak benar. UAA mengkaji Islam sejak usia dini, di pesantren. Mungkin selama ini dia lebih banyak dikenal sebagai menantu K.H Mustofa Bisri alias Gus Mus. Padahal, dia sendiri juga putera dari seorang kiai yang disegani di daerahnya, K.H Abdullah Rifa’i yang juga dikenal di beberapa daerah lain di Jawa karena kitab-kitab karangannya, yang sampai sekarang masih dipakai di beberapa pesantren di Jawa. Cukup banyak kitab karangan Bapak mertua, al. Al Mifan (tentang Nahwu), Ruh al-Tarjuman (tentang kaidah penulisan gaya liris dalam bahasa Arab), Zad al Mutafakkih (tentang istilah-istilah dalam Fikih) dll. Selain itu, dari pihak Ibu, UAA juga cucu dari K.H Muhammadun, ulama terpandang di daerah Pati yang mempunyai banyak santri yang sekarang tersebar di berbagai daerah.
Selain belajar dengan Ayah dan Kakeknya, dia juga sempat mondok di pesantren di Sarang, Rembang, selain juga belajar di Madrasah Matho’liul Falah asuhan K.H DR. MA Sahal Mahfudh–yang sekarang menjabat Rais Aam Syuriah NU.
Mungkin perlu saya tambahkan di sini, Bapak mertua saya (Allah yarham) adalah seorang kiai yang dalam beberapa hal sangat berbeda dengan Abah saya, khususnya dalam hal mendidik anak. Beliau sangat keras sekali (seringkali disertai tindakan fisik, yang kalau terjadi di masa sekarang, sudah digolongkan sebagai ‘child abuse’), menuntut anak-anaknya untuk belajar bahasa Arab sehingga bisa memahami kitab kuning dengan baik. Bahkan suami saya pernah bercerita, Bapak alm, sangat tidak suka dan bahkan marah jika melihat anak-anaknya membaca tulisan berhuruf Latin (misalnya koran atau apalagi majalah). Dalam pandangan beliau, membaca hal-hal semacam itu tak ada gunanya. Yang diperbolehkan hanyalah membaca Qur’an (tadarus) atau membalah (membaca) kitab kuning–istilah yang digunakan untuk menyebut kitab klasik berbahasa Arab. Di masa remajanya, UAA harus sembunyi-sembunyi jika ingin membaca artikel berita atau tulisan tentang kebudayaan di koran. Uniknya, karena keluarga UAA bukan keluarga kaya, yang bisa memberi uang jajan yang cukup untuk sekedar membeli koran, di masa remajanya UAA sering ‘blusukan’ ke pasar, berteman dengan tukang loak/pengumpul koran bekas. Sambil ngobrol, dia akan membaca-baca koran-koran itu, dan jika ada artikel yang menarik akan digunting/dikliping.
Dengan didikan sekeras itu, tak heran jika UAA sudah mengenal dasar-dasar Nahwu, Shorof dan berbagai materi yang umumnya diajarkan di pesantren, sejak remaja (sangat berbeda kondisinya dengan saya, yang beruntung mempunyai Abah yang lembut hati, dan cenderung tak pernah memaksa anak-anaknya dalam hal apapun, tapi akibatnya, sampai sekarang nggak bisa membaca kitab kuning dengan baik dan benar, meski pernah mondok juga..)
Setelah menamatkan Aliyah (setara dengan SMA), UAA melanjutkan pendidikan di LIPIA, lembaga pendidikan milik Saudi Arabia. Alasannya sederhana, sekolah di situ gratis, dan bahkan mendapat uang saku bulanan segala. Maklum, Bapak mertua tidak menyetujui keinginan UAA untuk melanjutkan sekolah di Jakarta.
Demikianlah sedikit kilas balik masa muda UAA. Jadi, anggapan bahwa dia hanya belajar Islam dari Barat (Amerika Serikat), tentu sudah terbantahkan bukan?
Di bawah ini saya sertakan surat UAA untuk mertua, Abah saya, atau Simbah Kakung, begitu beliau dikenal di Jagat Fesbukiyyah. Tentu sudah seijin beliau. Surat ini saya unduh dari situs gusmus.net.
Surat Ulil Abshar Abdalla
20 Nopember 2007 19:52:48 | Share
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Abah,
Senang sekali saya mendapat sapaan dari Abah. Mohon maaf, selama ini saya tidak pernah mengirim email ke Abah. Kabar kami baik-baik. Iben sedang gembira sekali karena baru saja bisa menunggangi sepeda. Billy juga sedang senang-senangnya saat ini, sebab mendapat banyak kado dari teman-teman waktu Ultah kemaren.
Kami terharu atas kebaikan teman Mbak Ienas yang meminjamkan rumah dan seluruh isinya untuk keperluan acara Ultah Billy. Sekarang ini, pergaulan Mbak Ienas sudah betul-betul “go-international”. Temannya sudah tidak lagi berkisar antara Bekasi, Magelang, dan Sawahan, tetapi dari Venezuela, Arab, Israel, Jepang, Amerika, dll. Saya sendiri kalah, Abah, he he he….
Tesis saya akan selesai dalam waktu dua hari ini. Saya selama di Boston ini memang sengaja memerosokkan diri ke bidang kajian Islam klasik. Nanti, di Harvard juga akan melakukan hal yang sama. Selama empat semester kemaren, saya seperti “ngaji” kembali di pesantren. Semester pertama, saya mengkaji “Mafatih al-Ghaib”-nya Imam al-Razi bersama profesor muda dari Kanada, Tareq Jaffer. Liburan musim panas tahun pertama saya pakai untuk “sorogan” dengan Prof. Tareq. Kami saat itu membaca “Tahafut al-Falasifah”-nya Imam Ghazali. Semester ketiga dan keempat, selama setahun penuh, saya ikut kelas Qur’an di Harvard. Pokok bahasannya adalah al-Itqan. Selama setahun itu, kami menyelesaikan 2/3 dari al-Itqan. Jadi lumayan sekali.
Kelas ini diampu oleh seorang profesor muda keturunan India tapi kelahiran Singapura, Mohamed Shahab Ahmed. Dia ahli tafsir dan hadis, disertasinya memperoleh pengh
argaan sebagai disertasi terbaik dalam kajian Islam pada tahun 2000. Tema disertasi dia adalah mengenai “qissat al-gharaniq” atau ayat-ayat setan. Dialah yang tertarik untuk membeli tafsir al-Ibriz-nya Mbah Bisri Mustofa. Sekarang ini, tafsir itu sudah ada di perpustakaan Harvard.
Profesor ini pintar sekali, bahasa yang dikuasai ndak tahu berapa, banyak sekali, Abah. Hampir semua bahasa utama yang dipakai di dunia Islam dia kuasai: Arab, Persi, Turki, Urdu, Punjabi, Melayu. Dialah yang berjasa meluluskan saya ke Harvard. Dia memang kepengen sekali mempunyai mahasiswa dari Indonesia, terutama yang berlatar-belakang pesantren. Dia senang sekali ketika saya kasih tahu ada tafsir Qur’an lengkap berbahasa Jawa. Dan dia meminta saya menerjemahkan beberapa bagian dalam tafsir Mbah Bisri itu untuk dimasukkan dalam buku yang dia siapkan untuk terbit beberapa tahun mendatang.
Kalau saya renung-renung sendiri, kelihatannya saja saya sekarang di Amerika, Abah. Tetapi apa yang saya pelajari “plek” persis seperti di pesantren. Memang gaya dan metode mengajarnya beda sekali. Di Harvard nanti, saya akan konsentrasi untuk belajar kalam dan falsafah Islam. September nanti, saya insyalLah akan mengambil empat kelas yang moga-moga menarik semua. Satu kelas wajib tentang filologi teks-teks Arab klasik. Ini adalah pelajaran untuk menjadi editor atau muhaqqiq teks-teks kuno yang masih berupa makhtutah. Kelas kedua tentang al-Jahidz, pengarang yang sejak dulu memang saya sukai. Kedua kelas ini diampu oleh seorang profesor dari Jerman, Wolfhart Heinrich. Kelas ketiga dan keempat adalah tentang Imam Ghazali adn al-Taftazani yang mengarang syarah atas kitabnya Adud al-Din al-Iji, “Al-Mawaqif”. Dua kelas ini akan diampu oleh seorang profesor muda, Khaled al-Rouayheb. Sebetulnya ada kelas kelima yang saya juga tertarik, tapi kalau saya ambil akan berat sekali, sebab akan menanggung lima kelas. Yaitu kelas terbatas untuk membaca Al-Mustasfa-nya Imam Ghazali.
Yang membuat saya gembira bukan main adalah perpustakaan utama Harvard, yaitu Widener Library. Perpustakaan ini memiliki koleksi buku-buku berbahasa Arab yang luar biasa banyak sekali. Pekerjaan saya setiap hari hanya “nonton” kitab-kitab, sambil terbengong-bengong. Yang saya senang adalah kalau menemukan edisi pertama sebuah kitab yang dicetak oleh Penerbit Bulaq di Mesir, misalnya. Misalnya ada kitab terbitan 1800 sekian. Bau kertasnya khas dan enak sekali. Saya “ciumi” terus kertasnya, Abah, he he he…
Tesis saya sendiri adalah soal teori kenabian menurut Imam Ghazali dan seorang filosof Yahudi yang hidup sezaman dengan Ibn Rushd di Andalusia, yaitu Musa bin Maimun atau lebih dikenal dengan nama Latinnya, Maimonides.Ada tiga teks Imam Ghazali yang saya jadikan penelitian, Ma’arij al-Quds, Mi’raj al-Salikin, dan al-Munqiz min al-Dhalal. Sementara itu, teks Maimonides yang saya pakai adalah Dalalt al-Ha’irin. Maimonides menulis buku ini dalam bahasa Arab tetapi memakai aksara Yahudi, dikenal dengan Hebrew-Arabic. Karena dia hidup di lingkungan Islam, sebetulnya pola pembahasannya persis dengan filosof-filosof Islam yang lain.Saya menemukan banyak hal yang menarik dari studi perbandingan ini.
Terakhir Abah, saya mempunyai niatan dalam jangka panjang untuk menerbitkan kembali al-Ibriz tetapi bukan dalam aksara Arab pegon, sebaliknya dengan aksara latin. Saya memandang al-Ibriz adalah karya penting dalam konteks perkembangan sastra Jawa. Ketika para pengamat atau sarjana menulis tentang sejarah sastra Jawa modern, mereka tak pernah tahu ada karya yang dibaca oleh mungkin ratusan ribu orang seperti Al-Ibriz itu. Untuk kebutuhan paper akhir semester ini, saya menulis makalah tentang tafsir al-Ibriz. Prof. Shahab senang sekali.
Sekian kabar-kabari dari Boston. Semoga tidak berkepanjangan dan mengganggu Abah.
Salam ta’zim,
Ulil
(2) Rumor: UAA kontra Jilbab
Fakta: Pernyataan di atas tidak benar.
Saya akan memberikan sedikit ilustrasi mengenai hal ini. Beberapa tahun yang lalu, saya-untuk pertama kalinya– menemani UAA dalam suatu diskusi di Yayasan Paramadina, Pondok Indah. Setelah acara diskusi selesai, seperti biasa, banyak peserta yang ingin bertanya lebih lanjut kepada UAA mengenai materi yang dibicarakan. Saya ingat betul, ketika beberapa perempuan separuh baya mendekati UAA, dia secara spontan memperkenalkan saya kepada mereka, “Ini ienas, istri saya”. Reaksi mereka sungguh di luar dugaan saya, karena mereka menyatakan keheranan melihat istri UAA ternyata berjilbab. “Bukannya mas Ulil nggak setuju jilbab?”, begitu kira-kira pertanyaan mereka waktu itu.
Dari peristiwa itu barulah saya sadari, ternyata banyak yang salah mengerti soal UAA dan jilbab ini. Faktanya, UAA memang sering mengatakan bahwa berjilbab, seperti yang sekarang dikenakan banyak perempuan muda, termasuk saya, adalah tidak wajib. Tentu saja pendapat UAA ini tidak asal bicara, tapi didasarkan pada pengetahuannya yang mendalam tentang Fikih (silahkan baca tulisan saya sebelumnya). Yang wajib adalah menutup aurat, sesuai dengan kepantasan di lingkungan masing-masing, dengan bentuk dan gaya yang bisa berbeda-beda. Contohnya, busana yang dikenakan Ibu-Ibu kita jaman dahulu: kebaya dan kerudung panjang, menurut UAA, sudah memenuhi syarat menutup aurat. Jadi, jika seseorang merasa nyaman dengan berjilbab seperti yang saya kenakan, nggak ada masalah. Yang ditentang keras oleh UAA adalah pemaksaan, terutama oleh negara, seperti yang sekarang ini terjadi di beberapa daerah dengan adanya perda syariat.
(3) UAA tidak menjalankan ibadah seperti shalat, puasa, dll.
Fakta: Pernyataan di atas tidak benar.
Sebenarnya saya merasa “risih” harus menuliskan soal ini, karena saya termasuk yang berpendapat bahwa urusan ibadah adalah urusan ‘private’, urusan pribadi antara manusia dan Tuhannya. Tapi karena banyak yang meminta, saya akan coba.
Kalau ukuran taat beribadah adalah shalat 5 waktu tepat begitu adzan berbunyi, dan selalu berjamaah di masjid atau mushalla, tentu UAA tidak akan masuk hitungan. Tapi begini, saya akan menceritakan sedikit pengalaman pribadi berkaitan dengan kebiasaan menjalankan ibadah sholat ini.
Berpuluh tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku kuliah, ada satu peristiwa yang menarik. Ketika itu, begitu mata kuliah terakhir selesai, saya langsung menuju kantin untuk sekedar mengisi perut. Setelah lumayan kenyang, saya pamit pada teman-teman yang menemani ngobrol untuk menunaikan shalat Dhuhur. Tanpa diduga, ada satu orang teman yang nyeletuk, “Kamu ini gimana sih, anak Kiai kok jam segini belum shalat?” Spontan saya melirik jam tangan, belum juga jam 2. Sebenarnya saya sedikit tersinggung juga, karena saya tahu persis, shalat Dhuhur pada pukul 2 siang itu masih sah, karena waktu Asar sekitar pukul 3 atau lebih pada waktu itu. Tapi saya jawab dengan bercanda, “Yang Kiai kan bapaknya, bukan saya…lagian, masih mending mikirin shalat ketika makan daripada shalat mikirin makanan karena perut lapar..”.
Dari peristiwa kecil ini saya jadi tahu, ada sementara kalang
an yang menganggap shalat itu harus di awal waktu. Tentu, menunaikan shalat di awal waktu memang yang terbaik, tapi bukan berarti shalat di saat adzan sudah lama berlalu tidak dianggap sah, bukan? Patokannya sederhana, asalkan waktu shalat yang berikutnya belum tiba, masih sah menjalankan shalat. Bahkan saya masih ingat, di suatu sesi ngaji kitab Fikih (sayang saya lupa nama kitabnya), disebutkan bahwa misalnya kita baru dapat takbiratul Ihram, tiba-tiba adzan untuk shalat berikutnya berkumandang, shalat yang tadi masih dianggap sah. Berdasarkan pengetahuan itulah, saya pribadi mempunyai pedoman untuk diri sendiri mengenai tenggat waktu menunaikan shalat, yaitu Subuh: begitu bangun di pagi hari, Dhuhur: sebelum jam 2, Asar: sebelum jam 5, Isya: sebelum tidur. Hanya Maghrib yang memang harus dilakukan begitu adzan berbunyi, karena waktunya paling sempit. Ketika saya masih tinggal bersama orangtua, shalat Maghrib berjamaah nyaris wajib hukumnya, karena setelah itu kami mengaji (tadarus Alqur’an) bersama-sama.
Catatan: pedoman yang saya pegang bertahun-tahun itu menjadi “berantakan” alias tidak berlaku lagi ketika saya tinggal di AS–negara empat musim yang waktu shalatnya selalu berubah-ubah. Di musim panas, waktu shalat Dhuhur dan Asar, terasa sangat longgar karena memang siang lebih panjang daripada malam. Sebaliknya, ketika musim dingin tiba, waktu shalat akan menjadi sangat sempit sehingga jarak antara shalat Dhuhur dan Asar sangat dekat.
Ah, kok jadi ngelantur. Kembali ke UAA. Alhamdulillah, sampai sekarang, dia tetap menjalankan shalat 5 waktu, meski kadang dia menjamak (mengumpulkan dua shalat ke dalam satu waktu), khususnya Dhuhur dan Asar. Tentang hujjah atau dalil mengenai hal ini, biarlah UAA sendiri yang akan menerangkannya, karena saya tidak berkompeten. Saya pribadi, hanya melakukan jamak dan qoshor (menyingkat shalat), ketika dalam kondisi musafir alias bepergian. Tapi saya jadi ingat, ketika anak sulung saya masih bayi, Bapak mertua (Allah yarham) sempat berkata: “Nduk…kalau kamu repot ngurus bayi–repot bersihin najis berupa ompol dsb, boleh kok shalat dijamak..”. Tapi terus-terang saran ini tidak saya jalankan, wong waktu itu sudah ada diaper, jadi nggak repot-repot banget mengurus bayi seperti jaman dahulu..
Soal puasa? UAA masih menjalankan puasa wajib di bulan Ramadhan, seperti yang tertuang dalam tulisannya di bawah ini. Tulisan ini pernah diposting di Facebook juga, tapi entah kenapa hilang ketika UAA men-deaktivasi akunnya. Untunglah saya masih menemukannya di gusmus.net. Terima kasih buat Abah dan teman-teman Mata Air sebagai pengelola situs itu.
Cerita Ringan Ulil Abshar Abdalla: Puasa Hari Pertama di Boston
5 September 2009 13:16:06 | Share
PUASA di Boston tahun ini membawa sebuah kejutan yang tak pernah saya duga dan sekaligus sangat mengharukan. Beberapa hari sebelum puasa mulai pada Senin lalu 1/9, saya mengirim undangan buka puasa hari pertama untuk merayakan dimulainya bulan Ramadan. Undangan itu saya kirim ke teman-teman dekat saya yang tinggal di apartemen yang sama.
Saya adalah satu-satunya keluarga Indonesia, dan sekaligus satu-satunya keluarga Muslim di apartemen itu. Selebihnya adalah keluarga Kristen dengan pelbagai denominasinya. Sebagian besar yang tinggal di sana adalah keluarga Amerika, tetapi ada juga satu keluarga Korea dan seorang profesor bujangan asal Zimbabwe.
Suasana kekeluargaan di gedung apartemen saya itu sangat kuat sekali. Secara informal, saya kerap “ngobrol” dengan mereka mengenai isu-isu agama. Karena tahu saya seorang Muslim, mereka tertarik belajar pelbagai aspek tentang ajaran Islam dari saya.
Kurt Walker, seorang Amerika kulit putih yang tinggal persis di samping apartemen saya, tertarik untuk belajar banyak hal mengenai Islam. Dia adalah mahasiswa teologi dan calon pendeta. Beberapa waktu lalu, dia diminta untuk memberikan ceramah dalam sebuah pertemuan tahunan para pendeta di Vermont. Dia diminta untuk berbicara mengenai konsep keadilan dalam Kristen dan Islam. Selama mempersiapkan ceramah itu, dia banyak sekali diskusi dan “ngobrol” dengan saya.
Minat Kurt yang besar pada Islam bermula dari obrolan santai dengan saya. Semester musim semi tahun ini dia mengambil sebuah mata kuliah tentang Islam yang diampu oleh Dr. Fareed Essack, seorang sarjana Muslim yang cukup terkenal dari Afrika Selatan.
Minat Kurt terhadap Islam bukan dilandasi oleh “motif apologetis”, yakni mempelajari agama lain untuk mencari kelemahan-kelemahan di sana dan pada gilirannya melakukan “serangan mematikan” atas agama itu seperti selama ini dilakukan oleh kaum apologetis baik di pihak Kristen atau Islam. Dia seorang Kristen yang sangat saleh, tetapi dia dengan sungguh-sungguh ingin belajar mengenai tradisi agama lain dengan simpati yang jujur.
Pada Kurt, saya menemukan teman dialog yang sangat menyenangkan. Saya belajar banyak hal tentang Kristen, terutama mengenai tradisi kaum Kristen puritan di kawasan negara bagian Massachusetts. Saat ngobrol dengan Kurt, kadang-kadang teman-teman lain yang tinggal di gedung yang sama ikut bergabung.
Saya kirimkan undangan buka puasa hari pertama itu kepada empat teman satu apartemen yang saya anggap paling dekat dengan saya.
Ienas Tsuroiya, isteri saya, dengan penuh semangat menyiapkan masakan untuk buka hari itu. Dia menyiapkan nasi uduk, ayam goreng, kerupuk bawang, sambal terasi, puding, dan sandwich. Makanan yang terakhir ini terpaksi disiapkan oleh isteri saya sebagai semacam “exit plan” kalau-kalau teman-teman bule itu tak menyukai nasi uduk.
HARI pertama bulan puasa kali ini mengejutkan karena beberapa jam menjelang “bedug buka” (tentu di Boston tak ada bedug; tetapi bedug selalu hadir secara “mental” dalam benak saya), Kurt memberi tahu saya bahwa dia ikut puasa hari itu. Ha?!
Saya sungguh terperanjat, sebab saya tak pernah berharap dia bertindak hingga “sejauh” itu. Dia bilang, dia ingin menunjukkan solidaritas pada saya sebagai satu-satunya orang Muslim di gedung apartemen itu. Dia juga ingin merasakan bagaimana “penderitaan” seorang yang sedang berpuasa. “I want to know how it feels like to be a Muslim,” kata dia.
Ada anekdot kecil yang diceritakan oleh Kurt selama dia puasa pada hari itu. Dia mengatakan dengan terus terang kepada keluarganya bahwa hari itu dia ingin menghormati seorang tetangganya yang Muslim (yakni keluarga saya) dan ikut puasa. Dia juga memberi tahu kedua anak kembarnya yang masih berumur 6 tahun tentang apa itu puasa dan apa maknanya bagi seorang Muslim.
Yang lucu, beberapa kali kedua anaknya itu menggoda dia dengan memamerkan makanan-makanan kesukaannya selama dia berpuasa hari itu. Saya tertawa mendengar anekdot itu.
Tahun ini, bulan puasa jatuh di ujung musim panas, sehingga waktu siang lebih panjang ketimbang malam. Waktu Imsak masuk pukul 4:37 am dan Subuh 4:47 am. Sementara itu matahari terbenam pada pukul 7:22 pm. Dengan demikian, total waktu puasa selama satu hari hampir 16 jam, jauh lebih panjang dari waktu puasa di Indonesia.
Dua tahun mendatang, sudah pasti bulan puasa akan jatuh persis di tengah-tengah musim panas, sekitar bulan Juni-Juli. Sebagaimana kita tahu, waktu siang pada musim panas jauh lebih panjang. Pada puncak musim panas, waktu Subuh masuk kira-kira pukul 3:30 am, dan Maghrib nyaris mendekati pukul 8:30 pm. Bisa dibayangkan betapa beratnya melaksanakan ibadah puasa pada musim panas di negeri-negeri empat musim seperti Amerika.
Teman-teman Amerika terheran-heran bagaimana kami bisa menahan makan dan minum sepanjang itu. Saya bilang pada mereka, dengan latihan sejak kecil, puasa menjadi sama sekali tak berat. Setelah menjajal sendiri puasa selama satu hari, Kurt, teman saya itu, menjadi tahu betapa ritual puasa tak mudah dilaksanakan oleh umat Islam, apalagi di tengah-tengah masyarakat yang sebagian besar bukan Muslim seperti Amerika.
KEKHAWATIRAN isteri saya bahwa jangan-jangan orang bule tak menyukai nasi uduk meleset sama sekali. Seluruh masakan yang dihidangkan oleh Ienas, isteri saya, ludes sama sekali. Saat menyantap nasi uduk, anak perempuan Kurt berkata, “Dad, the rice is yummy, I like it.” Tentu isteri saya senang bukan main karena masakannya mendapatkan sambutan positif dari lidah orang bule.
Malam itu, isteri saya menyediakan piring yang khas dan sudah tentu jarang dilihat oleh orang Amerika. Yaitu piring rotan dengan alas daun pisang yang dipotong begitu rupa sehingga berbentuk bundar. Sekedar catatan: daun pisang tidak mudah didapat di kota Boston. Di kampung dulu, ibu saya tinggal mengambilnya dari kebun di belakang rumah. Tetapi di Boston, daun pisang adalah benda berharga.
Makan nasi uduk, ayam bakar, sambal terasi dan kerupuk dengan piring
rotan beralaskan daun pisang — tentu ini pengalaman eksotik bagi orang “bule”. Malam itu kami menyantap makanan sambil duduk melingkar di sekitar api unggun kecil yang disiapkan oleh isteri Kurt. Karena hari cerah, saya sengaja mengadakan buka puasa di ruang terbuka di hamalam rumput yang ada di depan apartemen.
Seraya menyantap makanan kami berdiskusi tentang apa saja, termasuk tentang “filosofi puasa” sebagaimana dipahami oleh umat Islam. Sekitar pukul 10 malam, kami bubaran dan masuk ke apartemen masing-masing.
Saya menonton pertandingan tennis Piala US Open sebentar, lalu membaca “The Prophet and the Messiah: An Arab Christian’s Perpsective on Islam and Christianity” karangan Chawkat Moucarry. Tak berapa lama, saya jatuh tertidur karena kelelahan.
Saya bangun kembali beberapa jam menjelang waktu sahur untuk melaksanakan salat tarawih. Saya memang orang NU, tetapi selama ini saya selalu salat tarawih versi Muhammadiyah, yaitu sebelas raka’at, bukan dua puluh tiga.
Hari itu sangat mengesankan buat saya, terutama karena simpati teman saya yang beragama Kristen itu. Pelajaran yang saya petik dari sana: membangun jalan dialog dengan agama lain sangat mungkin asal kita mau membuka diri dan tidak mengembangkan mentalitas “serba curiga” pada agama lain itu.