Cinta Sudjojono yang Tak Pernah Hilang

sudjojono, rose pandanwangi
Di belakang nama besar S. Sudjojono ada satu perempuan kuat yang jadi inspirasinya. Perempuan yang membuatnya tidak pernah merasa sendiri. Dialah Rose Pandanwangi, istri sekaligus modelnya.

Oleh Silvia Galikano

Rose Pandanwangi. Foto: Silvia Galikano
Rose Pandanwangi. Foto: Silvia Galikano

Rose Pandanwangi berjalan ke tengah panggung. Rambut ikalnya putih dan di bahunya tersampir syal segitiga warna krem. Dia memperkenalkan nama lahirnya, Rosalina Wilhelmina Poppeck. “Mas Djon” adalah cara Rose memanggil Sudjojono.

Mereka bertemu di Amsterdam, Belanda pada 1951. Rose sedang belajar musik di kota itu, sedangkan Sudjojono bersama delegasi seniman Indonesia datang ke Eropa untuk ikut Youth Festival di Berlin, Jerman. Tapi Rose tidak tahu bahwa laki-laki di depannya itu adalah S. Sudjojono sang pelukis terkenal, bukan sekadar “Mas Djon”.

S. Sudjojono (1913-1986) mendapat pengakuan sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia. Dia menentang gaya Mooi Indie (Hindia Cantik) yang populer di awal abad ke-20 yang menampilkan gambaran ideal Indonesia. Menurutnya, seni Indonesia seharusnya menggambarkan karakter alam dan rakyat apa adanya, bukan yang diindah-indahkan.

Kini, dalam rangkaian peringatan Seabad Sudjojono 1913-2013, peran istrinya, Rose Pandanwangi mendapat porsi istimewa. Kisah nyata hidupnya bersama Sudjojono ditampilkan melalui pertunjukan teater berjuluk Pandanwangi dari Sudjojono di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 September 2013.

Pementasan ini melibatkan Rose Pandanwangi, anak-anak, dan cucu-cucunya. Gandung Bondowoso berperan ganda sebagai sutradara, sebagai narator, juga sebagai Sudjojono. Dia beradu akting dengan Maya Sudjojono yang memerankan Rose muda.

Rose, yang kini berusia 83 tahun, malam itu menyanyikan lagu-lagu yang pernah sangat berarti dalam perjalanan hidupnya bersama Sudjojono. Di antaranya My Way, Mekar Melatiku, Rozen Die Bloeien, dan Ich Liebe Dich.

FB_IMG_1436959342081Peran Rose bagi hidup S. Sudjono dapat disimpulkan dalam lukisan berjudul Si Optimis (1982). Lukisan itu menampilkan Sudjojono sebagai badut.

Telapak tangan kiri terbuka di depan dada, tangan kanan mengarah ke atas. Di jari kanan terselip kuas dan bunga mawar, dua senjatanya. Kuas adalah alat andalannya untuk melukis, sedangkan mawar (rose) melambangkan istri yang sangat dicintainya, Rose.

Rose bukan hanya istri dan model untuk seluruh lukisan nude-nya, tapi juga sumber semangatnya untuk terus melukis. Rose dan Sudjojono bertemu lagi sepulang Rose ke Jakarta setelah sekolah vokalnya usai.

Pada pertemuan ke-3, pada 1954, Rose malah dibuatkan lukisan. Sejak itu mereka sering bertemu. Rose juga datang ke sanggar Sudjojono di Yogyakarta.

“Di sana kulihat lukisan berserakan. Kau punya bakat besar, tapi untuk apa bakat besar kalau kau tak mampu menyelesaikannya. Kau akan tinggal kenangan, padahal kau masih mampu.”

Terdorong ucapan Rose, Sudjojono meminta perempuan itu jadi model lukisan-lukisannya karena tak ada orang lain yang lebih pas untuk dijadikan model. Ternyata Rose pun menikmati keberadaannya sebagai model. Lebih dari itu, cinta juga tumbuh di antara mereka.

Kehadiran Rose membuat Sudjojono yang biasanya lelet, kini rajin sekali menghasilkan karya lukis, sketsa, patung, dan relief. Dia juga jadi rajin menulis di berbagai media.

kecil 20130906_202123
Maya Sudjojono & Gandung Bondowoso. Foto: Silvia Galikano

Kedekatan mereka membuat Sudjojono tanpa permisi “memindahkan” grand piano yang ada di rumah keluarga Rose ke dalam lukisannya. Pun tanpa sungkan-sungkan menyarankan Rose mengganti nama dari Rosalina Poppeck jadi Rose Pandanwangi, nama Indonesia yang sangat Rose sukai.

Ini terjadi ketika dia mendaftar sebagai peserta lomba Bintang Radio pada 1958. Dengan menyandang nama baru, Rose Pandanwangi memenangi lomba.

Setahun kemudian mereka menikah. Keduanya bukanlah remaja kencur.  Rose berumur 30 tahun, punya tiga anak, sedangkan Sudjojono 46 tahun, bapak dari delapan anak. Dari pernikahannya dengan Sudjojono, Rose mendapat tiga anak perempuan: Alexandra Pandanwangi, Mariano Dara Putih (Maya), dan Germania Menang Djuang.

Pertunjukan ini menyinggung pula diciduknya Sudjojono usai pecah peristiwa G30S karena dulu pernah bergabung dalam Lekra. Adam Malik ikut berjasa mengembalikan Sudjojono sehari kemudian. Juga menyebut tentang lukisan nude yang tahun lalu sempat membuat Rose kaget karena diklaim kolektornya sebagai lukisan Sudjojono, dan Rose sebagai modelnya.

“Aku tidak pernah berpose seperti itu. Itu bukan karya mas Djon. Dan aku tahu bentuk tubuhku.”
Pandanwangi dari Sudjojono adalah pertunjukan sederhana, tidak “berisik”, tapi sarat arti.

Indah dalam kesahajaannya. Dialog pemain berseling lagu yang dinyanyikan Rose. Slide puluhan lukisan Sudjojono yang disorotkan ke dinding punya peran sama pentingnya, bukan sekadar pengisi ruang kosong. Di sinilah pemain memberi nyawa pada lukisan-lukisan itu.

Dalam durasi dua jam, kita bisa merasa sangat dekat dengan pelukis yang tak lepas dari cangklongnya. Kita bisa ikut tertawa geli mengetahui Sudjojono demikian lengket dengan sepatu boots karetnya. Boots yang dipakai saat membersihkan lantai setiap usai Rose mencuci baju, nekat dia pakai juga untuk pergi hajatan. Hanya Rose yang bisa membuat Sudjojono balik lagi ke rumah, mengganti sepatu karet hitam itu dengan sepatu yang pantas.

Cinta Sudjojono kepada Rose dibawanya hingga wafat pada 1986 setelah berjuang melawan kanker paru-paru. Surat dari Sudjojono berikut dapat memberi gambaran kuasa cintanya pada Rose:

Walaupun topan membelah kapal dan memukul berkeping-keping, saya tidak akan merasa sendirian. Bahkan sampai kematian di dasar laut, kita tetap bersama, dengan ciuman dan pelukan erat lengan-lengan kita yang abadi. Dan bila mereka mengangkat kita dari dasar laut, mereka akan membuat foto jasad kita dan menyebarkannya melalui koran-koran di seluruh dunia dengan berita istimewa tentang sebuah cinta dari dua seniman yang tidak pernah hilang. Ya, Rose, cinta seperti itu yang sangat hebat.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 94, 16-22 September 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.