Untuk Tanah Lasem

 
 

Tiongkok Mini ini punya kelenteng dengan keindahan dan cerita yang tak dijumpai di tempat lain.

 

Oleh Silvia Galikano

Pecinan Lasem punya tiga kelenteng, yakni Cu An Kiong di Dasun, Gie Yong Bio di Babagan, dan Poo An Bio di Karangturi. Ketiganya berada di antara permukiman penduduk dan bisa dicapai dengan berjalan kaki santai sambil memandangi rumah-rumah cantik bergaya Tionghoa dan Indische di sepanjang jalan.
Maret 2010 lalu, saya datang ke tiga kelenteng yang berada di bawah naungan Yayasan Tempat Ibadat Tri Dharma Tri Murti. Dua pertama saja yang bisa dimasuki. Ketika sampai ke Poo An Bio di Karangturi, kelenteng ini sedang tutup. Hanya bisa masuk ke halaman dan teras, tidak bisa melihat ruang dalam berikut altarnya. Jadi cerita tentang Poo An Bio tak ada di tulisan ini.
Baca juga Lasem dalam Potret Hitam Putih
Di paling utara, Jalan Dasun 19, berdiri Cu An Kiong (atau Ci An Gong) yang berarti Istana Ketenteraman Bunda. Inilah kelenteng terbesar di antara tiga kelenteng Lasem. Arsitekturnya cantik sarat ukir dengan dominasi warna merah, hijau, dan emas.
Atap pelana berujung runcing, ornamen naga sebagai awang-awang di ujung kiri dan kanan. Pintu gerbangnya dilengkapi dua dewa, dua singa, dan dua naga yang mengapit sebutir mestika.
Di pintu samping kelenteng, ada seorang ibu yang sedang duduk di lantai, melipat kertas untuk keperluan ibadah. Ibu ini selalu menjawab “Tidak tahu” setiap kali saya bertanya tentang kelenteng, tapi pandangannya terus mengikuti ke mana pun saya melangkah menelusuri kelenteng. Tak ada orang lain di kelenteng.


 
Akhirnya saya pergi ke ruang administrasi yang bangunannya ada di samping. Di sini ada Ibu Jarum, petugas Tata Usaha Kelenteng Cu An Kiong yang kemudian memberikan keterangan tertulis tentang kelenteng.
Siang itu pagar dalam (kelenteng ini punya dua lapis pagar besi) tertutup. Tak ada yang datang untuk beribadah. Pengunjung hanya saya seorang. Saya masuk melalui pintu samping, di sisi altar utama. Dari sini baru saya berjalan ke depan, ke paseban.
Baca juga Tersenyumlah, Kau Akan Tambah Cantik
Dinding sisi kiri dan kanan paseban berukir burung hong yang menurut kepercayaan Tionghoa adalah lambang ketulusan hati, keadilan, kesetiaan, dan perikemanusiaan. Tiang-tiang kayu hitam di paseban bertuliskan karakter Tionghoa berwarna emas.
 

 
Struktur penyangga atapnya juga kaya ukiran, di antaranya ornamen gajah dan sapi sedang duduk berhadapan di balok melintang. Demikian cantik, bahkan rengnya berwarna merah berseling hijau.
Penghubung paseban dan ruang dalam adalah pintu angin berukir. Separuh bagian atasnya berjerjak, dan separuh bawahnya berlukis macam-macam ornamen simbolis.
Persis di atas pintu utama menuju ruang dalam, melintang papan bertuliskan Tian Shang Sheng Mu (artinya Maharani Langit), nama dewi utama kelenteng ini yang merupakan dewi pelindung bagi pelaut. Nama lainnya adalah Ma Zu atau Mak Co. Itu sebabnya Cu An Kiong lebih kerap disebut Kelenteng Mak Co oleh masyarakat Lasem.

 
Tak ada yang tak indah di sini. Lantainya adalah ubin berpola. Dinding ruang dalamnya berlukis cerita rakyat Tionghoa yang dibagi-bagi dalam kotak panel.
Setiap panel berisi satu adegan. Macam storyboard di industri kreatif perfilman. Cerita itu dilukiskan langsung di dinding. Tinta hitam di atas dinding putih.
Baca juga Tentang Sumur di Depan Rumah
Kepala saya tengadahkan, memperhatikan dua percabangan balok penyangga atap, di kiri dan kanan. Di masing-masing sisi, penyangganya adalah “biksu” .
Dengan tampang memelas, dua biksu ini memikul balok silinder merah yang melintang. Ceritanya, mereka sedang menjalani hukuman karena mencuri kayu ketika sedang membangun kelenteng. Merupakan peringatan bahwa untuk mencapai tujuan baik harus melalui cara yang baik pula.

Joli (tandu) berukir rumit berwarna emas, berdiri anggun di ruang dalam, menunggu saatnya bertugas membawa patung Mak Co berkeliling kota Lasem pada hari-hari besar Tionghoa.
Courtyard (halaman tengah di dalam bangunan) menjadi “batas suci” yang diterapkan kelenteng bagi pengunjung. Karena setelah courtyard adalah altar utama Kelenteng Cu An Kiong tempat bersemayamnya Dewi Mak Co dan Lo Cia. Ada larangan untuk memotret altar utama, hanya boleh melihat dari dekat. Tanpa banyak tanya, saya patuhi aturan yang diucapkan ibu “Tidak tahu” itu yang tetap duduk di lantai.
Baca juga Lasem dan Harmoni Dua Warna
cu an kiong, lasem
Awalnya, klenteng Cu An Kiong berdinding gedhek. (Foto: Silvia Galikano)

Usia peribadatan di Kelenteng Mak Co sama tuanya dengan kedatangan masyarakat Tionghoa ke Lasem, pada awal abad ke-15. Meski demikian belum diketahui berapa persisnya usia bangunan kelenteng yang ada di Desa Dasun itu karena tak ada bukti tertulisnya. Pasalnya orang-orang Tionghoa generasi pertama yang datang ke Lasem umumnya tidak “makan sekolahan”. Sedikit sekali yang tahu tulis menulis.
Cu An Kiong sudah ada di peta yang dibuat Belanda, keluaran tahun 1500, tentang perkembangan Kota Lasem. Dari situlah dibuat perkiraan bahwa Kelenteng Cu An Kiong dibangun sekitar tahun 1450. Jadi usia peribadatan di sini sudah lebih dari setengah milenium. Tak heran jika Cu An Kiong disebut sebagai kelenteng tertua di Pulau Jawa yang memuja Dewi Ma Zu.
Baca juga Siapakah orang China?
Awalnya, kelenteng ini berdinding gedhek dan beratap rumbia. Setelah kehidupan mulai mapan dan ekonomi berkembang, kelenteng dipugar. Didatangkan para ahli ukir dari Guangdong Tiongkok, seperti Tee Ling Sing dan Tiang Sun Khing. Para ahli ukir ini kemudian banyak bermukim di Kudus, mengajarkan keterampilan mengukir ke penduduk setempat. Nama-nama kampung, seperti Sunggingan dan Kyai Telingsing di Kudus, tak lain diambil dari nama empu ukir Tee Ling Sing dan Tiang Sun Khing.
 
gie yong kongco, babagan, lasem
Kelenteng Gie Yong Kongco di Babagan, Lasem. (Foto: Silvia Galikano)

Berjalan ke arah selatan, di simpang Jalan Raya Lasem dan Jalan Babagan, berdiri Kelenteng Gie Yong Kongco (berarti Kakek nan Gagah Perkasa) atau Gie Yong Bio. Masyarakat Lasem menyebutnya Kelenteng Babagan, sesuai lokasi berdirinya. Ukurannya tak sebesar Kelenteng Mak Co.
Lukisan dinding juga dijumpai di sini, di dua sisi dinding. Ada pula lukisan timbul dua ekor macan yang catnya sudah pudar di sana-sini. Dewa utama kelenteng ini adalah Hok Tik Tjeng Sien (Dewa Bumi). Uniknya, walau dewa utama, letaknya bukan di altar utama kelenteng, melainkan di altar samping kiri. Altar utamanya diisi kimsin (patung dewa) Oei Ing Kiat (Raden Ngabehi Widyadiningrat) dan Tan Pan Tjiang. Untuk merekalah kelenteng ini didirikan.
“Memang yang di kiri itu dewanya. Kalau berdoa ya di kiri situ,” kata Tintin, penjaga kelenteng. Gadis berusia 20-an ini ramah, namun informasi yang dia beri hanya satu dua kata, itu pun selalu ditutup dengan cengiran malu-malu, seperti tidak yakin dengan yang baru diucapkan.

 
Saya berjalan ke samping, keluar dari bangunan utama. Di sini ada ruang yang unik, diperuntukkan bagi kimsin Raden Panji Margono. Margono tidak dipasangi pakaian kebesaran Tionghoa, melainkan beskap, kain batik, dan blangkon. Baju khas Jawa.
Di hadapannya ada hio lo (tempat menancapkan hio) berikut satu batang hio tertancap. Walau Margono orang Jawa, setiap perayaan hari besar, kimsin Margono juga disembahyangi bersama kimsin yang lain.
Baca juga Politik, Konsumerisme, dan Sincia yang Berubah
Keberadaan Margono memang tidak dapat dilepaskan dari Oei Ing Kiat dan Tan Pan Tjiang. Mereka memimpin laskar Tionghoa di Pantai Timur sepanjang 1742 – 1750 melawan VOC. Margono adalah Adipati Lasem pada tahun 1714 – 1727. Dia gugur di Karangpace, Narukan, Lasem Barat pada tahun 1750.
Kedudukan Margono sebagai adipati digantikan Widyadiningrat (tahun 1727 – 1743) yang kemudian menjadi Mayor Lasem (1743 – 1750). Orang ketiga, Tan Kee Wie, adalah pengusaha Lasem sekaligus pendekar kungfu. Dia gugur di selat antara Pulau Mandalika dan Ujungwatu, Jepara, setelah perahunya ditembak meriam VOC dalam perjalanan hendak menyerang VOC pada tahun 1742.

 
Akibat pemberontakan ini ribuan warga pribumi dan Tionghoa Lasem terbunuh. Peristiwa ini berkait dengan rangkaian pemberontakan Tionghoa terhadap Belanda di kota-kota di Jawa (termasuk Batavia pada 1740) yang dibalas dengan pembantaian para Tionghoa oleh Belanda.
Setelah Kota Lasem tenang, masyarakat Tionghoa mendirikan kelenteng kecil di Desa Babagan, pada tahun 1780. Kelenteng yang menghadap timur itu dimaksudkan sebagai monumen untuk mengenang jasa tiga pahlawan Lasem. Abang Tan Pan Tjiang, bernama Tan Kee Wie, yang ahli ukir lantas membuatkan kimsin Tan Pan Tjiang dan Oei Ing Kiat untuk dipasang di kelenteng Gie Yong Bio.
Pada tahun 1915, kelenteng kecil itu dipugar, arah hadapnya diubah jadi menghadap utara, dan tampilannya jadi seperti yang dapat dilihat sekarang di Desa Babagan Lasem. Masyarakat Tionghoa di Rembang dan Juwana juga memuliakan tiga pahlawan itu dengan memasang kimsin mereka di kelenteng setempat.

***
Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 30 Mei 2010


 
 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.