Yang Tercantik dari Borneo

yang tercantik dari borneo

Seni anyaman Dayak kini beralih fungsi dari alat keperluan sehari-hari jadi materi seni bernilai tinggi. Nilai ekonominya juga terkatrol seiring makin tingginya apresiasi masyarakat luar.

Oleh Silvia Galikano

Limbang merapikan anyamannya menggunakan batang besi pengait. Anyamannya bermotif manusia di empat sisi, bertemu kepala. Mata yang tak terlatih memang melihat anyaman itu sudah rapi, tapi ketika perempuan ini mulai merapat-rapatkan bilah bambunya, baru terlihat bahwa anyaman tadi masih renggang.

Cahung seling (caping dari anyaman)-nya itu masih setengah jadi dari total seminggu waktu yang dibutuhkan.
Bersama para perajin lain asal Kalimantan Timur, Limbang jadi peserta Festival Seni Anyam Adi Kriya Kalimantan sepanjang 28 Maret hingga 7 April 2013 di Bentara Budaya Jakarta.

Macam-macam benda anyaman cantik asal Kalimantan ada di sini, ada yang dipamerkan, ada juga yang dijual di pojok souvenir.

Limbang datang dari Kecamatan Bahau Hulu Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Sebagai keturunan darah biru Dayak Kenyah, dia punya privilege membuat cahung seling bermotif manusia.

Ceritanya, dahulu kala seorang gadis hamil. Ayah si jabang bayi adalah petir yang datang tanpa diduga ketika malam hujan deras dan kilat sambar-menyambar. Penduduk kampung tentu tak percaya cerita itu, tapi perempuan ini tetap meneruskan kehamilannya.

Petir berjanji, menjelang anaknya lahir, dia akan sediakan segala keperluan bayi. Bulan berganti. Pada malam sebelum putranya lahir, hujan deras kembali turun di kampung itu dan petir yang paling keras memecah langit. Benar kiranya, beragam keperluan bayi tersedia lengkap di kamar perempuan itu, termasuk sa’ung (gendongan bayi dari anyaman rotan).

Selanjutnya, hanya keturunan perempuan itu yang boleh membuat anyaman bermotif manusia, yang merupakan wujud dari laki-laki petir, bapak moyangnya. “Pernah ada keluarga lain yang coba-coba bikin motif ini, tangannya jadi begini,” kata Limbang sambil menirukan tangan kanan yang lemas (keple, istilah Jawa).

Di samping Limbang, duduk Veronica Tirah membuat cahung dari daun pandan hutan, tekniknya beda dengan cahung seling yang dibuat Limbang. Veronica berasal dari Kecamatan Longbagun,  Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Aslinya dia Dayak Bahau, tapi kini tinggal di tengah masyarakat Dayak Aoheng dan mengakrabi budanya. Cahung pandan yang dulunya digunakan sebagai pelindung kepala saat ke ladang, kini jadi hiasan dinding karena motifnya unik.

Menganyam adalah tradisi masyarakat Dayak selama 10.000 tahun. Hampir seluruh keperluan sehari-hari dibuat dari anyaman, mulai dari perlengkapan rumah hingga keperluan upacara. Dari tikar polos panjang yang dibuat dari daun pandan lebar-lebar untuk rumah lamin/rumah panjang (karena itu ukuran tikar 2×10 meter bukanlah hal yang luar biasa) hingga anyaman rumit untuk tempat sirih.

Akar tradisi seni anyaman Borneo tak lepas dari konteks sejarah Asia Tenggara yang lebih luas. Borneo adalah pusat migrasi purba di Asia Tenggara. Di kemudian hari, budaya setempat menyerap pengaruh India dan Tiongkok, dan mulai abad ke-16 dari dunia Islam dan Barat. Tak heran jika seni Borneo sangat mirip dengan seni Tiongkok Selatan (budaya Dian dan Zhou) serta Indocina (Kamboja dan budaya Dong Son di Vietnam Utara).

dayak lundayeh, borneo
Raung Basung, topi pelindung sinar matahari Dayak Lundayeh, Krayan. Digunakan untuk upacara seperti pernikahan, masa cocok tanam; juga sebagai hiasan rumah. Berbahan pandan, rumput kering. Pewarna merah dari rotan dan kuning dari kunyit. (Foto: Silvia Galikano)

Mulai dua tahun lalu, Yayasan Bhakti Total Bagi Indonesia Lestari melatih masyarakat Dayak untuk membuat membuat kerajinan yang sudah biasa mereka bikin juga tapi kali ini disesuaikan dengan kesukaan pasar.

Hanya menggunakan bahan-bahan terbaik; bilah bambu yang sudah kering dan mudah patah tidak digunakan; menambahkan motif yang digali dari budaya mereka sendiri; membuat miniatur bakul-bakul yang biasanya berukuran besar (sebesar drum) untuk dijadikan pajangan; dan bilah bambu, rotan, nipah, dan pandan tidak lagi lebar-lebar agar motifnya nampak jelas.

Pewarna alam juga dipertahankan. Warna hitam didapat dari arang, merah dari serbuk buah rotan (seronaq), dan warna cokelat dari daun jati muda. Untuk melekatkan pewarna itu ke material yang diinginkan, digunakanlah lilin madu.

Pengajarnya adalah perempuan Dayak juga yang tinggal di Samarinda, bernama Th. Hangin Bang Donggo. Hangin menguasai macam-macam teknik menganyam berikut motif yang ada di berbagai subkultur Dayak.

Setelah mengikuti beberapa kali pelatihan dan karyanya dinilai layak jual, perajin membawa karya mereka ke Yayasan Bhakti Total di Samarinda. Yayasan akan membeli secara tunai karya-karya itu dengan harga yang ditentukan yayasan. Sebaliknya, yayasan bisa menolak membeli karya yang tidak memenuhi kualitas.

Hasil penjualan karya anyaman ini sangat menguntungkan masyarakat dibandingkan penghasilan sehari-hari mereka sebagai peladang. Setidaknya itu yang dikatakan Yudith, perempuan muda penganyam tikar asal Kecamatan Lumbis Kabupaten Nunukan, Kaltim. Memangnya berapa yayasan membayar karya anyaman ibu-ibu ini? Seakan kompak, Limbang, Tirah, dan Yudith menjawab dengan senyum saja, “Harganya terserah yayasan.”

Sekadar penghilang penasaran, inilah sedikit bocoran hasil mengintip pojok souvenir. Kita bisa beli gelang anyam seharga Rp15.000 hingga tikar anyaman bilah rotan bermotif pohon seharga Rp2.812.500.  Benar-benar harga cantik bagi karya seni tercantik yang materialnya disediakan hutan hujan tropis tertua dunia, yang dulu sekali demikian dimuliakan oleh nenek moyang para perajin.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 71, 8-14 April 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.