Françoise Huguier Menangkap Cerita 3 Kota

Seorang fotografer Prancis memotret fenomena kelas menengah Asia Tenggara. Pergulatan keras di tengah kota besar yang tak makin ramah.
Oleh Silvia Galikano
Tanpa ribut-ribu, kelas menengah eksis di Asia Tenggara selama 15 tahun terakhir. Mereka bekerja setiap hari tanpa menyombongkan diri dan ikut mentransformasi Asia Tenggara. Kerah putih yang mereka kenakan adalah hasil keringat sendiri.
Kelompok ini menarik perhatian fotografer asal Prancis, Françoise Huguier. Bermodal kamera analog Mamiya 645 format sedang, Huguier mengeksplorasi kelas menengah di Bangkok, Singapura, dan Kuala Lumpur sejak 2010 (dimulai di Singapura). Dia memotret tanpa melibatkan eksotisme, mengerahkan banyak kesabaran dan keingintahuan untuk menggali, serta mengenyahkan empati yang, menurutnya, tidak berguna dalam hal ini.
Foto-foto hasil eksplorasi Françoise Huguier kemudian dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta  pada 19-30 Oktober 2013 dengan judul Vertical/Horizontal – Interieur/Exterieur. Selain di Jakarta, pameran ini diadakan juga di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang.
Huguier adalah fotografer yang sudah menggarap semua aliran fotografi. Perempuan kelahiran 1942 ini mengawali karier sebagai fotografer mode majalah Vogue dan New York Times Magazine, kemudian beralih ke proyek-proyek yang lebih personal dan sosial. Pada 1993 dia menerima penghargaan World Press Photo dan menjadi kreator Biennale Fotografi Afrika di Bamako pada 1994.
Melalui Vertical/Horizontal – Interieur/Exterieur dia ingin menunjukkan bagaimana kelas menengah hidup di tengah kekacauan kota. Mengapa kelas menengah? Karena mereka terbanyak dan berperan sebagai perekat dalam masyarakat yang multikulural dan multietnis. Di Asia Tenggara masyarakat multietnis bertemu dan hidup bersama. Masyarakat kelas menengah etnis Cina, Melayu, dan India (meski sedikit di Thailand) sejak lama membentuk pilar sejarah di tiga megapolitan ini.
Mari tengok sebuah foto yang menunjukkan laki-laki dengan latar depan akuarium berisi ikan. Fokus foto pada si laki-laki, sedangkan ikannya buram. Huguier bercerita, laki-laki ini bujangan, bekerja sebagai buruh pelabuhan, tinggal di apartemen tipe studio di kawasan Punggol, Singapura. Apartemennya cuma bersi tiga benda utama yang semuanya berukuran besar, yakni akuarium, televisi, dan meja sembahyang.
Laki-laki ini memelihara ikan pembawa hoki karena membuatnya sering menang lotere. Jika pagi hari bangun tidur dia melihat ada angka di tubuh ikannya, maka angka itu dipasang dalam undian lotere. Biasanya dia menang.
Penghuni apartemen di kawasan Punggol umumnya tidak memiliki perabot. Andaipun ada hanya televisi, akuarium, kursi pijat, dan sofa. Tidak ada buku atau CD. Dapurnya modern, tapi peralatan masaknya sedikit karena kebanyakan dari mereka lebih suka makan di food-court.
Tidak ada hiasan apa-apa di dinding. Kamar anak-anak hanya berisi video game, tidak ada mainan, apalagi buku. Kesannya mereka baru saja pindahan, padahal sudah bertahun-tahun tinggal di situ.
Di tengah keseragaman itu, di luar ekspektasinya, Huguier bertemu penghuni apartemen yang berprofesi bandar judi sekaligus anggota Triad sekaligus juga penasihat di daerah tempat tinggalnya. Dia bertemu pula dengan Marie, perempuan muda yang bekerja di sebuah yayasan.  Marie yang hanya mau memakai baju berwarna merah ini percaya dia menikah dengan Yesus.
Di Kuala Lumpur, Huguier mendapati masalah klasik Malaysia yang berpangkal dari politik pemisahan etnis Melayu, Cina, dan India sekaligus menganakemaskan etnis Melayu. Dia jumpai pemisahan ini bahkan di asrama mahasiswa, tempat para calon intelektual.
“Gadis Hello Kitty” menarik perhatian Huguier saat di Bangkok. Semua yang menempel di tubuhnya serba-Hello Kitty berwarna pink, dari celana dalam hingga jok mobil. Huguier menangkapnya dalam lima foto dideretkan di satu bingkai yang menjelaskan semua.
Gadis Hello Kitty sedikit banyak adalah potret konsumerisme di Bangkok yang makin tinggi. Bukan hanya di kalangan muda, Huguier bahkan menjumpai seorang nenek menonton serial Korea favoritnya lewat iPad.
Menurutnya, inilah cara pemerintah Thailand “membungkam” rakyat, yakni dengan menyediakan segala keperluan, agar tak ada lagi protes-protes. Mal banyak dan bertambah terus, buka dari pukul 7 pagi sampai 11 malam. Konsumerisme makin tak terkendali. Mal tak ubahnya penjara, bukan hanya bagi masyarakat Bangkok, tapi bagi masyarakat Asia Tenggara.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 100, 28 Oktober – 3 November 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.