Minangkabau, Padusi, dan Mama
Ini sebetulnya hasil wawancara tadi siang (1/5/2013), tapi karena kemungkinan besar tidak akan ditulis di review nanti, maka saya tulis di sini sekarang.
Ceritanya pada 11-12 Mei 2013 nanti akan ada pertunjukan legenda tari Padusi: 3 Kisah 3 Perempuan 3 Perjuangan di Taman Ismail Marzuki. Padusi dalam bahasa Minang berarti perempuan. Pertunjukan ini dibuat Tom Ibnur, maestro tari Minang yang tidak dikenal di dalam negeri tapi sangat disegani di luar negeri (bukan kabar baru). *SinisSelalu*
Di Padusi nanti akan dipertunjukkan tari-tari tua, seperti Tari Kematian, tarian magis yang dibawakan perempuan saat orang yang dicintainya meninggal. Bentuknya, antara lain, menangisi mayat, mengentak-entakkan kaki, dan mengempaskan badan.
Sewaktu Tom membuat penelitian pada 1983, Tari Kematian masih dipraktikkan di Solok, Batusangkar, dan Payakumbuh sewaktu seorang datuk meninggal. Tidak ada “doa langit”, yang ada hanya petatah-petitih. Tarian ini kemudian dilarang karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Foto oleh Imagedynamics
Di akhir wawancara dengan Tom, dia bilang sesudah di TIM, rencananya Padusi akan dipertunjukkan di Sumatera Barat, “Agar masyarakatnya tidak munafik.”
Cerita Tom Ibnur ini mengingatkan saya pada obrolan dengan Mama beberapa waktu lalu. Saya bertanya tentang budaya Minang pra-Islam yang masih dipraktikkan sehari-hari. Kata Mama, sewaktu Mama masih tinggal di kampung, masih ada orang yang meletakkan sajen di pojok rumah serta masih ada yang merayakan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari kematian. Entah sekarang, sepertinya tidak ada lagi.
Pertanyaan itu lahir karena ada hal yang ngga nyambung di nalar saya. Seolah-olah (ini asumsi saya) Minangkabau tidak kenal agama lain selain Islam, tidak kenal budaya lain selain budaya Islam. Sampai-sampai Minangkabau punya falsafah adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat bertopang pada agama, agama bertopang pada Quran), sehingga orang Minang pasti muslim. Artinya, orang Minang yang lepas dari keislamannya, otomatis lepas juga dari keminangannya.
Lho, terus apa kabar dengan zaman sebelum masyarakat kenal Kitabullah? Masyarakat masa itu ngga berhak menyebut diri sebagai orang Minang gitu? Bukankah nama Minangkabau lahir sewaktu kerbau milik kerajaan Pagaruyung menang saat diadu dengan kerbau dari Kerajaan Majapahit? Adu kerbau itu terjadi di zaman Hindu, mai meeennn.
Intinya adalah, ini yang saya omongkan ke Mama, lha mbokyao “akuilah” masa lalu bahwa Minangkabau dulu itu Hindu. Sistem matriarkat yang sangat dibanggakan itu lahir juga dari era Hindu karena ngga mungkin budaya Islam melahirkan sistem matriarkat.
Kembali ke Mama. Sambil menulis catatan ini, saya ngobrol dengan Mama tentang Padusi, termasuk tentang Tari Kematian. Mama menambahkan info bahwa dulu di Pariaman, kalau ada yang meninggal, pasti ada satu orang anggota keluarga yang menyanyi di dekat jenazah. Sekarang sudah tidak ada. Yang juga sudah tidak ada adalah karakter perempuan yang dimainkan laki-laki di kesenian Randai. Seperti Ludruk di Jawa Timur, Randai dimainkan oleh seluruhnya laki-laki, termasuk peran jadi perempuan.
Akhir cerita, Mama tertarik nonton Padusi. Tentu saja ini surprise buat saya. Biasanya Mama tertarik datang ke kawinan Minang doang (sambil nyari anak bujang orang hehehe). Sekarang, emak gue mau nonton pertunjukan!!! Sesuatu banget ini. Siappp. Segera beli tiket dah.