Naung Awan Kinabalu

Punggung gunungnya punya cerita.
Oleh: Silvia Galikano
Sejak ada penerbangan (murah) langsung dari Jakarta ke Kotakinabalu, semakin sering terdengar nama kota ini disebut-sebut sebagai tujuan berlibur. Sebelumnya, datang ke Kotakinabalu tak lain tujuannya mendaki Gunung Kinabalu.
Untuk memudahkan lidah bule, Kotakinabalu kerap disingkat dengan KK saja, seperti halnya KL untuk Kualalumpur. Kotakinabalu adalah ibukota Negara Bagian Sabah, Malaysia Timur, yang berada di Kalimantan.
Kotanya bersih, punya pantai, punya pula gunung. Pusat kotanya berada di tepi laut, trotoar lapang, lalu lintas sepi (jika dibanding Jakarta), angkutan umum nyaman. Bahasa Melayu jadi bahasa sehari-hari.
November 2010 saya ke kota ini, menginap di Jalan Gaya, kawasan hotel murah yang biasa diinapi backpackers berduit cekak. Bed and breakfast sebutannya, karena selain kamar, tersedia juga sarapan sangat ringan, yakni setangkap roti dan teh/kopi.

Riwayat kota ini dimulai pada akhir 1800-an ketika British North Borneo Company (Company) – VOC-nya Inggris – mulai mendirikan koloni di Kalimantan Utara (Sabah). Pada 1882, Company membangun permukiman kecil di Teluk Gaya yang kala itu sudah dihuni suku Bajau, yakni suku laut yang moyangnya berasal dari Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini banyak tersebar di pesisir Sabah dan Indonesia.
Permukiman pertama adalah di Pulau Gaya, di seberang Kotakinabalu sekarang. Permukiman pertama ini dibakar dan dirusak oleh pejuang kemerdekaan adat Bajau yang dipimpin Mat Salleh pada 1897.
Setelah pemberontakan itu Company memutuskan untuk memindahkan permukiman ke lokasi yang lebih mudah dipertahankan, yakni ke daratan. Desa nelayan bernama Api-api yang dipilih. Lokasi baru ini dirancang sebagai pelabuhan besar, pelabuhan nelayan, dan stasiun kereta uap North Borneo Railway.
Api-api diperluas, namanya diubah jadi Jesselton, mengambil nama Wakil Ketua Company Sir Charles Jessel.
Jesselton kemudian jadi pos perdagangan besar di Kalimantan Utara, yang mendagangkan karet, rotan, madu, dan lilin. Dari pelabuhan Jesselton, barang-barang dagangan diangkut kereta ke kota-kota lain.

Pada awal Perang Dunia II, Jesselton pernah diratakan dengan tanah oleh Inggris agar tidak jatuh ke tangan Jepang. Namun Jepang berhasil menguasai Kalimantan, dan Jesselton dikembalikan lagi namanya ke Api-api.
Pada akhir masa Perang Dunia II, sisa-sisa kota dihancurkan Sekutu dalam Kampanye Borneo pada 1945, yakni kampanye terakhir Sekutu di Pasifik barat laut selama PD II. Perang di Kalimantan Utara berakhir dengan menyerahnya Letnan Jenderal Baba Masao dari Angkatan Darat ke-37 Jepang di Labuan pada 10 September 1945.
Setelah perang, Company datang lagi untuk mengelola Jesselton namun tidak mampu mengongkosi rekonstruksi yang butuh banyak biaya. Mereka menyerahkan kekuasaan Borneo Utara ke Kerajaan Inggris pada 1946.
Pemerintah kolonial membangun lagi Jesselton sebagai ibukota Borneo Utara.
Borneo Utara berikut Sarawak, Singapura, dan Federasi Malaya membentuk Federasi Malaysia pada 1963. Jesselton diberi nama baru Kotakinabalu pada 30 September 1968 dan secara resmi mendapat status kota dari pemerintah Malaysia pada 2 Februari 2000.

Pagi itu saya duduk di samping meja resepsionis, menunggu kedatangan pemandu ke Kundasang War Memorial di Bukit Kundasang. Sheilla, sang pemilik hotel, duduk di samping saya. Dia perempuan Melayu berusia 30-an dan selalu berbaju kurung tanpa kerudung.
Sheilla yang belum pernah ke Indonesia itu banyak bertanya tentang Indonesia. Tentang kasus Ariel yang saat itu baru mulai sidang. “Harus berapa kali Ariel dirajam?” Dia tidak tahu, hukum rajam tidak berlaku di Bandung, tempat Ariel disidang.
Indonesia yang ketika itu baru didera tiga bencana alam besar—banjir bandang di Wasior, tsunami di Mentawai, dan Merapi meletus—mengundang pertanyaan Sheilla. “Mohon maaf sebelumnya, mengapa Indonesia dilanda bencana terus menerus?” Sayang saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan ini.
Setelah satu jam menunggu, datanglah sang pemandu. Dia mengendarai sedan tua abu-abu. “No aircond,” katanya sambil membukakan pintu mobil untuk saya. Tak masalah sama sekali buat saya yang tiap hari pergi-pulang menggunakan angkot Bekasi-Jakarta-Bekasi.
Ketika mobil mulai berjalan, perempuan berbadan gempal ini bilang, “I’m gone.” Saya melihat ke luar mobil, memperhatikan bangunan di tepi jalan, mengira dia sedang bicara sendiri. “I’m gone,” ulangnya. Saya tengok dia. “I’m Gon, and you?” Oalaahh, “I’m Silvia,” tanpa bisa menyembunyikan tawa geli karena tak mengira itu namanya.
Gon nama panggilannya. Nama benarnya Norzumaayati Goloi Chua. Berdarah Melayu dan Tionghoa. Tinggal di Kota Belud. Selain pemandu wisata, dia juga instruktur selam bersertifikat. Mimpinya bisa menyelam di Tulamben dan Bunaken. Dia belum pernah menyelam di Indonesia.
Perjalanan berkelok-kelok menanjak. Kalau di sebelah kanan punggung gunung, maka di kiri jurang. “Kalau kamu urang puteh, saya akan tunjukkan ‘itu pohon pisang’,” kata Gone menunjuk pohon pisang di tepi jalan. Urang puteh maksudnya bule.
Kira-kira tiap 2 kilometer terjumpai plang penunjuk arah ke gereja. Gone bercerita, penduduk asli, misalnya suku Kadazan, umumnya beragama Kristen, pengaruh pendudukan Inggris dahulu. “Orang Melayu tidak ada yang Kristen.” Penduduk asli itulah yang jadi jemaat mayoritas gereja-gereja itu.
Beberapa kali kami melewati gubuk di tepi jalan dengan plang bertuliskan “Sinalau Bakas”. Rupanya di gubuk itu dijual babi hutan bakar. Suku asli yang mendagangkannya.
Kami berhenti di Pekan Nabalu untuk makan siang. Selain tempat makan dan menjual souvenir, Pekan Nabalu juga punya spot untuk melihat Gunung Kinabalu. Dibangun dangau-dangau di bibir jurang agar lepas pemandangan ke arah gunung. Siang itu Gunung Kinabalu tertutup awan.
Perjalanan dilanjutkan, cerita Gon bertambah. Kali ini dia terangkan tentang banyaknya orang dari Filipina selatan yang didatangkan ke Sabah. Umumnya mereka muslim.
Berbeda dengan negara-negara bagian lain di Malaysia yang rajanya turun temurun, pemerintahan Sabah berdasarkan pemilihan yang diadakan tiap lima tahun.
“Orang-orang Filipina itu didatangkan pemerintah agar pemerintah mendapat suara saat pemilihan raya (pemilu). Kalau pendatang dari Indonesia atau Pakistan mendapat kartu identitas merah, yakni kartu identitas untuk pendatang, orang Filipina mendapat kartu identitas biru yang hanya untuk penduduk,” kata Gon.
Keberadaan orang Filipina semakin meresahkan karena terus berdatangan, bahkan mendominasi jumlah pendatang di Sabah sekitar 60 persen. Perbandingan pendatang asal Indonesia dan asal Filipina adalah 1:10. Tenaga kerja asal Indonesia umumnya bekerja di bidang perkebunan, sedangkan pendatang asal Filipina bekerja di lapangan konstruksi.
“Di Sabah tidak ada masalah antara orang Melayu dan orang Tionghoa seperti di Semenanjung. Ketegangan di sini justru antara orang Melayu dan orang Filipina akibat perlakuan tidak adil Kerajaan.”
Setelah dua jam perjalanan menanjak ke arah timur, sampai kami di Kundasang War Memorial, taman peringatan korban Perang Dunia II yang berada di Ranau, desa terakhir sebelum Gunung Kinabalu. Di luar taman peringatan berjajar lapak penjual sayur-sayuran segar. Setiap akhir pekan digelar pasar. Saya tiba di sana sekitar pukul 13.00, pasar sudah bubar. Hanya beberapa pedagang ikan asin dan pedagang baju yang belum menutup lapaknya.
Taman peringatan ini dibangun pada akhir 1950-an oleh masyarakat Sabah dan para ekspatriat lokal untuk memperingati tentara yang gugur saat Perang Dunia II.
Inilah taman peringatan bagi 1.800 tentara Australia dan 641 tentara Inggris yang tewas di kamp perang Kota Sandakan di Sabah, diperjalanan paksa dari Sandakan ke Kota Ranau (1944-1945), dan bagi warga Sabah yang tewas saat berusaha membantu tentara.

Pada Juli 1942, Jepang memenjarakan tawanan perangnya, yakni tentara Australia dan Inggris, di Sandakan. Mereka tawanan perang pertama yang tiba dari Singapura untuk membangun landasan terbang militer Jepang.
Pada pertengahan 1943, lebih dari 1.800 tawanan asal Australia dan 750 tawanan asal Inggris jadi pekerja paksa di tahanan ini. Kehidupan yang keras, kondisi tempat kerja yang buruk di kamp tahanan, tentara Jepang dan penjaga asal Formosa yang bersikap kejam mengakibatkan banyak tawanan yang tewas sepanjang 1943 – 1944.
Tak sedikit masyarakat setempat yang berusaha menolong tanpa menghiraukan ancaman hukuman mati yang dikeluarkan Jepang.
Pada 1945, Jepang mulai khawatir Sekutu akan menyerang Kalimantan Timur. Sebagai langkah pencegahan, 1.066 tawanan dipindahkan ke Ranau, 265 km ke arah barat (sejarak Jakarta-Brebes), dalam rangkaian perjalanan maut menembus hutan perawan Kalimantan. Perjalanan ini dikenal dengan sebutan Death Marches (Perjalanan Maut). Sejumlah 290 tawanan yang dirawat di rumah sakit Sandakan tidak dibawa, dan mereka semua akhirnya meninggal.

Lebih dari 1.000 tawanan gugur dalam perjalanan maut dan di kamp tahanan Ranau. Enam tawanan asal Australia dalam kondisi kelaparan dan kurus kering berhasil melarikan diri. Dari 2.500 tawanan perang di Sandakan, hanya enam inilah yang bisa pulang. Dari mereka kisah perjalanan maut ini bisa diketahui dunia.
Lokasi taman peringatan sengaja dipilih di sini, di bawah bayangan Gunung Kinabalu, lokasi dikuburnya sebagian besar tawanan. Berdasar kebiasaan setempat, awan yang menyelimuti pegunungan jadi tempat istirahat roh yang telah berpulang.
Kundasang War Memorial punya tiga teras,menyimbolkan tiga negara yang terlibat dalam perjuangan, yakni Inggris, Australia, dan Kalimantan Utara (Sabah). Ada taman di tiap teras dengan tema masing-masing negara. Pakis-pakisan dan rumput di Australia Garden, aneka mawar di English Garden, dan anggrek hutan di Borneo Garden.
Di bagian utama membujur kolam persegi panjang berpagar pilar di dua sisi. Pilar-pilar itu jadi penyangga atap pergola di satu sisi. Sisi satunya adalah dinding tempat diabadikannya nama pahlawan yang gugur dalam Death Marches.

Satu yang menarik perhatian saya karena tulisannya tidak sesingkat yang lain. Nama: Webber, SA; Pasukan: B; Asal: NSW (New South Wales, Australia); Nomor tahanan: 1386; Usia: 28; Tanggal gugur: 18/06/45; Lokasi gugur: Melarikan diri/ditembak/jatuh ke Sungai M’rin. Padahal lokasi gugur tentara lain cukup ditulis San (Sandakan) atau Ran (Ranau).
Halaman belakang Kundasang War Memorial tak ada taman atau tugu. Hanya tembok setinggi lutut membentuk setengah lingkaran dan beberapa pilar. Di sini pandangan bisa lepas ke arah Gunung Kinabalu. Tampak juga aktivitas memangkas bukit. Gon bilang, setelah bukit diratakan, di sana akan dibangun hotel bintang lima. Merusak pemandangan!
Kami keluar dari Kundasang War Memorial. Di luar gerbang, ada bangunan sederhana dari bambu. Di sana ditempel foto, artikel media, peta, brosur, dan penghargaan yang berhubungan dengan peristiwa Death Marches. Ada foto tentara yang gugur berikut sedikit cerita hidupnya, foto taman peringatan sebelum direstorasi dan terbengkalai bertahun-tahun, serta ada peta yang menunjukkan jalur perjalanan para tawanan perang. Di peta itu ada tulisan tangan tebal-tebal “265 km slow walk through hell!”
***
Dimuat di Jurnal Nasional, Minggu 10 Juli 2011