Bukan Jelajah Biasa

bukan jelajah biasa, silvia galikano

Pengantar oleh Bubin Lantang

Saya dan Silvia memiliki sejumlah kesamaan. Usia kami sama. Kami sama-sama beroleh gaji dari profesi kami sebagai wartawan–dan karenanya kami sama-sama terbiasa bergelut dengan urusan tulis-menulis. Satu kesamaan paling mendasar adalah kami sama-sama menyukai pergi.

Namun, saya dan Evi, begitu teman-teman dekat biasa memanggil Silvia, juga punya beberapa perbedaan. Evi menyukai hal-hal berbau sejarah, saya tidak. Konsep pergi bagi Evi adalah sebuah perjalanan yang, sampai pada suatu titik, memerlukan pulang sebagai penyeimbang; sedangkan bagi saya pergi selalu minus pulang, karena pulang (kalaupun perlu saya lakukan) adalah juga sebuah pergi yang lain. Itu sebabnya Evi selalu kembali ke titik asal, sedangkan saya sangat jarang. Satu perbedaan paling mendasar lainnya adalah Evi termasuk orang yang tertib, disiplin, cerdas, dan tulus berbagi; sedangkan saya tidak.

Pergi ke mana pun keluar Jakarta, profesi wartawan membuat Evi tidak bisa membiarkan dirinya utuh-utuh berperan sebagai hanya wisatawan, sekalipun pergi yang dilakukannya secara sadar dia maksudkan sebagai berlibur dengan menggunakan uang pribadinya. Profesi, dan terlebih naluri, Evi sebagai wartawan itulah yang membuat teman-temannya dan semua orang bisa menikmati “laporan” Evi setiap dia kembali ke Jakarta dari pergi-perginya.

Dengan selalu kembali ke titik asalnya, yang untuk belasan tahun ini adalah Jakarta, serta dengan kedisiplinan dan ketulusan untuk berbagi, bertahun-tahun secara telaten Evi meng-up load kisah dan foto-foto “oleh-oleh” dari perjalanannya di blog-nya yang dia beri nama “Impian Memeluk Cakrawala”. Semua pengunjung blognya bisa secara gratis memperoleh informasi dan referensi mengenai beragam tempat, suku, kebudayaan, dan kisah petualangan dari sudut pandang seorang jurnalis perempuan yang independen.

Dari kisah-kisahnya pergi ke sudut-sudut Nusantara, kini giliran sebuah buku yang dipilih Evi sebagai media berbagi. Kewartawanan Evilah yang membuat catatan perjalanan berbentuk buku yang ada di tangan Anda ini berbeda dengan buku-buku sejenis yang ada.

Profesi wartawan yang menyatu dengan tiap napas dan aliran darah Evi membuat laporan yang ditulisnya, baik dia sengaja maupun tidak, menjadi tulisan yang menyerupai feature di koran atau majalah. Wartawan selalu harus menulis sesuatu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain yang membaca tulisan tersebut tidak dengan cuma-cuma (dalam arti ada materi dan/atau waktu yang harus dikorbankan untuk mendapatkan tulisan tersebut). Evi sudah belasan tahun terlatih dan paham menulis dengan cara ini.

Hasilnya, buku yang Anda pegang ini berbeda sekali dengan buku-buku sejenis yang pernah Anda jumpai atau baca. Anda akan dapati, membaca buku ini tidak seperti membaca diary yang ditulis oleh seseorang untuk dirinya sendiri.

Pada buku ini Anda tidak akan mendapati kisah perjalanan dan cerita yang hanya bisa dimengerti oleh si penulisnya sendiri. Juga pada buku ini Anda tidak akan mendapati kisah sejarah yang membosankan, yang sudah lebih dari cukup Anda dapati di bangku sekolah.

Pada buku ini, Evi menyodorkan kepada Anda reportasenya yang dia ramu dari investigasi, pandangan mata, keterlibatan langsung, wawancara dengan narasumber yang terlibat dalam sebuah situasi, serta riset mendalam. Tiap halaman akan mengajak Anda untuk beranjak ke halaman berikutnya, ke halaman berikutnya lagi, dan tanpa terasa Anda akan sudah sampai di halaman terakhir.

Dengan gaya penulisan yang ringan dan cair, Evi membawa Anda langsung hadir di lokasi dan pada situasi yang dia alami, sedikit pun tanpa kesan sok tahu, terlebih kesan tidak tahu apa-apa. Komposisi dan pilihan kalimat-kalimat Evi pas dan lugas mengajak Anda berdekatan dengan komodo yang buas, menghayati romantika sendu Ni Pollok di Bali, menyaksikan kisah mistis di Pringgondani, mencari tahu latar belakang sebuah salon tua di Cirebon yang telah banyak membuat orang tampak awet muda, dilanda penasaran tentang sebuah sumur yang aneh di Lasem, bercumbu dengan bulu babi yang beracun di Kangean, menyusuri jejak Jenderal Soedirman di Pacitan, hingga bertualang ke sejumlah kota di Vietnam dan mendapati langkanya petugas polisi di sana.

Lewat buku catatan perjalanan ini Silvia Galikano, yang selalu kembali ke titik asalnya dan penuh disiplin, ingin kembali berbagi dengan Anda, tanpa maksud dan niat berbangga-bangga bahwa dia sudah mengunjungi tempat ini dan itu. Yang dia sodorkan di sini adalah reportase, bukan diary atau catatan harian yang hanya dimengerti oleh si penulis sendiri.

Selamat bertualang tanpa harus meninggalkan tempat Anda!

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.