Hollywood dalam Misi CIA

argo, ben affleck

Enam diplomat AS di Iran jadi buron di tengah kecamuk revolusi. Fakta yang tidak banyak diketahui.

Oleh Silvia Galikano

Judul: Argo

Genre: Misteri, suspense, drama

Sutradara: Ben Affleck

Skenario: Chris Terrio

Produksi: Warner Bros. Pictures

Pemain: Ben Affleck, Alan Arkin, Bryan Cranston, dan John Goodman

Durasi: 2 jam

Teheran, 4 November 1979. Kompleks Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Teheran, Iran dikepung demonstran. Mereka  minta AS memulangkan Shah Reza Pahlavi ke Iran untuk diadili. Tak lama, salah satu demonstran berhasil memanjat pagar yang tingginya 3 meter, disusul satu orang lain, lalu banyak lagi. Pagar akhirnya jebol oleh desakan massa.

Demonstran menyerbu masuk. Saat itu para karyawan kedubes tengah bergegas menghancurkan dokumen dan merusak semua peralatan sensitif. Mereka menangkapi para diplomat AS ini, kecuali enam orang yang berhasil lolos lewat pintu belakang. Enam diplomat yang terdiri dari empat laki-laki dan dua perempuan itu akhirnya berlindung di kediaman Duta Besar Kanada untuk Iran, Ken Taylor (Victor Garber).

Segera CIA menyiapkan upaya membawa enam diplomat itu keluar dari Iran. Berbagai cara pun didiskusikan. Mulai dari mengirim tim militer dengan mengayuh sepeda sejauh 482 kilometer untuk melintasi perbatasan Iran hingga mengutus mata-mata untuk menemui para guru bahasa Inggris, tapi semua usulan mentok karena kondisi Iran tak memungkinkan.

Seorang staf CIA dengan keahlian meloloskan diri (exfiltration), Tony Mendez (Ben Affleck), mendapat ide agar enam diplomat itu berperan sebagai kru film asal Kanada yang datang ke Iran untuk survei lokasi syuting film. Kalau keenamnya diberi paspor palsu dan lolos dalam pemeriksaan di bandara, tentu mereka bisa meninggalkan Iran dengan selamat. Tak ada yang antusias, memang, tapi seperti kata Asisten Deputi Direktur CIA Jack O’Donnell (Bryan Cranston), “Inilah ide buruk terbaik yang kita punya.”

Mendez mengajak temannya, pionir make-up artist yang mendapat Oscar John Chambers (John Goodman) serta produser film yang disegani di Hollywood Lester Siegel (Alan Arkin). Setumpuk skrip dipilah dan dipilih.  Terpilih satu skrip mirip Star Wars berjudul Argo. CIA setuju. Rumah produksi palsu berikut nomor teleponnya pun dibuat. Iklan satu halaman penuh majalah terpampang beberapa hari kemudian, juga beritanya.

Mendez menyiapkan enam nama baru berikut paspor, posisi mereka dalam produksi film, serta curriculum vitae baru yang harus dihafal luar kepala oleh masing-masingnya. Dia sendiri sebagai produser, dengan nama baru juga. Berbekal surat tugas dari “rumah produksi”, Mendez terbang ke Iran. Operasi Argo dimulai.

Inilah kisah nyata yang tidak banyak diketahui, tentang krisis penyanderaan Iran pada 1979-1981. Butuh 444 hari sebelum 52 sandera Amerika dibebaskan. Dan sejarah AS mencatat fakta menggelikan bahwa CIA, dengan citra hebatnya, ternyata pernah mengerahkan Hollywood dalam sebuah misi rahasia.

Argo adalah film ketiga Ben Affleck sebagai sutradara, sesudah Gone Baby Gone (2007) dan The Town (2010). Argo dibuka dengan cerdas sekali dan tak disangka-sangka keluar dari kacamata Hollywood yang notabene AS. Komik berikut suara perempuan sebagai narator menjelaskan bahwa AS dan Inggris mendukung kudeta Iran pada 1953 untuk menempatkan Shah Reza Pahlavi yang otoriter dan korup.

Shah yang bersahabat dengan AS ini hidup bermewah-mewah sementara rakyatnya kelaparan. Saat revolusi Islam Iran, Shah melarikan diri ke AS. Presiden AS Jimmy Carter menolak mengkestradisinya pulang untuk diadili. Kali ini Hollywood menggambarkan campur tangan AS di dunia Timur secara sinis sambil bergidik karena jijik.

Kerja empat orang ini hebat betul: Affleck, sinematografer Rodrigo Prieto, dan editor William Goldenberg. Mereka mencipta visual mendalam melalui efek grainy untuk memberi nuansa film tahun 1970-an dan menampilkan penggalan-penggalan gambar yang bergerak cepat. Orang keempat adalah penulis skenario Chris Terrio yang secara akurat menceritakan kembali kejadian asli yang sama tegang dan dramatisnya. Kisah nyata itu jadi thriller seru berbumbu romance.

Karakter Mendez dibawakan Affleck dengan baik, tak kurang tak juga lebih. Mendez seorang yang tenang, penyendiri, gila kerja, dan rumah tangganya “sedang jeda”. Dia tinggal sendiri di hotel, sedangkan istri dan putranya di rumah mereka di Maryland. Tak ada yang cela dalam akting Affleck. Hanya saja ganjil mengapa harus dia yang memerankan pria Latin bernama Mendez. Akan lebih afdol jika peran ini diserahkan ke aktor lain yang sama-sama berdarah Latin.

Alan Arkin gemilang memerankan produser sinting Lester Siegel dengan segala kompleksitasnya.  Produser besar yang disegani, dilibatkan dalam misi rahasia, harus meyakinkan pihak sana-sini di Hollywood, tanpa dibayar, tapi tetap tingkah lakunya mengundang senyum. Dialah orang pertama yang melontarkan kalimat tidak sopan dan akhirnya jadi kalimat bersama saat trio Mendez, Chambers, dan Siegel bersulang, “Argo: f*#k yourself.”

Setelah pertengahan Januari lalu Argo mendapat Golden Globe Awards sebagai Best Picture Drama dan Ben Affleck sebagai Best Director, tiga pekan lagi akan kita tahu berapa Oscar yang dibawa pulang. Argo dinominasikan dalam tujuh kategori Academy Awards, yakni Best Picture, Best Supporting Actor (Alan Arkin), Best Adapted Screenplay, Best Film Editing, Best Music/Original Score, Best Sound Editing, dan Best Sound Mixing. Fingers crossed untuk Argo!

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 62, 4-10 Februari 2015

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.