Merayakan Kepedihan dengan Nikmat

semusim dan semusim lagi, andina dwifatmaSetelah memutuskan mengunjungi ayahnya di kota S, “Aku” mengalami peristiwa besar. Tapi justru inilah yang membawanya pada kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Oleh Silvia Galikano

Judul: Semusim, dan Semusim lagi

Penulis: Andina Dwifatma

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2013)

Tebal: 232 halaman

 

Badanku kurus, rambutku pendek, kulitku pucat, dan aku sangat kikuk. Aku tidak bisa berjalan sekian ratus meter tanpa menabrak atau menyenggol sesuatu. Mataku juga sipit. Mata ibuku bulat seperti telur penyu. Pokoknya aku tidak mewarisi kecantikan ibuku, jenis kecantikan yang dingin, yang lebih membuatmu menggigil ketimbang merasa hangat, seolah-olah ada sebuah lubang besar dalam dirinya yang mampu menyerap zat-zat kebahagiaan. (halaman 17).

Tokoh “aku” sejak bayi tidak kenal, bahkan tidak tahu nama bapaknya. Dia diasuh mamanya yang berprofesi dokter bedah otak. Dia nyaman tak berteman dan bukan orang yang luwes dalam bergaul. Hobinya membaca sambil mendengarkan jazz ringan, semisal Dave Koz.

Mamanya yang juga kaku itu punya kesibukan luar biasa. Jika di rumah, mamanya menghabiskan sebagian besar waktu di kamar. Mereka hanya berpapasan dalam perjalanan menuju meja makan, atau kamar mandi, atau garasi, lalu bertukar senyum canggung.

Bisa ditebak, hubungan ibu dan anak gadisnya ini tidak hangat. “Aku” bahkan nyaris tidak tahu bagaimana cara bicara pada mamanya.

Kini “aku” baru lulus SMA, usianya 17 tahun. Dia hendak kuliah di jurusan  Sejarah karena ketertarikannya pada sejarah semua hal. Sejarah gelas, sejarah bantal, hingga sejarah permainan petak umpet. Amplop besar dan tebal berisi formular pendaftaran dari universitas terkemuka sudah di tangan, menunggu diisi.

Tapi bersama amplop besar itu datang juga amplop kecil, tanpa nama pengirim. Lemnya sudah terbuka. Mamanya tadi yang membuka. Surat yang diketik rapi itu ternyata dari ayahnya yang mengabarkan sedang mengidap penyakit langka.

Ayahnya percaya umurnya tak lama lagi, karena itu sangat ingin bertemu putrinya. Ayahnya juga akan bercerita mengapa dulu meninggalkannya pada usia belum genap tiga bulan.

Tanpa perlu minta izin ibunya, “aku” pergi ke Kota S, kota tempat ayahnya tinggal. Di bandara Kota S, dia dijemput JJ Henri, asisten ayahnya selama lebih dari 30 tahun, lalu diantar ke rumah peristirahatan ayahnya di pinggir kota, di Kecamatan G yang sejuk. Ayahnya masih di rumah sakit, belum boleh dijenguk.

Baru di rumah inilah “aku” tahu nama ayahnya. Ternyata namanya jauh dari harapannya, maka “aku” menyebut ayahnya “Joe” karena biasanya yang bernama Joe keren-keren.

Contohnya Joe Hallenbeck (dari film The Last Boy Scout, diperankan Bruce Willis), gitaris Joe Satriani, karakter fiktif GI Joe, juga lagu Jimi Hendrix berjudul Hey Joe. Keren semua.

JJ Henri adalah pribadi hangat yang suka blues dan menyebut BB King anugerah Tuhan untuk umat manusia di muka bumi. Dia pula yang mengajarkan “aku” minum bir.

Di hari lain, JJ Henri datang membawa anak laki-laki satu-satunya, Muara, yang berusia 22 tahun. Dia mahasiswa arsitektur di kota lain yang sekarang sedang cuti. Muara membuat “aku” merasa nyaman dan diterima. “Aku” yang biasanya cuma bicara sepotong-sepotong, bisa bicara panjang lebar saat berdiskusi dengan Muara. Tak kenal waktu mereka ngobrol tentang orang kidal, sejarah cappuccino, hingga lirik Blowin’ In The Wind-nya Bob Dylan.

Bersama Muara aku merasa seperti mesin karatan yang baru diperbaiki. Bautku yang usang diganti, dilumasi, dan aku kembali berfungsi. Rasa sedih dan cemas hilang dari hatiku. Sebelum bertemu Muara aku selalu merasa tidak butuh berbagi dengan orang lain. (halaman 89).

Kita bisa tangkap cara penceritaan Semusim, dan Semusim lagi sangat berbeda dari novel-novel Indonesia pada umumnya. Terasa seperti kerongkongan kering tapi harus terus bicara. Pedihnya untuk dirasakan pembaca, bukan dituliskan penulisnya.

Sama seperti karakter “aku”, Andina Dwifatma juga tidak perlu berpayah-payah mendeskripsikan apa yang dirasakan tokohnya. Sepotong dialob cukup memampangkan adanya kekosongan atau berhasil membuat sayatan mendalam yang bekasnya tak akan hilang.

Penceritaan yang tidak bias aini, tak dapat diungkiri, jadi tantangan tersendiri bagi Semusim, dan Semusim lagi untuk dapat diterima khalayak pembaca novel. Walau modal sebagai pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012 sebenarnya adalah sebuah jaminan kualitas.

Nama-nama legendaris berserak dalam novel ini berseling dengan diskusi bernas dan tak membosankan. Dari Einstein sampai Beatles, dari Humphrey Bogart sampai Amelia Earhart. Beberapa kali nama Hemingway disebut, menyadarkan kita besarnya pengaruh Hemingway pada cara tutur dan pemilihan diksi novel ini.

Dan pada akhirnya, perkenalan tokoh “aku” dengan orang-orang baru membawanya pada kejadian luar biasa. Tanpa disadari, “aku” membuat perhitungan atas perasaan ditolak dan dinomorsekiankan yang hamper seumur hidup dia rasakan, tapi selalu berhasil diingkari.

Harga yang dibayar memang tak pernah murah. Tapi itulah yang diperlukan untuk menutup satu musim dan membuka satu musim yang baru.

***
Dimuat di Majalah Detik 75, 6-12 Mei 2013

0 Replies to “Merayakan Kepedihan dengan Nikmat”

  1. Thank you for another informative website. Where else may just I am
    getting that kind of information written in such an ideal
    method? I have a venture that I am simply now running on, and I have been on the glance out for such info.

Leave a Reply to Silvia Galikano Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.