Sapardi Djoko Damono Membawa Sita pada Kekinian

sapardi djoko damono

Oleh Silvia Galikano

Usianya tidak lagi muda. 72 tahun. Sebagai pegawai negeri, dia sudah lama pensiun. Tapi sebagai seniman, pensiun tak dikenal. Sapardi Djoko Damono masih mengajar, masih menulis puisi, dan masih jadi pembicara di banyak acara seni. Sabtu 9 Juni lalu dia malah meluncurkan satu buku baru, Namaku Sita: Sebuah Sajak, sebuah interpretasi yang keluar dari kebiasaan tentang tokoh Sita di legenda Ramayana.

Sita, di tangan Sapardi, bukan perempuan lemah yang “beruntung” ketika dipinang Rama si tampan rupawan, lalu jadi apes saat diculik Dasamuka. Sebaliknya, Sapardi menjadikan Sita muak dalam sekapan istana Rama yang sumpek dan penuh basa-basi di Ayodhya, dan merasa dibebaskan saat datang laki-laki yang lebat bulu dadanya, Dasamuka, dan membawanya menyeberang laut ke Alengka.

“Rama sudah melakukan apa? Coba baca Ramayana yang benar. Apa yang dia lakukan? Ngga ngerjain apa-apa. Yang ngerjain apa-apa Sita. Diculik, disiksa, dibakar. Rama-nya ngapain? Bengong saja.”

Berikut perbincangan dengan Sapardi usai peluncuran Namaku Sita di Galeri Salihara, Sabtu pekan lalu. Wawancara dilakukan berselang-seling dengan Sapardi menandatangani buku yang tak henti-henti disodorkan penggemarnya serta memenuhi permintaan foto bersama. Sapardi, yang puisi cintanya bikin mabuk itu, ternyata pandai melucu dan senang diajak bergurau.

 

Prinsip apa yang bisa kita petik dari seorang Sita?

Sita itu tokoh yang kontroversial tapi banyak orang yang menganggap dan menjadikan contoh Sita sebagai wanita sejati. Sita dicitrakan seperti itu, yang patuh pada suaminya.  Tapi kan kemudian timbul pertanyan apa dia tidak punya kepribadian? Tidak ingin melawan? Maka muncullah versi-versi Sita yang punya perlawanan sendiri. Bahkan orang mengatakan dia itu sebenarnya mengendalikan Rama.

Masalah yang penting itu siapa sih sebenarnya Sita? Anaknya siapa? Ada yang bilang dia anaknya Dasamuka, anaknya si ini, si itu. Itu cerita mitos. Matinya bagaimana juga tidak ada yang tahu. Nah antara lahir dan mati ada suatu misteri sebenarnya.

Sita itu kan sebenarnya sehari-harinya kita, Anda-anda yang perempuan ini Sita. Yang dicoba dibakar oleh Rama, disayembarakan bapaknya, korban laki-laki. Mestinya dulu orang melihat Sita seperti saya melihat orang sekarang, cuma mereka dengan cara khusus.

Bagaimana jika Sita dibawa ke keadaan sekarang?

Dalam penggambaran saya, bahwa kita ini Ramayana, kita semua  ini bermasalah. Perempuannya bermasalah, Ramanya bermasalah, Dasamukanya bermasalah. Hanya dengan begitu Sita menjadi abadi, karena ada rangkaian masalah. Kalau gampang malah orang susah. Lebih banyak lagi masalah sebenarnya di Mahabarata karena tokohnya lebih banyak. Di Ramayana lebih menarik karena tokoh utamanya hanya tiga: Sita, Rama, dan Dasamuka. Jadi kan cinta segitiga. Jadi itulah tafsir. Mungkin lain kali saya menafsirkan lain lagi.

Di puisi Anda, tertangkap kesan bahwa Rama seorang yang picik. Benar demikian?

Memang iya dia kan picik. Dia sudah melakukan apa? Coba baca Ramayana yang benar. Apa yang dia lakukan? Ngga ngerjain apa-apa. Yang ngerjain apa-apa Sita. Diculik, disiksa, dibakar. Rama-nya ngapain? Bengong saja.

Dari mana referensi Anda membuat sosok Sita yang punya perlawanan?

Banyak banget. Ada kajiannya. Banyak. Mendobrak citra itu bukan perkara mudah. Salah satu caranya melalui puisi.

Berapa lama Anda membuat ini?

Menulisnya setahun. Tapi sebelumnya ada penelitian-penelitian pendahuluan. Banyak sekali. Sejak tahun 1973 meriset dan menulis sajak tentang Sita yang seperti ini, tapi pendek-pendek. Yang panjang baru sekarang. Gemblung kan Rama. Gemblung banget itu.

Tapi kan mengubah yang sudah mapan itu bukan perkara mudah?

Paling tidak sudah ada usaha ke arah itu. Memberi perhatian pada pemikiran lain. Suatu kisah yang sudah telanjur ke mana-mana.

Anda jadi keluar pakem?

Lho harus.

Untuk bisa keluar dari pakem, apa yang harus diperhatikan?

Kalau mau keluar dari pakem, kita harus yakin menguasai betul pakem itu. Hanya dengan cara demikian kita bisa keluar dari pakem. Kalau tidak begitu tidak bisa. Pakemnya apa? Kita harus tahu dulu pakemnya, baru kita buat lubang-lubangnya di mana.

Selain Sita, Anda juga memlesetkan Hanuman.

Hanuman itu playboy. Asal lihat cewek, wooh, lebih kacau dia.

Rama pun tidak luput dari otak-atik Anda. Kenapa tidak Ramayana sekalian yang divariasikan?

Belum. Toh Ramayana tidak kaku. Nanti siapa tahu saya dapat proyek dari mana gitu. Saya sudah bikin ini (menunjuk buku Ikhwal Datuh Meringgih, red.), Datuk Meringgih saya jadikan pahlawan. Dia kan anti-Belanda. Masa anti-Belanda dijadikan tokoh jahat?

Pernah ada niat mengaitkan Sita dengan isu gender?

Tidak usahlah dihubungkan dengan feminisme. Saya tidak pernah berpikir begitu. Saya hanya berpikir Sita kok begitu ceritanya? Apa tidak ada sesuatu yang terselip? Dari penasaran itu dan keinginan untuk membawa Sita pada kekinian. Kalau tidak, dia di lemari terus. Itu saja masalahnya. Apa benar begini? Apa benar begitu?

Di banyak sajak saya, saya mempertanyakan yang sudah menjadi profil, karena tidak bisa. Mitos kan hasil kristalisasi pemikiran manusia. Nilai-nilai, norma-norma, jadi mitos. Tapi mitos itu akan tetap menjadi mitos kalau dia dimitoskan lagi, ditafsirkan ulang terus. Kalau tidak, dia mati, masuk museum. Kita mengabadikan dia dengan membuat mitos baru, terus, dan tidak akan selesai.

Kalau tafsir ulang itu menjadi bagian mitos baru, hal itu tidak bisa kita hindari juga?

Tidak bisa. Justru itu. Maka yang disebut pemikiran dalam wayang berkembang terus. Carangannya lebih banyak dari pakem. Pakemnya kan cuma satu. Orang nonton wayang bukan mencari yang pakem.

Menurut Anda, itu bukan masalah?

Itu harus. Harus. Sajak yang tadi dibacakan (sebelumnya Sitok Srengenge membacakan puisi Pembuka Kata, tentang Adam mencari ayahnya, red.), misalnya, bapaknya Adam itu siapa? Itu yang saya pertanyakan. Bapake ki Gusti Allah opo piye? Coba saya tanya, Anda tahu siapa bapaknya Adam?

Bahwa Adam adalah mitos?

Maka itu. Itu yang saya tanyakan lagi. Bukan mempertentangkan, tapi memberi ruang.

Anda lahir di Solo. Peran Solo terhadap berkesenian Anda?

Saya sekolah di sekolah yang dikelola keraton Solo, bernama Sekolah Keraton Ksatrian. Di situ mulai dari kelas 1 sampai kelas 6 saya belajar kesenian. Semua murid SD di situ belajar tatacara Jawa, belajar menari,  belajar menabuh gamelan, belajar nembang, semua. Karena yang mengelola bukan pemerintah, tapi keraton. Yang boleh masuk di situ harus orang-orang yang punya kaitan dengan orang-orang keraton.

Anda keluarga keraton?

Bukan keluarga keraton. Keraton kan punya banyak anak buah. Mungkin nenek saya atau kerabatnya berkerabat dengan keraton. Rumah saya dulu itu mepet dengan keraton. Nenek saya dari garis ibu, namanya Condrodimukti, menciptakan tembang secara ngawur saja bisa. Nenek saya selalu nembang untuk mengantar saya tidur.

Anda dekat dengan nenek?

Bukan dekat ya. Semua kan lebih dekat ke nenek dibanding ke ibunya. Kalau ibu ngamuk terus, nenek selalu baik. Sambil nembang, ada dongengnya. Nah, kakek saya dari garis bapak suka bikin wayang. Menatah wayang keraton.

Tapi puisi Anda sangat tidak Jawa.

Waktu SMA diajar guru bahasa Inggris yang sangat inspiratif sehingga sejak SMA pun saya sudah menggunakan bahasa Inggris. Waktu saya kuliah S1 Sastra Inggris di UGM, jadi lebih mendalami. Saya lebih mengenal sastra Inggris dibanding sastra Indonesia ketika itu. Makanya pengaruh puisi-puisi Inggris itu kuat sekali pada diri saya. Salah satunya sastrawan T.S.Eliot. Itu sastrawan paling besar saat itu.

 

Jeihan menyumbang karyanya untuk buku ini. Bagaimana kedekatan Anda dengan Jeihan?

Jeihan itu sahabat saya naik sepeda keliling Kota Solo. Tengah malam baru kami berpisah. Hampir tiap hari kami begitu. Suka belajar bareng di kuburan Belanda di Solo. Waktu belajar bareng itu dia bilang nanti saya ingin jadi pelukis. Saya bilang, saya ingin jadi penyair. Siapa yang lebih kaya? Ngga penting siapa yang lebih kaya. Yang penting, yang kaya lebih dulu harus membayari yang miskin. Ternyata dia yang kaya. Jadi dia membayari penerbitan buku saya, DukaMu Abadi (1969).

Sekarang Anda sedang menulis apa?

Wong baru nulis kok. Break dulu.

Ada karya asing ada yang sedang diterjemahkan?

Belum. Sudah lama saya tidak mengerjakan karya asing.

Apa aktivitas setelah pensiun?

Mengajar. Seminggu sekali, saya masih mengajar di UI, IKJ, Undip, UGM. Di sela-sela itu, menulis. Bikin tulisan ilmiah, menulis buku.

Tidak ingin benar-benar pensiun?

Ngapain? Saya bisa stroke. Saya harus terbang ke mana, terbang ke mana.  Nulis.

Usia Anda sekarang 72 tahun dan masih terus aktif. Punya keluhan penyakit atau pantangan makan?

Menurut dokter saya tidak berpenyakit. Kadar gula normal, apa-apa normal. Saya boleh makan apa saja. Hanya kadang-kadang dikasih obat kolesterol. Heran toh? Kurus begini kolesterol. Tapi tidak tinggi banget, hanya agak tinggi. Dokter saya menyarankan supaya minum obat kolesterol yang paling murah itu kalau habis makan kol atau apa. Hanya untuk pencegahan.

Anda merokok?

Dulu merokok. Semenjak jadi dekan tahun 1995, saya lepas. Kalau jadi dekan kan tamunya macam-macam. Masa ada tamu, saya merokok? Dulunya Gudang Garam Merah itu sehari dua pak. Berhentinya begitu saja. Niatnya berhenti ya berhenti.

Anda selalu mengenakan topi pet. Punya topi berapa?

Wah banyak. Kalau pergi ke mana saya beli topi. Ada selemari, macam-macam warna. Ada yang dikasih mahasiswa, atau kalau saya lagi keliling PI Mall, beli ini.

Modelnya harus seperti ini?

Ya harus begini. Ini kan modelnya orang tua. Di Eropa itu kalau orang tua pakai topi begini. Coba lihat di film-film. Orang tua pakai topi begini, bawa payung.

(Sapardi melepas topinya, melihat merek yang tertera di bagian dalam topi).

Oh ini dari Korea. Ada yang Jerman, ada yang mana gitu. Saya demam Korea sudah lama. Saya ke sana, baru mereka sibuk membikin Kpop itu. Saya tidak paham, Kpop itu apa?

Kalau masuk kelas, topinya dibuka?

Mau masuk kelas, mau menguji, mau ngapa-ngapain dipakai terus. Ngajar pakai ini, menguji doktor juga pakai ini. Hanya kalau tidur baru saya lepas.

Masih ingat, sejak kapan Anda mulai pakai pet?

(Diam beberapa detik) Wah lupa.

Sejak merasa tua?

Saya lahir sudah merasa tua.

Baju Anda juga selalu warna khaki begini?

Mosok warnanya begini (menunjuk baju merah yang dikenakan orang di dekatnya, red.). Nanti ditanya, “Pak Sapardi ini ngapain?” Baju saya semuanya warna begini, begini (menunjuk baju warna abu-abu dan cokelat), tidak ada yang warna begini (merah).

 

Anda masih mengikuti sastra pop kontemporer?

Kadang-kadang. Biasanya kalau saya membimbing orang yang menulis tema novel seperti itu, saya baca.

Yang saya lihat, maju ya. Artinya, kawan-kawan sastrawan muda itu mengembangkan bakat sedemikian rupa, sehingga lain dengan dulu. Saya tidak peduli apa yang dibicarakan, itu kan sastra.

Bagaimana dengan pengaruh sosial media terhadap perkembangan sastra?

Ah iya. Bagus itu. Dalang yang tadi itu (Nanang HP) kan punya Twitter. Dia nulis di Twitter, dikumpulkan, jadi 150 halaman tentang wayang semua. Dia kan sekolah dalang.

Anda tidak minat berpuisi Twitter? Fanpage Facebook Anda kenapa bukan Anda sendiri yang pegang?

Ah ngga. Dulu Facebook cuma setengah tahun. Setelah itu bosan. Habis, isinya begitu doang.

***
Dimuat di Majalah Detik 29, 18-24 Juni 2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.