Mengusir Muram di Kuta Alam

mengusir muram di kuta alam, kemal jufri

Memotret peristiwa yang suram berarti mengintip setitik cahaya terang di dalamnya. Kemal Jufri men-zoom-in cahaya yang setitik itu hingga jadi tak terhingga besarnya.

Oleh Silvia Galikano

Sebuah foto menampakkan dinding kelas yang berlubang besar. Dari lubang itu terlihat sekelompok siswa berseragam pramuka dan putih-hitam sedang menyalin tulisan yang dituliskan guru di papan. Tak ada bangku. Seluruh jendela pun tanpa kaca.  Mereka duduk di lantai beralas terpal plastik.

Di foto lain nampak dua laki-laki memasang kerangka rumah dari kayu. Sekelilingnya rata dengan tanah. Merah-putih berkibar di tiang yang ditancapkan di samping calon rumah itu. Dua foto itu diambil di Krueng Raya dan Ulee Lheue, Nanggroe Aceh Darussalam, pada Desember dan Maret 2005, usai gempa hebat dan tsunami.

Atau perhatikan ini, seorang petani di Magelang membersihkan daun-daun dari tumpukan abu vulkanik di ladang tembakaunya. Foto yang diambil pada Juni 2006 itu menunjukkan pak petani mengelap sehelai demi sehelai daun. Dia sendirian di keluasan ladang yang hampir seluruhnya tertutup abu. Tidak ada foto tentang tangis, ratap, dan air mata usai tsunami dan erupsi Merapi. Hanya optimisme berpijak dari kenyataan hari ini tanpa menyesali hari kemarin.

Berangkat dari pesan untuk tetap optimistis, Kemal Jufri menggelar Aftermath: Indonesia in the Midst of Catastrophes, pameran tunggal fotografi dan presentasi audio-visual tentang bencana yang disebabkan alam dan ulah manusia. Pameran ini diadakan di Galeri Salihara, Jakarta, pada 16-29 Mei 2012. Dalam ruang berbentuk silinder itu dipasang 36 foto yang dibagi dalam tiga kelompok besar: pascatsunami Aceh 2004, pascaerupsi Merapi 2010, dan bencana lumpur Lapindo Sidoarjo 2006.

Kemal Jufri adalah jurnalis foto Indonesia yang telah merekam banyak peristiwa besar di negeri ini. Dia memulai karier sebagai fotografer 16 tahun lalu sebagai pewarta foto kontrak kantor berita Prancis, Agence France Presse (AFP) biro Jakarta (1996), lantas Asia Week, dan sekarang sebagai fotografer lepas. Selama satu dekade terakhir, Kemal telah meraih banyak penghargaan internasional, di antaranya World Press Photo, Picture of the Year International, dan Prix de la Photographie Paris.

Dalam suguhan slide foto pada malam pembukaan, ada satu serial foto (frame per second) yang membuat pengunjung emosional, bahkan tak sedikit yang mengusap air mata. Foto itu menampilkan bapak dan anak balitanya bermain di atas kasur, di antara lumpur kering usai tsunami di Lhok Nga. Mulut si anak monyong-monyong, tangannya memainkan boneka kain, mungkin sedang mendongengi ayahnya.

 

Lalu sejumlah foto serialnya ditampilkan cepat. Tap tap tap tap, dongeng si anak ke ayahnya berlanjut, ekspresinya makin seru. Dan di frame terakhir, keduanya tertawa, dongeng sang putri nampaknya happy ending. Tampak pula ibunya berjongkok di ujung kasur. Tertawa juga.

 

Dari foto-foto itu kita paham benar kalimat yang sebelumnya tak lebih dari pemanis bibir, bahwa bencana bukan untuk ditangisi. Pemahaman yang justru didapat dari foto balita perempuan di Lhok Nga itu. “Betapa kuat dan resilience (tahan banting, cepat bangkit, red.) orang Indonesia. Dalam keputusasaan, mereka bisa bangkit kembali,” kata Kemal.

Rencana awalnya, pameran foto dibarengi dengan peluncuran buku fotografi Kemal berjudul sama. Namun karena sulitnya mencari sponsor, penerbitan buku diundur hingga Juli 2012.

Buku Aftermath akan menampilkan 100 foto dan lima tema bencana besar di Indonesia. Selain pascatsunami Aceh, pascaerupsi Merapi, dan lumpur Lapindo Sidoarjo yang sudah ditampilkan di pameran, akan ada dua tema lagi, yakni  pascagempa Nias 2005 dan pascagempa Yogyakarta 2006. Dalam buku itu, Kemal akan berkolaborasi dengan istrinya yang juga jurnalis, Dina Purita Antonio-Jufri. Dina kebagian menulis esai dan puisi.

Pameran foto dan penerbitan buku ini dimaksudkan Kemal untuk menggalang dana bagi warga yang jadi korban bencana. Dia ingin bantuannya itu signifikan, bukan alakadarnya. Bisa jadi berupa modal usaha, beasiswa, atau bahkan gedung sekolah. Tergantung berapa banyak dana nanti terkumpul.

“Sebagai jurnalis foto, tugas saya berhenti di memotret. Tapi saya ingin melakukan yang lebih. Dengan menjual foto dan menerbitkan buku, semoga hasilnya bisa digunakan untuk membantu secara langsung.”

***
Dimuat di Majalah Detik 2, 28 Mei-3 Juni 2012

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.