Jalur Ngawur demi Kebenaran

Ngawur karena Benar, jalur ngawur demi kebenaranNgawur (bahasa Betawinya “ngaco”) punya cara ungkap yang tidak umum. Mengacak-acak logika hingga membawa ke arah yang benar.

Oleh Silvia Galikano
Judul: Ngawur karena Benar
Penulis: Sujiwo Tejo
Penerbit: Imania (2012)
Tebal: 242 halaman

Sampai sore menjelang pergelaran, ternyata rambut panjang bagi pemeran Burisrawa belum ada. Selidik punya selidik, ternyata semua perajin wig di seluruh kota lebih sibuk membuat rambut palsu buat narapidana yang akan kabur dari bui.

Bisa ditebak, kisah satire itu menyentil siapa. Seorang narapidana yang ngumpet-ngumpet meninggalkan selnya di Jakarta, kepergok sedang menonton tenis di Bali dan tampak kagok dengan wig serta kacamatanya.

Peristiwa ini menginspirasi banyak narapidana untuk menempuh jalur serupa, kabur dari penjara dengan cara menyamar menggunakan wig. Wig laris manis, sampai-sampai sanggar wayang orang kebingungan mencari wig untuk pemeran Burisrawa yang berambut gondrong gimbal itu.

Demikian Sujiwo Tejo menuliskannya dalam tajuk Tentang Burisrawa Berwajah Gayus, termuat dalam buku Ngawur karena Benar yang merupakan kumpulan tulisan. Seluruhnya ada 37 tulisan, dan pernah dimuat di sejumlah media sepanjang 2010 hingga 2011. Dalang Mbeling ini menggabungkan lakon-lakon dalam wayang, atau hanya mencomot tokohnya, lantas disambungkan dengan peristiwa yang sedang panas saat itu. Seperti yang berikut:

Pertandingan bola antara Dursasana dan Cakil ternyata ramai sekali. Belum ada seorang pun merasa pernah menonton wayang kulit maupun wayang orang, yang Dursasana bisa ketemu perang sama Cakil.

“Satunya tinggi besar…seperti pemimpin…di mana itu…?”//“Iya aku tahu…tahu. Dan satunya kecil-kecil. Dagu panjang maju…seperti…pokoknya salah satu orang terkaya…haha….”

Dursasana dan Cakil di tulisan tersebut merepresentasikan siapa, bisa Anda tebak. Atau tidak ingin menghubungkannya dengan siapa pun kecuali sosok Dursasana dan Cakil yang tokoh wayang juga tidak apa-apa. Toh Tejo juga membawa cerita ini ke arah semau dia. Loncat sana, loncat sini. Dursasana bisa-bisanya bertetangga dengan bos Playboy.

Sujiwo Tejo adalah Presiden Jancukers dari Republik Jancukers, sebuah gerakan di dunia maya yang mengusung kejujuran, dan menolak bersantun-santun ria kalau bukan itu yang ada di hati. Melalui buku ini, dia menyatakan “berani karena benar” tak lagi istimewa. “Ngawur karena benar”-lah yang sekarang istimewa.

Ngawurisme  a la Tejo bermula dari palsunya kesopanan dan tata krama yang selama ini diagung-agungkan. Jancuk sebagai akarnya. Ketika sebuah tujuan tidak bisa dicapai karena terlalu banyak tata krama, cara satu-satunya adalah ngawur.

“Hidup saya sendiri memang ngawur. Saya tidak kenal tabungan. Saya yakin tabungan itu haram. Bapak saya mengajarkan ’Paling gampang itu menghina Tuhan. Begitu khawatir besok makan apa, saat itu kamu sudah menghina Tuhan,’” ujar Tejo saat peluncuran Ngawur karena Benar di Jakarta, Kamis, 14 Maret 2012.

Dia tidak pernah siap dengan uang segepok ketika anaknya yang ada tiga itu masuk sekolah dan kuliah. Tes masuk sudah lolos, tapi duit tak ada untuk bayar uang muka.  Namun pada akhirnya ada saja jalan sehingga tiga anaknya tetap bisa sekolah dan kuliah di tempat yang mereka inginkan.

Maka di logika ngawurnya, Tejo meyakini bahwa ukuran orang ber-Tuhan bukanlah berapa kali seseorang shalat setiap hari, melainkan beranikah hidup tanpa tahu besok pagi makan apa. “Ternyata orang ngawur selalu ditolong Tuhan, dan ternyata Tuhan lebih ngawur,” katanya.

Jalan ngawur Tejo bukanlah jalan yang melawan arah. Dia menunjukkan ada jalan lain yang bukan jalan utama, yang bukan jalan lurus. Jalur lurus mulus tidak selamanya lebih baik dari jalur zigzag yang mengharuskan pengguna jalan ekstrahati-hati. Jalur lurus kerap melenakan dan membosankan, bahkan pada kasus ini, memuakkan.

Simak tulisan ke-25 di buku ini, Bapak Ceplas-ceplos Nasional. Tejo ungkapkan kerinduan bangsa ini pada kepemimpinan Gus Dur yang ceplas-ceplos dan egaliter, yang membuat kedudukannya vital di tengah kemunafikan tata krama Nusantara.

Keceplas-ceplosan Gus Dur sangat dekat pada model blaka suta (frankly speaking) yang diimpikan leluhur Jawa melalui karakter khayalan Bima. Bima bicara apa adanya dan ngoko dan tanpa basa-basi, tetapi tak satu pun lawan bicaranya sakit hati atau merasa tidak dihormati. Kuncinya adalah ketulusan, tanpa pretensi ataupun tendensi tertentu yang tersembunyi.

Kerinduan pada Gus Dur yang fenomenal itu bisa dipahami bahwa bawah sadar kolektif kita membolehkan, bahkan mengharuskan, pelanggaran hal-hal tabu untuk menyelesaikan masalah yang tidak mungkin lagi hanya melalui pidato “hukum harus ditegakkan”.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 17, 26 Maret – 1 April 2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.