Nowruz, Merayakan Sebuah Janji Baru

nowruz iran, nowruz persia

Festival Nowruz dirayakan meriah di Jakarta, mulai tahun ini. Mengingatkan pada akar sebuah budaya kuno.

Oleh Silvia Galikano

Aroma kebab menguar, menggelitik penciuman dan menerbitkan air liur. Musik indah didominasi tabla dan danbura terus mengalun tak henti. Sementara mata disuguhi foto-foto tentang eksotiknya negeri-negeri di Asia Tengah sana.

Malam itu malam yang tak biasa di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta. Festival Nowruz untuk pertama kalinya dirayakan di Indonesia, Kamis 21 Maret 2013. Gedung yang biasanya formil ini riuh dengan nyanyian dan tarian Persia. Makanan mengalir terus hingga pengunjung berhenti sendiri karena kekenyangan. Ya, sebuah perayaan kuno dari tanah Persia akhirnya kini bisa dinikmati masyarakat Indonesia.

Inilah hari istimewa yang dirayakan 300 juta orang di dunia. Nowruz (bahasa Persia yang berarti “Hari Baru”) menandai hari pertama musim semi menurut kalender Iran. Secara astronomi, tiap 21 Maret  matahari melintasi khatulistiwa, membuat siang dan malam sama panjangnya (equinox), serta ketika matahari meninggalkan zodiak Pisces, memasuki zodiak Aries.

Pada hari pertama musim semi itu masyarakat Iran berkumpul di rumah bersama keluarga, makan bersama, dilanjutkan dengan menyanyi dan menari semalaman. Pemerintah Iran bahkan menetapkan 13 hari sebagai hari libur resmi Nowruz.

Selain di Iran,  Nowruz dikenal juga di India, Asia Tengah, Irak, Eropa Timur, China Barat Laut, Crimea, dan beberapa suku di Balkan. Di India, festival ini disebut Navroz, di Turki disebut Nevruz, masyarakat Uyghur di China Barat Laut menyebutnya Noruz, dan di Albania disebut Sultan Nevruz.

Duta Besar Azerbaijan untuk Indonesia Tamerlan Garayev yang membuka Festival Nowruz mengatakan festival ini adalah juga hari internasional untuk puisi dan teater. Biasanya persiapan dilakukan sejak sebulan sebelumnya.

Yang ditampilkan di Jakarta Kamis lalu tentu hanya sebagian kecil, sekadar “edisi perkenalan” untuk masyarakat Indonesia. Kulinernya mendapat perhatian besar pengunjung dengan primadona kebab Iran.

Selain macam-macam nasi, roti, dan lauk pauk yang maunya dicoba semua, aneka cemilan tak kurang menarik perhatian. Di stand Uzbekistan terdapat ko’k somsa, cemilan mirip pia, dibuat dari adonan puff pastry diisi sayur yang dibumbui bawang bombay dan lada hitam.

Di stand Kazakhstan terhidang fried chuchvara yang mirip pangsit goreng berisi daging, qytyrlak kulit pangsit tapi manis dan rapuh, chak-chak “cheese stick” bersalut madu dan gula, serta baursak si roti goreng tanpa isi.

Di sebelahnya dipajang baju tradisional perempuan Kazakh berupa jubah panjang bersulam motif besar-besar, bernama kunikey koilek. Jubah ini dilengkapi topi kerucut setinggi 1 meter yang disebut soukele. Sedangkan jubah pria bernama shapan, juga bersulam motif indah besar-besar. Topinya bernama takia, kopiah yang digunakan sehari-hari, misalnya untuk ke masjid.

Terdapat pula miniatur rumah tradisional Kazakhstan bernama yurt. Tampak seperti tenda berbentuk silinder, tanpa sekat-sekat kamar. Di dalamnya tersedia selimut-selimut tebal (kerpese) yang siap digelar jika ada tamu datang menginap.

Sedang asyik mengamati yurt, melintas lima remaja perempuan berbaju panjang merah terang dengan kerudung panjang transparan. Cantik sekali mereka. Ternyata enam bersaudara ini berasal dari Shiraz, kota budaya Iran yang juga salah satu kota kuno dari era Persia. Baju merah berkelap-kelip yang mereka kenakan itu tak lain baju tradisional Shiraz.

Sementara itu, di ruang sebelah, danbura, gitar khas suku Hazara, Afganistan, dimainkan. Pemainnya, seorang pria berusia 40-an bernama Ali Muhammad, duduk bersila. Dia memainkan danbura sambil menyanyi dalam bahasa Hazara. Tabla mengiringi di belakang, memberi ketukan-ketukan mantap.

Hazara adalah satu dari tiga suku utama di Afganistan. Dua lainnya adalah Tajik dan Pashtun. Jika Pashtun berkenampakan seperti umumnya orang Timur Tengah yang tinggi besar, berhidung mancung-bengkok, dan berkulit gelap; masyarakat Tajik berkulit putih,  berambut hitam, dan berhidung mancung. Nah orang Hazara seperti Ali Muhammad ini bermata sipit dan berkulit kuning karena moyangnya berasal dari Mongol.

Clap your hands (Tepuk tangan)!” seorang pria berseru ke arah penonton. Penonton yang sejak tadi hanya menatap heran bahwa ternyata ada orang Afganistan bermata sipit, kini bertepuk mengikuti ketukan tabla. Tak menunggu lama, seorang pemuda naik ke panggung, menari. Lalu naik satu pemuda lagi, kemudian satu lagi. Bertiga mereka bergerak saling mengisi. Sementara tepuk tangan terus terdengar hingga Ali Muhammad selesai memainkan danburanya.

Nowruz yang diperkirakan lahir pada era Achaemenid (550-330 SM) awalnya adalah pesta penganut Zoroastrinisme, filosofi kuno yang jadi agama resmi Iran. Konon Zoroaster sendirilah penemu Nowruz. Kini, Nowruz jadi hari istimewa bagi penganut Sufi, Bektashi, Ismaili, Alawiyah, dan Baha’i serta tercatat dalam Daftar Warisan Budaya Tak Benda Kemanusiaan UNESCO.

Rezim Islam Iran pernah berusaha menekan Nowruz, karena Ayatollah menganggap pesta tahunan ini sebagai hari libur duniawi yang kalah penting dibanding hari libur Islam. Namun upaya ini tidak berhasil. Nowruz tetap dirayakan dan jadi hari penting masyarakat Iran.

Setelah 3.000 tahun dan sekarang dirayakan 300 juta manusia melintasi batas agama, negara, dan politik, Nowruz membuktikan diri sebagai medium penting persahabatan antarbangsa. Merayakan sebuah kelahiran kembali adalah juga memperbarui harapan damai dan cita-cita mulia yang berkelanjutan. Sebuah janji baru di hari pertama musim semi.

***
Dimuat di Majalah Detik 70, 3-7 April 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.