Ekspresi Keindahan pada yang Fana

Memberi Makna pada yang Fana, Ahadiat Joedawinata, pameran keramik

Keramik di tangan Ahadiat mewujud jadi karya seni berfilosofi mendalam. Bukan lagi semata-mata wadah.

Oleh Silvia Galikano

Jika berdiri hanya di satu sisi, bejana ini tak terlalu istimewa. Hanya bejana warna cokelat pasir yang tidak mulus dan seperempat bawahnya “terbungkus” material biru. Tapi tengok sisi seberangnya. Ada sobekan dari atas hingga hampir setengah tinggi bejana.

Dari sobekan itu terlihat lebih jelas bagian dalam bejana yang dindingnya dicat merah. Di sisi ini juga terdapat lubang-lubang kecil yang memungkinkan kita mengintip apa yang ada di dalam. Ternyata di dalam sana ada hal lain yang patut dilihat, yang sama atau bahkan lebih menarik dari yang tampak dari luar, seperti judulnya, Di Dalamnya Ada Kehidupan.

Di Dalamnya Ada Kehidupan mewakili karya-karya keramik Ahadiat Joedawinata yang dipamerkan di Museum Nasional, Jakarta pada 15 – 27 Agustus 2013. Dalam pameran tunggal yang berjuluk Memberi Makna pada yang Fana ini Ahadiat memberikan posisi sepantasnya pada keramik di ranah seni rupa. Keramik bukan sekadar low art yang memenuhi aspek fungsional sebagai wadah.

Karyanya mengandung renungan filosofi kehidupan yang mendalam, bagaimana kecantikan mengalami pencanggihan. Ekspresinya telah melewati keindahan (beyond beauty) dan berpeluang membangun “pencerahan” pada yang melihat.

Ahadiat Joedawinata lahir di Cirebon 31 Januari 1943. Perupa ini menyelesaikan studinya di Departemen Seni Rupa, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1973, dan memperoleh gelar doktor dari kampus yang sama pada 2006. Selain mengajar di almamaternya dan Universitas Trisakti, Jakarta, Ahadiat adalah juga perancang interior. Rancangan mutakhirnya antara lain Museum Bank Indonesia di Jakarta.

Sebagai perupa, Ahadiat tidak berpikir tentang “menaklukkan dan menguasai alam”, tidak pula memisahkan seni tinggi dan rendah. Sebaliknya, dia dengan rendah hati bisa berkata, “Saya membiarkan tanah liat berbicara dengan sendirinya melalui bahasa mereka sendiri.”

kecil 20130821_184430

Karena itu pula teknik pijit (pinching) yang dipilih, bukan teknik putaran (wheel throwing), sehingga dia bisa menyalurkan emosi secara penuh dan langsung ke lempung melalui kepekaan dan kekuatan ekspresi jari-jari tangannya. Teknik ini menghasilkan permukaan yang tidak mulus yang  justru merupakan bahasa keindahan tersendiri.

Keistimewaan lainnya, Ahadiat menempatkan keramik seperti halnya manusia yang memiliki keterbatasannya masing-masing.

Ada bagian-bagian yang tidak bisa dia kendalikan sepenuhnya. Lempung yang telah dibentuk lalu dibakar dalam tungku, artinya langkah-langkahnya sudah mengikuti semua prosedur yang benar, namun hasil akhirnya sepenuhnya bergantung pada campur tangan sang “dewa api”.  Bisa mulus, bisa pula retak. Yang retak kemungkinan langsung dibuang, kemungkinan malah menghasilkan karya seni indah yang di luar rencana.

Terbukanya banyak kemungkinan dalam menangani keramik mendorong Ahadiat untuk bereksperimen dengan bahan stoneware. Sampai setipis apa (batas bawah) yang bisa dicapai bahan tersebut agar ketika dibakar pada suhu 1.200 derajat Celsius, keramik tidak retak. Karya-karya yang dipamerkan inilah hasilnya. Tipis sekali, nyaris mirip lempeng logam. Tipis yang mengekspresikan kesan rapuh, fana, gampang sobek, terluka, gampang bolong dan tergerus waktu, serta situasi kritis di batas daya tahan.

kecil 20130821_185042
Ahadiat Joedawinata

Pada periode ini juga karya-karya keramiknya dibentuk dengan plastisitas tinggi, bahkan memadukan bahan tanah liat dengan bambu, seperti di Bibir Bambu dan Bibir Bambu 2.

Karya lain, Tunas, cenderung sebagai karya patung ketimbang sebagai wadah. Tunas berwujud sebuah keramik berlekuk-lekuk yang bagian bawahnya mengerucut dan tertanam di dalam sebuah kotak gelas. Karya itu mengingatkan kita pada tumbuhan. Bahwa kehidupan akan terus eksis, berkembang, dan akan selalu bisa meloloskan diri dari kurungan dan kekangan apapun yang mencoba membinasakannya.

Bentuk yang sama sekali abstrak bisa ditemui pada Survival Spirit dan Siklus Kehidupan. Dalam Survival Spirit, lempeng keramik yang ditekak-tekuk dan ditusuk-tusuk sampai pada “batas kritis”-nya, compang-camping dan bolong-bolong oleh luka, tersayat di sana-sini hingga menampakkan rangka, tapi tetap berupaya bertahan hidup.

Melalui karya-karya Ahadiat ini kita menyaksikan paduan keindahan bentuk, warna, ruang, dan tekstur, yang memunculkan berlapis-lapis makna. Betapa di dalam kecantikan tersembunyi kerapuhan. Betapa banyak hal dalam hidup ini yang kelak retak tapi kita ngotot berupaya membuatnya abadi. Dan Ahadiat memberi makna pada sesuatu yang fana, yang mudah retak, dan tak abadi itu.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 91, 26 Agustus – 1 September 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.