Globalisasi & Ruang Penafsiran

 

globalisasi dan ruang penafsiran

Perupa Asia Tenggara punya satu lagi event besar. SEA+ Triennale namanya. Di sini mereka merayakan dan memuliakan proses penafsiran serta pemaknaan nilai.

Oleh Silvia Galikano

Ada dua lukisan tentang satu objek yang kondisinya bertolak belakang, 7 Magnificent Masterpiece #1 dan 7 Magnificent Masterpiece #2, keduanya karya Mahendra Yasa.

7 Magnificent Masterpiece #1 yang hitam-putih menampilkan pemandangan Bali pada awal abad ke-20. Hutan masih lebat, gadis-gadis masih nyaman mandi di sungai, orang-orang bercengkerama di keteduhan pepohonan, kesenian adalah persembahan bagi Dewata, dan laut adalah misteri.

Sedangkan di 7 Magnificent Masterpiece #2 (2012), lukisan yang digantung di sebelahnya, menampilkan Bali masa kini yang penuh warna. Tak ada lagi hutan; pulau sesak oleh manusia; kesenian jadi sepenuhnya tontonan; sungai-sungai jadi arena rafting; dan laut kini sesak oleh peselancar, tak lagi mistis. Eksploitasi Bali tak terkendali, semuanya dijual demi pariwisata dan dikelola dengan tidak bijaksana.

7 Magnificent Masterpiece #1 dan 7 Magnificent Masterpiece #2 adalah dua dari sederet karya seni rupa yang ditampilkan dalam SEA+ Triennale 2013 di Galeri Nasional, Jakarta pada 13 November hingga 12 Desember 2013.

SEA+ Triennale – akronim dari South East Asia Plus – adalah pameran seni rupa tiga tahunan (triennale) yang menghadirkan karya-karya perupa dari Asia Tenggara berikut (plus) dari negara-negara yang diundang khusus sesuai fokus temanya. SEA+ Triennale yang pertama ini berjuluk Global Art: Ways Around Asia, merangkul 68 seniman. Dari Indonesia, antara lain Aditya Novali, Budi Adi Nugroho, Dadan Setiawan, Farhan Siki, Mahendra Yasa, dan Zirwen Hazry.

Perupa dari negara lain adalah Mon Thet dan Zaw Win Pe (Myanmar), Adeela Suleeman dan Jamil Baloch (Pakistan), Whoop Wonka (Filipina), Jacquelyn Soo Meian (Singapura), Kamol (Thailand), Le Kinh Tai dan Pham Huy Thong (Vietnam), Michal Glikson (Australia), Bu Hua (Cina), Takasihi Kuribayashi (Jepang), serta Haslin Ismail dan Nasir Baharuddin (Malaysia).

Dari Pakistan, Jamil Baloch melalui Mega Project II (2012) mengekspresikan pilu akan kondisi negaranya. Dalam satu bingkai yang dibagi menjadi dua bidang, Baloch memvisualkan tanah datar kering retak-retak, di atasnya melintas bayangan pesawat perang dan peluru kendali. Pakistan yang masih berjuang melawan kemiskinan harus direpotkan pula dengan masalah keamanan yang tak pernah reda.

Lain lagi dengan Kamol Phaosavasdi dari Thailand yang membuat instalasi video Living Museum (2013). Phaosavasdi membuat dokumenter tentang sebuah bangunan yang dulunya, di masa film masih hitam putih, adalah bioskop terkenal di Bangkok. Gedung ini selalu penuh, penonton datang berduyun-duyun, dan dibolehkan menonton sambil makan besar dan merokok.

Ada kisah nyata tentang bayi yang ditinggalkan di bioskop seselesai film. Si bayi kemudian dirawat penjaga bioskop, dan diberi nama sama dengan judul film yang diputar pada malam itu. Hingga dewasa dia tinggal di bioskop, dan meninggal beberapa tahun lalu dalam usia 35 tahun.

Bioskop ini pelan-pelan ditinggalkan penonton karena tak mampu menyesuaikan diri dengan teknologi sinema terbaru. Tinggallah bangunan besar teronggok lesu, sementara di sekelilingnya semua bergerak cepat berkelebat-kelebat.

Asia Tenggara (Southeast Asia – SEA), yang dijadikan nama perhelatan, tidak dimaksudkan sebagai kerangka definisi identitas yang hendak dikemukakan. Pameran ini terbuka bagi berbagai penafsiran dan pemahaman.

Memang tak dimungkiri ada kemiripan budaya dan keseharian masyarakat di wilayah ini, meski tak sama persis.  Karenanya SEA+ Triennale memberi ruang penafsiran bagi berbagai manifestasi pengalaman hidup di tengah masyarakat global, sebab melalui seni, setiap orang berkesempatan menemukan nilai-nilai yang berharga bagi mereka.

Seni rupa global adalah manifestasi ekspresi yang mewakili pengalaman hidup seseorang sebagai bagian dari proses globalisasi sosial dan budaya yang berlaku di mana-mana. Yang interaksi dan negosiasinya berlangsung terbuka dan saling menerima karena memuliakan proses penafsiran dan pemaknaan nilai-nilai.

Itu sebabnya dalam tema Global Art: Ways Around Asia ini kita jumpai karya yang terkait ruang virtual, waktu, kemodernan, sekaligus masa lalu. Pesan tentang kekinian tak pernah sama sekali lepas dari kelampauan.

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 104, 25 November-1 Desember 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.