Prince of Romance Setelah 20 Tahun

richard clayderman

Pianis Prancis menggelar konser di Jakarta. Lagu-lagu romantisnya masih berdaya bius kuat.

Oleh Silvia Galikano

Baru dua not pertama penonton sudah tahu lagu apa ini. Tanpa sadar terlontar sorak tertahan. Inilah Ballade pour Adeline, instrumentalia legendaris Richard Clayderman dari tahun 1976 yang sudah jadi soundtrack hidup banyak dari kita. Lagu ini mengalun mulus di tangan Clayderman diiringi tatap kagum penonton.

Tak berlama-lama pianis Prancis itu menyimpan masterpiece yang dibuat Paul de Senneville dan Olivier Toussaint. Dia meletakkan Ballade pour Adeline di urutan kedua setelah Flash Emotion yang bernada cepat, dan tentu ini di luar perkiraan karena penampil biasanya meletakkan lagu jagoan mereka di tengah sebagai klimaks acara. Dari sini penonton bersiap, Exclusive Concert Richard Clayderman bukanlah sembarang konser.

Konser di Balai Kartini Jakarta, 7 Juni 2013 adalah penampilan kedua Clayderman di Indonesia setelah 20 tahun. Perubahan fisik tentu ada. Rambut emasnya kini bertukar warna jadi perak. Wajahnya tak sekencang dahulu, dan mata birunya seolah tersembunyi di balik kelopak mata yang makin turun. Tapi keramahan dan kerendahhatian Clayderman tak pernah berubah. Dia juga masih menertawakan kemampuan bahasa Inggrisnya nggak maju-maju itu.

Misalnya ini. Setelah menyelesaikan Ballade pour Adeline, Clayderman bangkit dari kursinya, berjalan ke mike, dan memberikan salam. Awalnya dalam bahasa Inggris, “Good evening, Ladies and Gentlemen. I’m very glad to be with you in Jakarta….

Tapi begitu sampai “…since my English is very bad, terrible, actually…, dia lanjut “ngoceh” dalam bahasa Prancis yang cepat sekali seperti sengaja membuat bingung. Penonton pun tertawa melihat ulahnya. Ocehan ini akhirnya dia tutup dengan, “Terima kasih,” yang langsung disambut tepukan riuh.

Corazon de Nino yang bernada riang kemudian menghangatkan Balai Kartini. Lagu ini diciptakan Raul di Blasio –pianis asal Argentina- yang inspirasinya dari suara detak jantung putranya, Stefano, saat dalam kandungan.

Di beberapa konser, Clayderman berduet dengan Blasio membawakan lagu ini, tapi kali ini Clayderman sendiri.
Formula susunan lagu upbeat, lowbeat, upbeat berlanjut ke Coup de Coeur yang ringan dan manis. Usainya, panggung langsung digeber dengan Give a Little Time to Your Love yang memadukan musik Mozart (Symphony No. 40), Beethoven (Symphony no. 5), dan Paul de Senneville.

Dan ketika Schindler’s List mengalun, suasana mendadak berubah. Lagu yang ditulis John Williams ini adalah soundtrack film Schindler’s List (1993), dimainkan Itzhak Perlman. Jika setiap gerakan tangan Perlman di atas biolanya menciptakan rasa sayatan yang pedih, maka setiap nada yang dibuat Clayderman menghadirkan rasa sendu tak terperi.

String ensemble Purwacaraka Music School yang  berjumlah 12 orang berperan besar dalam lagu ini, terutama pada nada awal yang dimainkan Michelle. Seselesainya nomor ini, Clayderman khusus berdiri untuk meminta penonton memberi tepuk tangan pada sang violinis muda itu.

Pianis yang sudah lebih dari 30 tahun berkarier itu menunjukkan kelasnya dari caranya membangun kedekatan dengan penonton yang terbilang tidak ngoyo. Perhatikan ketika dia kembali ke pianonya, mengambil partitur yang baru dimainkan, berjalan ke tepi panggung, lalu menyodorkan partitur itu ke penonton. Seorang perempuan yang duduk di deret terdepan cepat tanggap, langsung berdiri, menghampiri tepi panggung, dan menerima partitur “mahal” itu.

Bagi-bagi partitur dilakukan lagi usai Spartacus dimainkan. Kali ini peminatnya bertambah, jadi dua, sedangkan partitur yang diberikan hanya satu. Karenanya setelah You Raise Me Up, Clayderman menambah satu lagi tanda mata selain partitur, yakni sapu tangan putih yang ada di saku jasnya. Tapi ternyata yang maju ke tepi panggung bukan lagi hanya dua, tapi bertambah empat kali lipat.

Drama rebutan partitur makin seru usai istirahat. Rhapsody in Blue dan Sinfonia Titanic selesai dimainkan. Partiturnya diminati dua bocah laki-laki yang sama-sama sampai naik panggung, tapi hanya satu yang dapat.

Tak ingin mengecewakan penggemar kecilnya, Clayderman menyodorkan satu botol air kemasan yang disambut dengan antusias. Pemandangan ini lumayan lucu, baik bagi penonton juga bagi Clayderman. Clayderman sampai mengangkat kursi pianonya, seolah mengatakan, “Nih, kursi piano, mau juga?” yang sontak membuat penonton tergelak.

Clayderman kemudian membuat drama pendek di panggung. Seolah-olah ada serangga yang terbang di sekelilingnya. Berkali-kali ditangkap tapi gagal. Dia mengambil pistol plastik merah, ditembakkan ke sudut atas, jatuhlah boneka lebah kuning. Ukurannya sepelukan orang dewasa. Sayangnya boneka itu tidak untuk dibagikan.

Di bagian kedua ini Clayderman juga membuat tribute untuk Stevie Wonder. Dia mainkan medley My Cherie Amor, You Are The Sunshine of My Life, I Just Called to Say I Love You, Isn’t She Lovely, I Wish, hingga Superstition. Saat I Just Called to Say I Love You, penonton tak tahan untuk tidak ikut menyanyi, walau format kali ini bukan untuk dinyanyikan.

Sambil Clayderman memainkan lagu-lagu Stevie Wonder, layar di panggung menampilkan foto-foto Stevie Wonder sejak muda hingga kini. Dan saat Isn’t She Lovely, foto-foto yang tampil adalah foto-foto Stevie bersama putrinya, Aisha. Ini tak lepas dari sejarah Isn’t She Lovely yang inspirasinya didapat Stevie saat Aisha lahir. Entah apa pesan yang dibawa, dalam satu malam, Clayderman memainkan tiga lagu yang punya satu benang merah, inspirasi dari kelahiran anak. Ballade pour Adeline, Corazon de Nino, dan Isn’t She Lovely.

Clayderman berjalan lagi ke mike, bicara lagi dalam bahasa Prancis secepat air meluncur, lalu berjalan ke belakang panggung sambil melambaikan tangan. Lho kok? Sudah selesaikah? Penonton pun bertepuk tangan dalam irama teratur, dan terus bertepuk tanda belum “rela” acara ini berakhir.

Tak menunggu lama, Clayderman muncul lagi. Con Te Partiro yang dipopulerkan Andrea Bocceli (Time to Say Goodbye versi Sarah Brightman) jadi penutup malam itu. Encore yang sempurna setelah 20 tahun tak bersua. Merci beaucoup, Monsieur!


***
Dimuat di Majalah Detik edisi 81, 17 – 23 Juni 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.