Hentikan Tragedi Nol Buku

Oleh Silvia Galikano

Kamis (9/12) lalu, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, penyair Taufiq Ismail menerima Penghargaan Akademi Jakarta 2010. Dia penerima ke-13 penghargaan ini. Rendra adalah seniman pertama yang mendapat Penghargaan Akademi Jakarta, pada 1975.

Sepanjang 1966 hingga 2010, Taufiq (namanya kerap ditulis salah, Taufik) telah menulis dan mengedit 25 judul buku. Dia tokoh utama kegiatan Gerakan Membawa Sastra ke Sekolah yang dimotori majalah sastra Horison, sejak 1996. Gerakan ini didasarkan pada cara pandang baru mengajarkan sastra dengan mengutamakan pendidikan karakter dan menyemaikan akhlak mulia pada batin siswa.

Hadiah dari Akademi Jakarta ini, ujar Taufiq, akan digunakan untuk menunjang kegiatan pendidikan sastra di Rumah Puisi, Nagari Aie Angek, Padangpanjang, yang mulai berfungsi pada Desember 2008. Dalam acara penganugerahan itu, dia membacakan pidato berjudul Merindukan Anak Bangsa yang Membaca Buku dan Terus Berlatih Menulis: Mengejar Ketertinggalan 60 Tahun Lamanya.

Taufiq sekolah berpindah-pindah. Sekolah Rakjat (SD) di Solo, Semarang, Salatiga, Yogyakarta. SMP di Bukittinggi. SMA di Bogor, Pekalongan, dan Whitefish Bay, Wisconsin, Amerika Serikat. Ayahnya wartawan di harian Sinar Baroe (belakangan jadi Suara Merdeka), Semarang. Orangtuanya suka membaca. Ayahnya punya lemari buku berukuran besar. Sekali sebulan dia dibawa ayahnya ke toko buku di Pasar Johar untuk membeli dua buku anak-anak.

Buku orang dewasa yang pertama dia baca adalah Tak Putus Dirundung Malang, karya St.Takdir Alisjahbana. “Sembunyi-sembunyi, sebagai murid kelas 3 SR.”

Taufiq bersekolah SMP Negeri 1 Bukittinggi dan SMA Negeri Pekalongan, yang keduanya tidak punya perpustakaan. Dia kemudian jadi anggota Perpustakaan Kota di dua kota itu yang lokasinya dekat sekolah.

Di Pekalongan, Djawatan Pendidikan Masjarakat memberikan kepercayaan kepada beberapa LSM untuk masing-masing mengelola sebuah perpustakaan kecil. Kepada Peladjar Islam Indonesia (PII) diserahkan 300-an judul buku. PII meletakkan buku-buku itu di beranda rumah orangtuanya yang luas di Jalan Kejaksan 52.

taman situ lembang, menteng jakarta
Membaca buku di Taman Situ Lembang, Menteng, Jakarta. (Foto: Silvia Galikano, 2008)

Dia dan rekannya mengelola perpustakaan yang dibuka tiap Ahad, dari pagi sampai petang. Buku favoritnya adalah petualangan Winnetou karangan Karl May, buku puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, novel Hamka, dan Takdir Alisjahbana. “Puisi Dunia, terjemahan Taslim Ali, 2 jilid, sangat saya sukai. Berkali-kali tamat saya baca, sampai lusuh kulit luarnya.”

Bukan hanya buku sastra yang dibaca. Taufiq juga membaca buku tentang tuntunan bertanam anggrek yang ditulis Sutan Sanif, juga prosedur mengecor beton bertulang, ditulis Prof. Rooseno. Buku teks mahasiswa fakultas teknik itu dia bawa-bawa ke sekolah, dilagak-lagakkan kepada teman-teman.

“Mereka heran. ‘Kau baca buku itu?’ ‘Ya.’ ‘Tamat?’ ‘Ya.’ ‘Apa isinya?’ ‘Nggak ngerti.’ Mereka pun batal, tak jadi kagum,” Taufiq bercerita.

Selain membaca, Taufiq dan teman-temannya yang gemar membaca ini terdorong juga untuk menulis, berlomba-lomba mereka mengirim cerpen atau puisi ke majalah Mimbar Indonesia dan Kisah.

“Kami menulis karena dirangsang bacaan. Buku dan majalah memberi stimulasi besar untuk mengarang. Buku yang kami baca tidak dari perpustakaan sekolah. Karangan yang kami tulis bukan karena dibimbing guru mengarang di kelas bahasa. Guru Bahasa Indonesia saya di SMA Pekalongan lebih mengajarkan tata bahasa, dan tak ada perhatian pada pelajaran mengarang.”

Pada 1956, Taufiq mendapat beasiswa American Field Service International Scholarship (AFSIS) untuk bersekolah setahun di SMA di Amerika Serikat. Dia tinggal di kota kecil Whitefish Bay, Milwaukee, di keluarga Werrbach. Ayah angkatnya Daddy Archie (keturunan Swiss), dan ibunya Mama Helen (keturunan Irlandia). Mama Helen punya julukan Heino, suka membaca buku dan cinta puisi.

Di sinilah Taufiq terkejut melihat perpustakaan sekolah yang jumlah bukunya lebih dari 100.000 judul, ruangannya luas dan asri, pengunjungnya banyak dan sibuk tapi tidak berisik. Buku yang wajib dibaca di kelas sastra, disediakan semua di perpustakaan sekolah. Kewajiban membaca dan menulis seperti tak habis-habis. Bukan hanya untuk pelajaran bahasa dan sastra, juga yang lain, seperti kelas sejarah.

Guru sastranya, Bu Guru Clara Czarkowski memberi banyak tugas membaca buku, membimbing diskusi buku, dan tugas mengarang. Tata bahasa tidak diajarkan, melainkan dicek dalam karangan. Taufiq menekankan benar kalimat terakhir itu. Diskusi novel di kelas makin menarik karena filmnya ditayangkan pula, seperti The Old Mand and the Sea karya Hemingway dan Moby Dick karya Melville.

“Sastra diajarkan secara sangat memikat. Kecintaan saya pada sastra makin menjadi-jadi. Saya mabuk sastra. Saya bertekad ingin jadi sastrawan. Mungkin novelis, mungkin penyair, belum tahu lagi.”

Belakangan, 25-30 tahun kemudian, berlangsung macam-macam diskusi dalam lingkungan majalah Horison dan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Memetik pengalamannya saat bersekolah di AS, Taufiq menyusun peta persoalan seputar sastra Indonesia, yaitu merosotnya wajib baca buku sastra serta bimbingan mengarang dan pengajaran sastra di sekolah.

Maka antara Juli-Oktober 1997, Taufiq melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA di 13 negara, antara lain Thailand, Malaysia, Singapura, Rusia, Swiss, Belanda, Prancis, AS, dan Indonesia. Hasilnya antara lain siswa di Malaysia diwajibkan membaca 6 judul buku sepanjang masa SMA, siswa di Jepang 15 judul buku, di Rusia 12 judul, Belanda 30 judul , AS 32 judul, dan Indonesia 0 (nol) judul.

“Angka nol ini masih berlaku sampai tahun 2010, sudah 60 tahun lamanya.”

Dia juga membandingkan kewajiban membaca buku di masa Hindia Belanda, yakni 25 judul dalam masa tiga tahun. Siswa Algemene Middlebare School (AMS) juga diwajibkan menulis satu karangan dalam sepekan, dengan panjang 1-2 halaman. Jumlahnya 18 karangan selama satu semester, 36 karangan setahun, 108 karangan dalam tiga tahun.

Hasil observasinya pada beberapa SMA, kewajiban mengarang hanya 3-5 kali setahun, “Bahkan ada yang hanya sekali setahun, ketika naik kelas. Mirip shalat Idul Fitri.” Jadi dalam tiga tahun, paling banyak 15 karangan. Taufiq sebut ini sebagai tragedi nol buku.

Tragedi nol buku dimulai pada awal 1950. Ketika kedaulatan Indonesia diakui dunia, ketika seluruh aparat pemerintah sudah sepenuhnya di tangan kita sendiri. Sebagai bekas negara jajahan, Indonesia mesti mengejar ketertinggalan, membangun infrastruktur fisik. Maka yang diunggulkan adalah jurusan eksakta, ekonomi, dan hukum. SMA jurusan bahasa dan sastra ke pinggir. SMA jurusan ilmu pasti, alam, serta SMA jurusan ekonomi ke tengah.

“Celakanya, wajib baca 25 buku sastra dan bimbingan menulis 108 karangan di SMA digunting habis karena dipandang menghabiskan waktu dan tidak perlu. Ini kesalahan peradaban luar biasa besar, kerugian tak terkira-kira.”

Mutu tugas membaca buku dan menulis karangan di AMS Hindia Belanda dulu itu, ujarnya, sama dengan mutu tugas membaca buku dan menulis karangan di SMA Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat hari ini.

“Mutu sehebat itu digunting karena sikap meremehkan yang sangat keliru terhadap pembentukan literasi pada anak didik, sikap meremehkan yang sesat terhadap bimbingan kemampuan menulis pada anak didik, dan sikap meremehkan yang patologis terhadap apresiasi karya sastra.”

Untuk mengejar ketertinggalan 60 tahun itu, Taufiq menyarankan agar pengajaran tata bahasa cukup di SD dan SMP. Wajibkan siswa SD membaca enam buku, siswa SMP sembilan buku, siswa SMA 15 buku, dan semua buku disediakan di perpustakaan sekolah. Itulah jalan tol peradaban dunia.

“Jangan biarkan anak bangsa kita ikut menjadi generasi nol buku yang rabun membaca, pincang mengarang. Jangan biarkan mereka mengikuti generasi 6 dasawarsa yang tak suka membaca buku, yang tak mampu memindahkan ide di kepala menjadi bentuk tertulis.”

***
Dimuat di Jurnal Nasional, Selasa 14 November 2010

Biodata
Nama:Taufiq Ismail
Tempat, tanggal lahir: Bukittinggi, 25 Juni 1935
Pendidikan:
SR di Solo, Semarang, Salatiga, dan Yogya
SMP di Bukittinggi
SMA di Bogor, Pekalongan, dan Whitefish Bay.
Fakultas Kedokteran Hewan & Peternakan, Universitas Indonesia, Bogor, tamat 1963.
University of Iowa, AS
University in Cairo, Mesir.
Istri: Esiyati Yatim
Anak: Bram Ismail
Karya:
• Bersama Mochtar Lubis, P.K.Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan majalah sastra Horison (1966), satu-satunya majalah sastra di Indonesia.
• Menulis 25 judul (1966-2010), antara lain kumpulan puisi Tirani & Benteng (1966) dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998).
• Banyak puisinya yang dinyanyikan sejak 1974, oleh Bimbo, Chrisye, Ian Antono, Ahmad Albar, dan Armand Maulana.
• Menerima delapan penghargaan sebagai sastrawan, antara lain dua gelar Doktor Honoris Causa dalam sastra dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003) dan Universitas Indonesia (2009)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.