Khajuraho, The Land of Kamasutra

Oleh Silvia Galikano

Jika ke India, wisatawan asal Indonesia umumnya ke tiga kota ini: Delhi, Agra, dan Jaipur yang dijuluki the golden triangle karena jika ditengok di peta, lokasinya memang membentuk segitiga.

Khajuraho di Negara Bagian Madhya Pradesh tidak dilirik. Padahal jaraknya 654 kilometer dari Delhi (sebagai pembanding, jarak Jakarta-Surabaya 674 km) dan ada penerbangan langsung dari Delhi ke Khajuraho.

Sedemikian tidak dikenalnyakah Khajuraho oleh wisatawan Indonesia? Bisa jadi. Padahal mereka tahu, setidaknya demikian asumsi saya, apa itu kamasutra. Padahal lagi, di Khajuraho-lah candi-candi yang memuat relief ilmu bercinta itu berasal.

Khajuraho ini kota kecil, 20 km persegi, dengan jumlah penduduk hampir 40 ribu jiwa. Jalanannya berukuran sempit, pas untuk sepeda motor dan sepeda. Jalan berukuran lebar hanya di jalan antarkota. Bandaranya juga seperti bandara di kota-kota kecil Indonesia.

khajuraho, india
Khajuraho yang panas dan berdebu. (Foto: Silvia Galikano)

Penduduk Khajuraho umumnya bertani gandum. Tentu ada juga yang hidup dari pariwisata, sebagai pemandu, tour operator, serta pemilik dan pekerja hotel. Wisatawan asing paling banyak dari Prancis dan Jepang.

“Tiga tahun saya bekerja di bidang pariwisata, baru sekarang saya dapat tamu asal Indonesia,” kata Pramod Mishra, karyawan sebuah hotel di Khajuraho saat kami ke kota itu, November 2011. Saat bukan musim liburan dan tamu hotelnya sepi, dia jadi pemandu lepas.

Candi-candi di Khajuraho dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yakni kelompok candi barat dan kelompok candi timur. Dibangun tidak bersamaan, mulai abad ke-9 hingga ke-12. Satu milenium lalu. Candi barat antara lain candi Vishvanath, candi Chitragupta, dan candi Jagadamba. Dan candi timur di antaranya candi Vamana, candi Jain, dan candi Duladeo.

Kota ini dulu adalah ibukota kebudayaan dan ibadah dinasti Chandela, dinasti Hindu yang berkuasa sepanjang 900-1130. Ibukota politiknya ada di Mahoba, 60 km dari Khajuraho. Asalnya ada 85 candi Hindu dan Jain di sini, namun kini hanya tertinggal 25 candi. Hancurnya lebih dari setengah jumlah candi itu terjadi saat Islam menyerbu masuk, menghancurkan banyak “berhala”, sekaligus menandai runtuhnya dinasti Chandela.

khajuraho, india
Bocah Khajuraho bermain di teras rumah. (Foto:: Silvia Galikano)

Selain relief dewa, dewi, binatang mitologi, dan kegiatan sehari-hari rakyat, candi-candi di Khajuraho terkenal dengan relief erotis yang menurut kacamata orang Indonesia bakal digolongkan cabul. Memang perlu kacamata penduduk Khajuraho untuk melihat relief erotis tersebut. Tidak bisa kita membawa kacamata porno-tidak-porno ke sini. Mari simak cerita Pramod tentang asal-usul candi-candi di kampungnya ini.

Dulu penduduk Khajuraho, saat belum sebanyak sekarang, inginnya jadi pendeta Hindu yang tidak kawin. Kalau hampir semua penduduk maunya jadi pendeta dan menolak menikah dan beranak-pinak, maka tak lama lagi Khajuraho bisa punah.

Maka pendeta kepala kala itu menyarankan penduduk untuk menikah agar umat bisa berkembang biak. Salah satu caranya dengan membangun candi-candi yang memuat relief tentang ilmu bercinta. Rupanya cara ini dianggap berhasil.
Yang juga menarik di kota yang gersang ini adalah kampung tuanya. Kampung Tua Khajuraho (Khajuraho Old Village).

Kampung di sini adalah sekumpulan rumah yang berjajar-jajar padat, gang-gang sempit, dan suara “halo-halo” bersahutan terdengar dari dalam rumah jika ada turis lewat. Suara itu dimaksudkan untuk menarik perhatian turis untuk memotret dia atau rumahnya, dengan harapan si turis memberikan sekadar tip.

khajuraho, india
Ibu-ibu melakukan puja (doa) kala subuh. (Foto: Silvia Galikano)

Saya sempat memotret dua bocah kakak beradik sedang bermain di teras rumah. Hanya satu jepretan, pakai kamera saku pula. Sesudah itu si kakak mengatakan, “Do you have rupees?” Ah, sayang saya turis kere yang harus superirit agar bisa pulang dengan selamat. Semoga setengah jam lagi ada turis Prancis tajir yang bisa memberi mereka tip.

Di Kampung Tua Khajuraho bisa kita jumpai pembagian kasta yang demikian menyolok. Kampung ini dibagi jadi empat cluster, yakni kampung untuk kasta brahmana, untuk kasta satriya, kasta waisya, dan kasta sudra.

Masing-masing cluster punya satu sumur air dan satu kuil. Kaum sudra tidak boleh mengambil air di sumur kaum brahmana. Kaum satriya juga tidak boleh beribadah di kuilnya kaum waisya.

Kata Pramod yang dari kasta waisya, “Kalau saya mau ke rumah orang berkasta brahmana, saya harus mandi dulu. Tidak boleh begini saja datang.”

Kisah tentang kasih tak sampai sudah bukan barang baru di sini karena pernikahan beda kasta diharamkan. Apalagi jika si perempuan dari kasta yang lebih tinggi dibanding kasta laki-lakinya, si perempuan bisa diusir dan tidak diakui keluarga lagi.

khajuraho, india
Di dalam kelas Kashi Prasad Bal Vidhya Mandir School. (Foto: Silvia Galikano)

Di kampung dengan tingkat melek huruf 53 persen itu sebelumnya juga tidak ada sekolah. Yang ingin bersekolah harus pergi keluar kampung. Dan yang mampu membayar saja yang bisa sekolah. Banyak penduduk miskin di Kampung Tua Khajuraho tidak dapat menyekolahkan anaknya, dan membiarkan anak-anak mereka meminta-minta kepada wisatawan.

khajuraho, india
Tante pening habis lihat candi. Difoto turis bule.

Melihat kondisi ini, pada tahun 2000, Prabhat Mani Mishra yang berprofesi guru, mendirikan sekolah sederhana bernama Kashi Prasad Bal Vidhya Mandir School (Kuil Indah dan Tempat Belajar bagi Anak-anak). Di sana diajarkan membaca, berhitung, sejarah, sains, geografi, bahasa Hindi, bahasa Inggris, dan keterampilan.

Seluruh kasta boleh bersekolah di sini secara gratis. Tidak ada pemisahan, dan seluruh murid duduk di lantai beralas tikar.

Saya masuk ke kelas ditemani Mishra. Melihat ada tamu, murid-murid yang sedang belajar itu menghentikan kegiatan mereka, berdiri, dan memberi salam dalam bahasa Hindi yang tak saya mengerti.

Di tengah kebingungan harus menjawab apa, Mishra katakan pada saya, “Persilakan mereka duduk.” Ah, rupanya anak-anak ini diajarkan juga tata krama menyambut tamu.

Untuk jalannya sehari-hari, sekolah ini sepenuhnya menggantungkan diri pada donatur. Donatur itu bisa siapa saja, termasuk wisatawan yang sedang keliling Kampung Tua Khajuraho dan singgah di sini. Dari uang para donatur pula sekolah ini menggaji empat guru, jika dirupiahkan sebesar Rp350 ribu per bulan. Sekolah ini juga punya dua relawan, yang salah satunya Mishra sendiri.

Dari awalnya hanya ada satu kelas, sekarang Mandir School sudah punya tiga kelas, terbagi dalam kelas pagi dan kelas sore. Dan lihatlah, wisatawan bisa punya peran memberi akses pendidikan bagi anak miskin dari kasta terendah di Khajuraho.

***

0 Replies to “Khajuraho, The Land of Kamasutra”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.