Tribute untuk Sang Maestro

 

Tribute untuk sang maestro, persagiSudjojono bersama seniman Persagi sudah menancapkan tonggak penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Jejak mereka nampak dalam karya-karya seniman kontemporer kita.

Oleh Silvia Galikano

Nasirun membuat lukisan pria berbaring menyamping dengan bentuk terpiuh, khas karya-karyanya, kali ini didominasi warna merah menyala. Dia memberi judul lukisan cat minyak itu Di Dalam Kelambu Tertutup (2013).

Judul tersebut mengingatkan kita pada lukisan S. Sudjojono, Di Depan Kelambu Terbuka (1939), yang sekarang jadi koleksi Istana Bogor. Sudjojono melukiskan perempuan berkebaya kembang-kembang, berkain hitam polos dengan tumpal merah, rambut panjangnya terurai, duduk di kursi di tepi ranjang yang kelambunya terbuka. Perempuan ini seakan sedang menunggu.

Ekspresi hampa perempuan yang menunggu di depan ranjang itu tentu bertolak belakang dengan ekspresi “nakal” laki-laki yang berbaring menyamping yang dibuat Nasirun.

Nasirun (kelahiran 1965) secara berseloroh tapi serius menunjukkan ada aktivitas di atas ranjang, yang jika diperhatikan benar-benar, bukan hanya oleh satu orang seperti tertulis di awal tulisan ini, tapi ternyata oleh dua orang. Ada dua hal kontras dalam karya dua generasi perupa ini: yang termangu-mangu menunggu dan yang menggebu-gebu.

Dalam peringatan Seabad S. Sudjojono 1913-2013 kali ini, karya-karya S. Sudjojono berikut seniman Persatuan Ahi Gambar Indonesia (Persagi) disandingkan dengan 15 karya generasi di bawah mereka, tiga hingga empat generasi, yang mendapat inspirasi dari Sudjojono. Pameran itu bertajuk Jiwa Ketok dan Kebangsaan: S. Sudjojono, Persagi, dan Kita, digelar di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta pada 20 September hingga 6 Oktober 2013.

Sudjojono (1938-1986) adalah ikon Persagi, organisasi yang didirikan pada 23 Oktober 1938 untuk mewadahi seniman, khususnya pelukis. Persagi periode pertama diketuai Agus Djaya, S. Sudjojono menjadi sekretaris, dan Rameli sebagai komisaris. Anggotanya S. Sudiardjo, Emiria Soenasa, Saptarita Latief, Herbert Hoetagaloeng, S. Toetoer, Sindusisworo, Soeaib, Soekirno, Soeromo, dan Otto Djaja.

Bersama kawan-kawannya di Persagi, Sudjojono ingin membalikkan persepsi bahwa melukis adalah praktik menyalin gambar yang nampak di luar, menjadi seni menampakkan image yang tersembunyi di dalam diri seniman. Dia menekankan kejujuran melihat realitas sekitar sehingga objek-objek yang kumuh pun dapat mengungkapkan kebenaran. Sudjojono secara tegas mengambil sikap oposisi terhadap Mooi Indie (Hindia Molek), baik lewat tulisan maupun karya lukisnya.

Keyakinan ini jadi titik tolak pembentukan sikapnya dalam memahami Indonesia , yang saat itu belum diproklamasikan merdeka. Sudjojono melukis dalam kesadaran realisme yang disebutnya seni lukis “Indonesia baru”.

Dalam tulisannya, Zaman Raden Saleh dibandingkan dengan Zaman Pelukis-pelukis Angkatan Muda , “Benda-benda tak diatur-atur digambarkan secara sederhana, tetapi secara benar. Gambar yang jelek digambar jelek.

Pelukis ini tak lari ke gunung-gunung untuk mencari kebagusan, tetapi di kota mereka menunjukkan hidup sekeliling hidup mereka. Botol, panci, sepatu, kantor, kursi, adik-adik, ibu-ibu, kota, jembatan busuk, selokan, jalan-jalan, dan kuli-kuli melarat menjadi benda-benda gambar mereka.”

Dia membandingkan kecenderungan lukisan para seniman muda sezamannya dengan lukisan romantisisme pelukis Raden Saleh Bustaman yang dianggapnya terlalu gelap dan menyembunyikan banyak hal. Meski tak dapat dimungkiri, “realisme Sudjojono” ini tak lepas dari tren berkembangnya gerakan realisme pada awal abad ke-20.

Dari realisme Sudjojono itu pula lahir ungkapan “jiwa ketok (jiwa yang nampak)”, termuat dalam risalah Kesenian, Seniman, dan Masyarakat (1946). Bahwa sebenarnya buah aktivitas kesenian itu tak lain jiwa sang seniman sendiri yang ternampakkan. Kesenian melampaui sekadar persoalan artistik karena kesenian adalah jiwa. Karena itu hanya jiwa besarlah yang bisa menciptakan kesenian yang besar.

Melaui tulisan-tulisannya yang amat produktif, antara lain Kami Tahu Ke Mana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa (1948), Sudjojono menggebrak kesadaran harga diri bangsa. Artikel ini adalah reaksinya atas artikel penulis berkebangsaan Belanda, J. Hopman dalam majalah Uitzicht edisi Januari 1947 berjudul Toekomst van de Beldende Kunst in Indonesie (Masa Depan Seni Rupa di Indonesia) yang berisi antara lain “menafikan keberadaan seni lukis Indonesia”.

Sudjojono menulis, “…tentang bagaimana seni lukis Indonesia yang akan datang kita bangsa Indonesia cukup cakap untuk mengaturnya sendiri. Dari zaman penjajahan Belanda dahulu (zaman Persagi) kami sudah tahu bagaimana dan ke mana kami akan bawa seni lukis kami.”

Retorikanya mengentak, provokatif, sekaligus menyentuh. Dia menempatkan kesenian dalam posisi penting terhadap harga diri sebuah bangsa, dan seniman adalah perekam semangat dan jiwa zaman.

Dan kini, para pelukis generasi muda menunjukkan menunjukkan upaya “memberi makna” pada eksistensi Sudjojon dengan cara mereka. F. Sigit Santoso (lahir 1964) secara telak menunjukkan kegamangannya terhadap situasi seni rupa Indonesia hari ini yang ideologinya rapuh dan malah ribut dengan isu-isu dangkal.

Melalui Aku Tidak Tahu Ke Mana Seni Akan Kamu Bawa (2013) dia melukis sosok Sudjojono muda yang terjungkir, tetapi perhatikan latar belakangnya, panorama indah. Tentu judul itu mengingatkan kita pada judul risalah Sudjojono Kami Tahu Ke Mana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa. Sekali lagi kita jumpai dua hal yang berseberangan dari seniman dua generasi.

Para perupa muda ini hidup dalam atmosfer sosial, ekonomi, politik, kebudayaan yang sama sekali berbeda dibandingkan era Sudjojono. Mereka berada dalam isu-isu lingkungan, pemanasan global, korupsi, serta pergaulan antarbangsa. Persoalan kebangsaan dan jiwa ketok di masa sekarang lebih kompleks dibanding ketika istilah itu pertama dicetuskan Sudjojono, 67 tahun lalu. Namun demikian tetap kita jumpai jembatan pemahaman yang sama dalam cara mereka memandang sekitar. Semangat Sudjojono masih menyala di seniman muda.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 96, 30 September – 6 Oktober 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.