Ibu Sang Penarik Kereta Nasib

ibu brani, teater koma, Mutter Courage und ihre KinderAnak negeri berjalan hilang arah akibat kacaunya moralitas dan kondisi yang serbatidak pasti. Teater Koma menyajikannya dalam lakon sepanjang 3, 5 jam bertajuk Ibu.

Oleh Silvia Galikano

Sebuah daerah di Jerman, abad ke-17. Perang antara Resimen Matahari Hitam dan Resimen Matahari Putih belum juga usai. Sudah bertahun-tahun perebutan kekuasaan berlangsung. Seluruh negeri porak-poranda menambah banyak jumlah janda. Pemuda-pemuda nyaris habis, bahkan sampai pelosok dusun, dirampas dari keluarga-keluarga mereka untuk ikut berperang.

Di tengah kekacauan itu sebuah gerobak sarat muatan berjalan terseok-seok, dikendarai Anna Pirling (Sari Madjid) yang dijuluki Ibu Brani. Gerobaknya bukan ditarik sepasang kuda, melainkan oleh dua putranya yang bermandi keringat melingkarkan tambang di pundak, Elip Noyoki (Rangga Riantiarno) dan Fejos (Muhammad Bagya).

Ibu Brani berkeliling negeri menjajakan barang dagangan, antaranya unggas, bir, baju, sosis, sampai selongsong peluru. Duduk di samping Ibu Brani adalah si bungsu yang bisu, Katrin Hupla (Ina Kaka). Berempat mereka menjadi saksi membusuknya kemanusiaan.

Ibu Brani tidak peduli kubu mana yang benar atau siapa yang harus dibela. Dia pedagang, dan akan melayani siapa pun yang membeli dagangannya. Ibu Brani tidak mau terlibat perang dan tidak mau anak-anaknya jadi tentara, sebaliknya, mereka harus memperoleh untung dari peperangan.

Rombongan Ibu Brani memasuki kawasan yang dikuasai Matahari Hitam. Bendera Matahari Hitam dipasang di gerobak. Dalam sebuah persinggahan, rombongan didatangi dua tentara Matahari Hitam yang tengah mencari pemuda-pemuda kuat untuk ikut dalam perang.

Walau Ibu Brani menolak keras, namun dia tak dapat menahan tekad kuat Elip dan Fejos untuk ikut membela negara. Kini dia hanya ditemani Katrin. Keduanya yang bersisian menarik gerobak.

Ibu berjanji akan mencarikan suami bagi Katrin jika perang usai. Dia tidak mau putrinya bernasib seperti Ipit Poter (Daisy Lantang) yang berdandan menor menjajakan tubuh pada tentara. Ipit adalah pelanggan toko kelontong Ibu Brani. Katrin diam-diam menyukai penampilan Ipit, bahkan menyimpan topi dan sepasang boots cantiknya.

Kawasan yang diduduki Matahari Hitam ini kemudian mendapat serangan Resimen Matahari Putih. Dalam kekacauan perang, Kaplan (Budi Ros), pendeta dari Resimen Matahari Hitam, merasa hidupnya terancam. Dia akan lebih aman jika melepaskan jubah pendeta dan menyamar sebagai rakyat biasa. Ibu Brani menawarkan Kaplan jadi pelayannya untuk mencuci gelas-gelas brandy dan memotong kayu bakar. Kaplan menerima. Semakin hari keduanya semakin dekat.

Ibu Brani juga akrab dengan Domba Si Koki alias Piter Si Pipa (Supartono JW), koki di Kantor Jenderal Matahari Hitam. Berawal dari menjual unggasnya pada Piter, Ibu Brani menemukan Elip, putranya yang lama tak terdengar kabar, ternyata sekarang anak buah Jenderal Matahari Hitam. Kaplan dan Piter sama-sama ingin memiliki Ibu Brani tapi tak mau dibebani Katrin.

Demikian sebagian lakon Ibu yang dipentaskan Teater Koma di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1 hingga 17 November 2013. Menjelang ulang tahun ke-37, Teater Koma memberi sajian artistik dan konsep dramatrugi yang detail dalam total 14 adegan yang terentang pada durasi 3 jam 20 menit.

Ibu disadur dari Mutter Courage und ihre Kinder (Ibu Berani dan Anak-anaknya) karya dramawan Jerman, Bertolt Brecht (1898 – 1956). Walau berkisah tentang perang abad ke-17 tapi Mutter Courage tetap menjadi dasar politik masa kini, karenanya sering disebut sebagai salah satu lakon sandiwara terbaik abad ke-20.

Lakon yang disutradarai Nano Riantiarno ini merupakan produksi ke-131 Teater Koma. Naskahnya sudah diterjemahkan pada 1980-an dengan judul Ibu, tapi karena berbagai hal, baru dipentaskan pada tahun ini setelah beberapa kali revisi naskah. Karya lain dari Bertolt Brecht yang pernah dipentaskan Teater Koma adalah The Threepenny Opera (1983 dan 1999) serta Tiga Dewa dan Kupu-kupu (1992, dari naskah asli The Good Person of Sechzwan).

Lewat Ibu, Nano menyorot kacaunya moralitas kekuasaan akibat penguasaan ekonomi dan budaya. Ketika dua putra Ibu Brani direkrut menjadi tentara, dia tertatih menuju ketidakpastian, antara meraih ambisinya atau menyerah jadi korban perang.

Pada akhirnya, siapa yang benar-benar meraih untung dalam perang? Brecht punya jawaban lewat kalimat terkenalnya, “Dalam perang, yang kalah dan yang menang hanya akan menerima kerugian. Semuanya kalah.”

***
Dimuat di Majalah Detik edisi 102, 11-17 November 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.