Mengejar Matahari di Atas Rakit Kon-Tiki

kon-tiki, Joachim Ronning, Espen SandbergDi zaman ketika laut adalah jalan raya, pelaut mengalirkan rakit ke dunia baru, arus membawa mereka ke barat. Satu setengah millennium baru.

Oleh Silvia Galikano

Judul: Kon-Tiki

Genre: Drama

Sutradara:

Skenario: Petter Skavlan, Allan Scott

Produksi: The Weinstein Company

Pemain: Pål Sverre Hagen, Anders Baasmo Christinasen, Gustaf Skarsgard

Durasi: 1 jam 59 menit

 

Hingga awal abad ke-20, teori yang diyakini tentang asal-usul penduduk Kepulauan Polinesia di Samudera Pasifik adalah dari Asia, satu setengah millennium lalu. Jadi arus perpindahannya dari barat ke timur.

Teori ini kemudian mengundang pertanyaan seorang zoologist, pengelana sekaligus penulis asal Norwegia, Thor Heyerdahl (Pål Sverre Hagen) yang saat itu, era 1930-an, tinggal di Polinesia.

Bagaimana manusia pada tahun 400-an bisa berlayar demikian jauh menentang arus. Terlebih lagi, teori ini bertentangan dengan kepercayaan penduduk Polinesia bahwa nenek moyang mereka berasal dari timur.

Heyerdahl lalu melakukan studi yang mendobrak ide-ide kolot. Hasilnya teori bahwa penduduk Polinesia berasal dari Peru, Amerika Selatan yang berlayar mengikuti arus dari timur ke barat.

Teknologi perahu memang belum dikenal, tapi mereka sudah kenal rakit dari kayu balsa. Ide ini ditolak para antropolog. Sederet penerbit juga menolak menerbitkan tesisnya.

Tak mau studi selama 10 tahun sia-sia, Heyerdahl mempertaruhkan reputasinya untuk  membuktikan sendiri teori bahwa penduduk Polinesia berasal dari Peru, bukan dari Asia.

Dia akan berlayar dengan cara sama yang dilakukan pendatang pertama dulu, yakni naik rakit yang balok-balok balsanya dihubungkan tanpa paku, hanya diikat tambang. Rakit itu dinamakan Kon-Tiki, diambil dari nama Dewa Matahari penduduk Polinesia, Tiki.

Didukung dana sepenuhnya dari pemerintah Peru, pada 1947, Heyerdahl dan lima pria lain (empat asal Norwegia, satu dari Swedia) bertolak dari Peru.

Di tengah pandangan skeptis dunia, mereka memulai perjalanan akbar sejauh 4.300 mil (8.000 km) di atas Kon-Tiki, berkompas bintang, mengejar matahari terbenam.

Kon-Tiki diangkat dari kisah nyata perjalanan Thor Heyerdahl dan lima kawannya di atas rakit menyeberangi Samudera Pasifik. Pada tahun ini sempat jadi nomine Academy Award untuk kategori Film Berbahasa Asing (Foreign Language Film).

Kon-Tiki dirilis dalam dua versi, berbahasa Norwegia dan bahasa Inggris. Yang diputar di Indonesia adalah berbahasa Inggris.

Judul Kon-Tiki sebelumnya digunakan juga sebagai judul film dokumenter yang memenangi Oscar pada 1951 untuk Dokumenter Terbaik (Best Documentary).

Heyerdahl (1914-2002) sendiri yang mendokumentasikan perjalanan mereka di atas rakit. Kesuksesan ini menjadikan Heyerdahl bintang media. Bukunya, The Kon-Tiki Expedition (1950), diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.

Ide cerita Kon-Tiki (2012) sebenarnya sangat bagus, megah dalam kekunoannya, menawan di tengah kepolosannya. Fotografi samudera oleh Geir Hartly Andreassen luar biasa.

Duo sutradara Norwegia, Joachim Ronning dan Espen Sandberg, berhasil menyuguhkan potongan pertunjukan alam yang menakjubkan Ketika Kon-Tiki dihantam badai dan melewati atol, juga sewaktu rakit ini melewati perairan yang ramai dihuni hiu. Kita bahkan bisa ikut merasakan betapa lama dan membosankannya pelayaran selama 101 hari.

Namun demikian seperti ada bagian yang hilang dalam eksekusi. Klimaksnya jadi landai saja. Hubungan pribadi Heyerdahl dan istrinya juga tergambar ganjil.

Sang aktor utama Pål Sverre Hagen seperti tidak menguasai karakternya, karena itu penonton sulit menemukan adanya ikatan yang menghubungkan Heyerdahl dan lima rekannya. Heyerdahl seperti sosok tanpa emosi yang sibuk sendiri dengan pikirannya.

Perjalanan itu tidak bisa dikatakan ringan. Ujian berat mereka jumpai sepanjang perjalanan.

Hiu dan topan jadi ancaman paling serius. “Digoda” paus yang badannya jauh lebih besar dari ukuran rakit juga tak kurang menegangkannya.

Ikan terbang yang tahu-tahu saja sudah bergeletakan di atas rakit dan cumi-cumi yang bercahaya di kegelapan malam tentu saja menggembirakan hati. Semakin hari rambut mereka semakin pirang, kulit semakin cokelat, dan berewok lebat.

Setelah 101 hari, mereka akhirnya mendarat di Atol Raroia, Kepulauan Tuamotu, Polinesia. Mereka berhasil mengulang jejak para pelaut Peru zaman kuno sekaligus membuktikan teori Heyerdahl.

 

Dimuat di Majalah Detik 75, 6-12 Mei 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.